Dari Kekunoan Hingga Kekinian

Refleksi tentang Pernikahan, Perjuangan Perempuan dalam Novel: Khadijah Perempuan Berselempang

Avatar Robi Nadifah

Menurut saya, pernikahan adalah hal sakral, bukan untuk dipermainkan. (Ilustrasi Admin)

Apa sebenarnya definisi menikah? Apakah sekadar menyatukan dua insan atau menghalalkan sebuah hubungan? Definisi tersebut terasa sangat dangkal. Menurut saya, pernikahan adalah hal sakral, bukan untuk dipermainkan. Tujuannya adalah menyatukan dua insan untuk melangkah melewati perjalanan hidup dengan ibadah yang sudah pasti mendapatkan pahala. Semua orang tentu ingin menikah cukup satu kali, tanpa harus mengulanginya dengan orang baru.

Banyak orang berharap mendapatkan jodoh yang bisa menuntun ke jalan yang benar, yang selalu ingat dengan akhirat namun tetap seimbang dengan dunia. Apalagi jika pasangan tersebut paham agama, itu menjadi dambaan yang luar biasa. Setidaknya, jika kita tidak memiliki ilmu agama yang mumpuni, masih ada seorang imam yang bisa membimbing kita dan keturunan kita kelak.

Kisah Khadijah: Kebahagiaan, Ujian, dan Kehilangan

Tokoh Khadijah dalam novel ini digambarkan sebagai wanita yang sangat beruntung. Bagaimana tidak? Ia mendapatkan jodoh yang paham agama, putra dari seorang alim ulama pengurus pondok pesantren ternama. Siapa yang tidak bahagia menikah dengan seorang Gus, anak pertama dari Kyai? Semua orang pasti berharap demikian. Dengan latar belakang perempuan biasa tanpa gelar Ning, ia bisa dinikahi oleh seorang Gus dengan harapan besar bahwa pernikahan ini bisa memberinya jalan yang lebih baik untuk sisa hidupnya. Fenomena ini sering kita lihat di dunia nyata, di mana seorang laki-laki dengan latar belakang agama yang kuat menikahi wanita yang mungkin jauh dari agama, hingga pada akhirnya wanita tersebut terbimbing untuk menutup auratnya dan kembali ke jalan Allah SWT.

Kisah percintaan Khadijah dengan suaminya berjalan lancar tanpa hambatan, meskipun mereka menikah tanpa proses pacaran. Hubungan yang mereka jalin amat mesra dan hangat; keduanya saling memahami dan melengkapi. Namun, berita pahit melanda hati Khadijah. Anak yang sudah lama mereka dambakan tidak bisa hadir karena suaminya divonis mandul oleh dokter. Sebagai seorang istri, Khadijah menutupi kenyataan pahit ini dari suaminya. Ia tidak ingin kekasih hatinya merasakan kepahitan yang sama, melihat betapa suaminya sangat menanti kehadiran tangisan bayi di rumah sederhana mereka.

Dengan bantuan orang kepercayaannya di dapur, Khadijah berusaha mencari jamu untuk menyembuhkan suaminya. Rasa pahit itu ia telan sendiri, sampai akhirnya ia memohon kepada adik iparnya untuk membantu merawat bayi yang ada di dalam perutnya kelak saat lahir ke dunia.

Tidak lama kemudian, duka kembali menyelimuti. Ayah mertuanya wafat. Langit seakan runtuh; sosok yang sangat sabar dan tak pernah mengeluh itu menghembuskan napas terakhirnya seperti orang tidur. Duka menyelimuti seluruh pondok pesantren yang merasa kehilangan tumpuan ilmu. Suami Khadijah pun diamanatkan untuk menggantikan sang ayah sebagai guru besar dan pengelola pesantren.

Namun, takdir berkata lain. Hari demi hari dilewati tanpa sempat ia merasakan menggendong anak yang diidam-idamkan. Semua harapan kandas terbawa angin. Suami Khadijah diberitakan telah tiada. Khadijah sangat terpuruk. Satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah memohon kekuatan kepada Allah SWT untuk terus menjalani hidup, sambil memegang erat kenangan lukisan buatan suaminya yang menggambarkan dirinya memegang sebilah pedang simbol seorang wanita yang kuat.

Perjuangan Perempuan Melawan Stigma

Setelah kepergian suaminya, permasalahan mulai berdatangan. Niat baik Khadijah untuk membangun tempat bagi para santrinya justru mendapat kecaman dari keluarganya sendiri maupun keluarga mendiang suaminya. Stereotip negatif selalu dilontarkan oleh masyarakat di sekitar pesantren.

Perempuan dituntut untuk selalu kuat menghadapi perjalanan hidupnya, namun ada saja yang membuatnya patah, entah itu sikap dari keluarga terdekat atau pelabelan dari masyarakat. Hidup terkadang terasa begitu jahat kepada perempuan, di mana kepentingan seringkali didahulukan di atas perasaan. Bukan bermaksud membela kaum perempuan secara membabi buta, tetapi seringkali yang menyakiti perempuan adalah sesama perempuan. Mereka seakan saling berlomba untuk terlihat paling baik. Tentu, laki-laki juga bisa begitu; seringkali tidak membuka mata untuk melihat kebenaran seseorang kecuali jika sudah berteman dekat atau memiliki hubungan keluarga. Mungkin ini hanya perspektif dari seseorang yang ilmunya masih dangkal, tapi setidaknya ini adalah upaya untuk menyuarakan pembelaan diri.

