Dari Kekunoan Hingga Kekinian

Jalan ditutup, Hidup Terhenti: Krisis Kecil di Balik Gumitir

Avatar Lely Novita Rahmadani

Jalan Nasional (BBPJN) Jawa Timur-Bali memutuskan untuk melakukan preservasi Jalan Alas Gumitir dengan alasan keselamatan. (Sumber: Pribadi)

Jalan Alas Gumitir resmi ditutup sementara seiring dimulainya proyek pelebaran dan perbaikan infrastruktur oleh pemerintah. Jalur penghubung utama antara Jember dan Banyuwangi ini tak hanya berperan penting secara ekonomi dan mobilitas, tetapi juga menyimpan jejak sejarah panjang sejak era kolonial. Penutupan ini memicu berbagai respons, dari kekhawatiran warga hingga harapan akan jalur yang lebih aman dan layak.

Untuk memahami lebih jauh dampak dari penutupan ini, penting untuk melihat kembali sejarah singkat Jalan Alas Gumitir, fungsinya dalam kehidupan masyarakat, serta alasan dan konsekuensi dari kebijakan penutupan tersebut.

Sejarah Singkat Gunung Gumitir

Menurut legenda yang berada di kalangan masyarakat Jawa, nama Gumitir berasal dari kisah Damar Wulan yang ditulis pada masa Kerajaan Majapahit. Dalam legenda, Damar Wulan mendapat amanah untuk mengabdi menjadi tukang rumput kepada Patih Loh Gender dari Kerajaan Majapahit. Berjalannya waktu, Damar Wulan menjadi abdi andalan dan diutus oleh Ratu Kencana Wungu untuk membantu mengalahkan Menak Jinggo, penguasa Blambangan.

Setelah berhasil memenggal kepala Menak Jinggo, Damar Wulan bertemu di tengah jalan dengan Layang Seta dan Layang Kumitir, putra kembar Patih Loh Gender. Keduanya ternyata hanya memperalat Damar Wulan untuk membunuh Menak Jinggo dan merampas kepala Menak Jinggo yang dibawanya. Kejadian inilah yang dipercaya menjadi cikal-bakal penamaan gunung tersebut, yaitu Gunung Gumitir atau Gunung Kumitir.

Pada masa kolonial Hindia Belanda, jalan yang menghubungkan wilayah Jember dengan Banyuwangi ini sudah dibangun sejak tahun 1900-an. Pembangunan terowongan Mrawan dan Garahan yang dilalui kereta api juga menjadi jalur utama distribusi hasil perkebunan, seperti kopi, tembakau, dan kayu. Sistem kerja paksa (Romusha) masih berlaku pada masa pembangunan jalan ini, memakan banyak korban jiwa yang hingga kini masih menyisakan cerita mistis di kalangan masyarakat.

BACA JUGA: Label Sejarah Identitas Jember yang Tak Pernah Tuntas!

Setelah kemerdekaan, jalan ini diambil alih dan dikelola oleh Perum Perhutani yang mengelola hasil hutan seperti kayu jati, pinus, dan mahoni, serta oleh PTPN XII. Hingga saat ini, Jalan Gumitir tetap menjadi jalur favorit untuk distribusi logistik dan pergerakan masyarakat di Jawa Timur bagian timur.

Fungsi dan Manfaat Jalan Alas Gumitir

Selama puluhan tahun, Jalan Alas Gumitir telah menjadi salah satu urat nadi penting di selatan Jawa Timur. Sebagai alternatif dari jalur Pantura, lintas selatan ini menjadi jalur vital ekonomi, sosial, dan budaya yang setiap harinya dilalui oleh kendaraan logistik, angkutan umum, hingga pengendara pribadi untuk mengangkut hasil pertanian, perikanan, dan kebutuhan pokok lainnya.

Di sektor pariwisata, Jalan Alas Gumitir kerap dijadikan jalur utama yang lebih efisien bagi wisatawan dari arah barat yang ingin menuju destinasi seperti Kawah Ijen, Pantai Pulau Merah, atau Taman Nasional Baluran.

