Dari Kekunoan Hingga Kekinian

Bedah Film “The Cabin In The Woods”: Refleksi Otoritarianisme dan Paradoks Kemanusiaan

Avatar Dafid Ibrahim

The Cabin In The Woods (Foto: Viva)

Jika Anda seorang penggemar horor Slasher, Anda pasti hafal formulanya. Kumpulkan lima remaja stereotip (si atlet, si genit, si cendekia/sarjana, si bodoh, dan si perawan), kirim mereka ke kabin terpencil di tengah hutan, putuskan sinyal telepon, dan biarkan pertumpahan darah dimulai.

Terkesan klise? Membosankan? Tentu saja. Dan film “The Cabin in the Woods” (2012) tahu persis apa yang Anda pikirkan.

Film ini dibuka dengan semua elemen yang kita kenal. Namun, hampir seketika, sutradara Drew Goddard dan produser Joss Whedon menarik tirai dan menunjukkan kepada kita sesuatu yang lain. Sebuah fasilitas teknologi tinggi yang futuristik, dan para teknisi berseragam putih mengawasi setiap gerak-gerik para remaja di kabin.

Di sinilah “The Cabin in the Woods” beralih dari film slasher biasa menjadi sebuah tesis yang jenius.

Kabin dan Otoritas Pengendali

Film ini berjalan di dua rel paralel. Di satu sisi, kita memiliki horor klise di kabin. Di sisi lain, kita memiliki drama kantor yang kelam di fasilitas. Para teknisi tidak hanya menonton mereka mengendalikan.

Mereka melepaskan feromon untuk membuat para remaja gegabah, memanipulasi lingkungan, dan bahkan “melepaskan” monster pilihan mereka.

Poin pentingnya ada pada arketipe “Si Sarjana” (Holden). Logikanya, sebagai orang yang paling rasional dan cerdas, dia seharusnya memiliki peluang terbaik untuk selamat. Namun, dia tetap mati. Kematiannya membuktikan bahwa kecerdasan dan kehendak bebas tidak ada artinya melawan “skenario”. Fasilitas telah memutuskan perannya, dan perannya adalah untuk mati, tidak peduli seberapa pintar dia.

Fasilitas ini adalah representasi sempurna dari otoritarianisme modern. Mereka adalah sistem birokrasi kaku yang melakukan hal-hal mengerikan bukan karena kebencian, tetapi karena “itu adalah prosedur”. Mereka menjustifikasi tindakan mereka demi “kelangsungan hidup” dan “kebaikan yang lebih besar”, sebuah dalih yang sering digunakan sistem untuk mempertahankan kekuasaannya (status quo).

BACA JUGA: Autopsi Teror: Membedah Luka Batin dalam Horor Bring Her Back

Dewa Kuno Adalah Kita, Penonton

Mengapa semua ini dilakukan? Ternyata, ini adalah ritual pengorbanan tahunan untuk menenangkan “Dewa Kuno” (The Ancient Ones) yang tertidur di bawah bumi. Jika ritual gagal, dunia akan kiamat. Dan siapa “Dewa Kuno” yang haus darah ini? Jawabannya kita. Penonton.

Ini adalah kritik sosial paling tajam dari film ini. Fasilitas adalah simbol dari Hollywood atau industri film, yang lelah menciptakan formula yang sama berulang kali. Dewa Kuno adalah kita, penonton yang tak pernah puas, yang menuntut klise yang sama.

Kita menuntut “status quo moral” dalam horor. si genit harus mati dulu, si atlet harus sombong, dan si perawan harus menderita sampai akhir. Para teknisi yang bersorak dan bertaruh monster mana yang akan menang? Itu adalah cerminan kita yang telah mati rasa, menikmati kebrutalan dari kenyamanan sofa kita.

Filosofi di Balik Kiamat: Menolak Paradoks Kemanusiaan

Klimaks film ini adalah salah satu yang paling berani dalam sejarah sinema modern. Ketika dua penyintas terakhir, Dana (Si Perawan) dan Marty (Si Bodoh yang ternyata paling sadar), menemukan kebenaran, mereka diberi pilihan.

Mereka bisa mengikuti ritual Marty mati dan Dana hidup (atau sebaliknya) dan menyelamatkan dunia. Ini adalah argumen klasik utilitarianisme, mengorbankan yang sedikit demi menyelamatkan yang banyak. Film ini, melalui Dana dan Marty, menolak mentah-mentah logika itu.

Keputusan mereka untuk membiarkan dunia berakhir adalah kemenangan mutlak kehendak bebas atas takdir yang dipaksakan. Ini adalah kritik pedas terhadap “modernitas” itu sendiri. Mereka menyadari bahwa menyelamatkan dunia dengan cara mengorbankan manusia tak berdosa secara sistematis adalah sebuah paradoks yang dibalut kata ‘kemanusiaan’. Dunia yang menuntut ritual sekejam itu, menurut mereka, tidak pantas untuk diselamatkan.

Sebuah Cermin yang Menyakitkan

“The Cabin in the Woods” bukanlah film horor biasa, ini adalah film tentang film horor. Ini adalah dekonstruksi, satir, dan sekaligus surat cinta yang frustrasi pada genre yang dicintainya.

Film ini tidak hanya menakut-nakuti Anda dengan monster. Film ini menodongkan cermin ke wajah penonton dan bertanya: “Kenapa kalian menikmati ini? Apakah kalian terhibur? Apakah Utilitarianisme itu benar untuk manusia?

Ini adalah sebuah mahakarya sinematik yang langka, film yang lucu, sangat brutal, dan membuat Anda berpikir keras tentang peran Anda sebagai konsumen media, jauh setelah kredit akhir bergulir.

Avatar Dafid Ibrahim

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *





Subscribe to our newsletter