Lokasi Penutupan Jalan dan Antisipasi

Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) Jawa Timur-Bali memutuskan untuk melakukan preservasi Jalan Alas Gumitir dengan alasan keselamatan. Mengingat lokasinya di pegunungan berlereng curam dan sering dilalui kendaraan besar, penutupan total sementara diberlakukan selama dua bulan, mulai 24 Juli 2025 pukul 00.00 hingga 24 September 2025. Segmen yang ditutup adalah ruas pada kilometer 233+500, tepatnya di Tikungan Mbah Singo, yang dikenal sebagai salah satu titik paling rawan.

Langkah ini disepakati dalam rapat koordinasi lintas instansi yang melibatkan Kementerian PUPR, kepolisian, Kementerian Perhubungan, dan pemerintah daerah, yang puncaknya digelar di Polda Jawa Timur pada 9 Juli 2025. Tujuannya jelas: meningkatkan keselamatan dan kenyamanan pengguna jalan di jalur yang sempit, curam, dan rawan longsor.

Menurut Kepala BBPJN Jatim-Bali, Gunadi Antariksa, kondisi geografis Alas Gumitir yang ekstrem menyulitkan pelaksanaan proyek jika jalan tetap dibuka sebagian. Proses pemasangan bored pile (tiang pondasi dalam) di lereng bukit yang labil memerlukan ruang kerja luas. Risiko longsor atau kecelakaan akan lebih besar jika kendaraan tetap melintas. Karena itu, penutupan penuh dinilai sebagai langkah paling aman.

Pekerjaan teknis yang dilakukan antara lain pemasangan 55 titik tiang pondasi sepanjang total 115 meter. Setelah tahap ini selesai, proyek akan dilanjutkan dengan perbaikan geometrik jalan. Meski proyek secara keseluruhan direncanakan rampung pada Desember 2025, penutupan hanya berlaku selama dua bulan awal.

Selama masa penutupan, arus kendaraan dialihkan melalui jalur alternatif:

  • Kendaraan pribadi dan umum: Diarahkan ke rute Bondowosoโ€“Situbondoโ€“Banyuwangi.
  • Kendaraan berat (tonase > 15 ton): Diminta menggunakan jalur Pantura melalui Lumajangโ€“Probolinggoโ€“Situbondo.
  • Jalur alternatif lokal: Tidak digunakan karena kondisinya sempit, sebagian tidak beraspal, dan minim penerangan, sehingga hanya diperuntukkan bagi warga lokal.

Dampak Penutupan Jalan Alas Gumitir

Penutupan total ini membawa dampak negatif jangka pendek yang signifikan.

  • Lonjakan Biaya dan Waktu: Pengendara, terutama sopir truk, mengalami lonjakan biaya operasional akibat bertambahnya konsumsi bahan bakar dan kebutuhan pangan selama perjalanan yang lebih lama. Waktu tempuh yang membengkak juga menimbulkan kemacetan parah di jalur alternatif.
  • Distribusi Terhambat: Proses distribusi logistik melambat, khususnya pengiriman hasil pertanian yang mudah busuk (sayur, buah), yang berisiko mengalami penurunan kualitas dan harga jual.
  • Pariwisata Menurun: Akses yang lebih sulit menuju destinasi wisata menyebabkan penurunan jumlah wisatawan selama periode penutupan.
  • Kelangkaan BBM di Jember: Pasokan BBM dari Banyuwangi yang terputus menyebabkan antrean panjang di sejumlah SPBU di Jember. Masyarakat terpaksa menunggu berjam-jam untuk mendapatkan solar atau Pertalite.

Menanggapi situasi tersebut, Pemerintah Kabupaten Jember bersama Pertamina menggelar rapat darurat. Langkah yang diambil antara lain mendatangkan pasokan tambahan dari Surabaya dan Malang, meningkatkan kuota harian untuk Jember hingga 700 kiloliter, serta mengerahkan aparat kepolisian untuk menjaga ketertiban di SPBU dan memberikan pengawalan khusus bagi truk tangki BBM.

Harapan Jangka Panjang

Jika proyek preservasi ini selesai, semua dampak negatif tersebut diharapkan akan berubah menjadi dampak positif. Infrastruktur yang jauh lebih aman dan representatif akan mengurangi angka kecelakaan secara signifikan dalam jangka panjang, memberikan rasa aman dan nyaman bagi seluruh pengguna Jalan Alas Gumitir.

Avatar Lely Novita Rahmadani

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *





Subscribe to our newsletter