BACA JUGA:

Maaf yang Terlambat, Cinta yang Tak Pernah Padam: Resensi Novel Maaf Untuk Papa Karya Ria Ricis

Perempuan tidak selamanya harus berada di ranah domestik. Mereka juga bisa setara di bidang kepengurusan, seperti Khadijah yang merelakan seluruh tenaganya untuk membangun pondok pesantren bagi santrinya. Ia rela berkorban meskipun mendapat pelabelan negatif dari semua orang yang tidak menyukainya. Allah SWT tahu seberapa kuat makhluk-Nya bertahan dan tidak akan memberikan ujian melebihi batas kemampuannya. Seperti yang disampaikan oleh guru besar, ayah dari kekasih Khadijah:

โ€Bismillahirrahmanirrahiiim, wabtaghii fiima aataakallah al-daar al-aakhirah.โ€ (Perempuan Berselempang Pedang: 37)

Semua orang pasti memiliki ujian, baik dalam segi ekonomi, percintaan, kematian, fitnah, dan lain sebagainya. Kita tidak dituntut menjadi seperti ini atau itu, tetapi yang terpenting adalah seberapa besar kita dapat membawa diri menjadi manusia yang bermanfaat untuk seluruh umat.

Sikap yang harus dihilangkan adalah membeda-bedakan antara perempuan dan laki-laki. Masyarakat kita masih banyak yang menganut budaya patriarki, seperti anggapan, “Untuk apa perempuan mengejar pendidikan tinggi, ujung-ujungnya tetap di dapur.” Ironisnya, yang sering berucap seperti itu juga perempuan. Padahal, pendidikan sangat penting, karena perempuan adalah madrasatul ulaโ€”guru pertama bagi anak-anaknya. Menjadi seorang guru butuh banyak persiapan agar bisa memberikan yang terbaik untuk generasi penerus.

Ulasan Novel: Inspirasi dan Kritik Konstruktif

Novel ini memiliki karakteristik yang unik dan sangat inspiratif bagi kaum perempuan. Pesannya jelas: jangan pernah patah semangat meskipun banyak kecaman atau pelabelan negatif dari orang lain. Orang lain tidak tahu bagaimana rasanya menjadi diri kita, dan belum tentu mereka bisa sekuat kita jika berada di posisi yang sama.

Kelebihan novel ini antara lain:

  • Konflik yang Bervariasi: Mulai dari kehilangan orang tersayang, kehilangan harapan memiliki anak, kehilangan kepercayaan keluarga, hingga perjuangan membangun pesantren yang tidak mulus.
  • Latar Pesantren yang Kental: Pembaca bisa mengetahui bagaimana kehidupan di pesantren, meskipun budaya patriarki masih terasa menekan perjuangan perempuan.
  • Nilai Religi yang Kuat: Banyak sekali pelajaran yang dapat diambil, seperti mengaji kitab, tilawah, sholat, dan berzikir.
  • Sosok Khadijah yang Pantang Menyerah: Ia ikhlas berkeliling menemui saudara dan teman-teman mendiang suaminya untuk meminta sumbangan, bahkan rela menjual hartanya demi perjuangan menebar agama Islam.

Kritik dan Saran: Novel ini memerlukan perhatian lebih pada aspek penulisan. Terdapat beberapa kata yang tersambung tanpa spasi dan ada kata yang kehilangan huruf. Selebihnya bahasa yang digunakan cenderung santai dan mudah dipahami.

Pesan Penutup: Hargailah Perempuan

Percayalah, perempuan diciptakan untuk menjadi manusia yang memiliki karakter indah, baik, dan penyabar. Namun, karakter tersebut bukanlah alasan untuk dijadikan bahan gunjingan atau dipermainkan. Perempuan diciptakan untuk dibahagiakan karena banyak proses berat yang akan dialaminya, baik dari segi psikis maupun fisik. Hatinya bisa selembut sutra, namun juga bisa sekeras baja, tergantung pada kondisi dan keadaan.

Perempuan bisa melakukan hal-hal yang tidak terduga, maka jagalah dan jangan pernah menyakitinya. Jika kau menyakiti seorang perempuan, sama saja kau menyakiti ibumu. Ingat, hukum tabur tuai itu ada dan nyata. Hidup ini berputar; mungkin hari ini kau adalah makhluk paling spesial, tapi bisa jadi di kemudian hari kau menjadi sampah yang tak dibutuhkan dan dibuang.

Lakukan segalanya sekadarnya saja, karena yang berlebihan itu tidak baik, kecuali rahmat, nikmat, dan sehat dari Allah SWT. Jangan pernah meremehkan perasaan perempuan. Ingat, ibu adalah guru pertama bagi anak-anakmu kelak. Jangan sampai salah memilih, dan jangan pernah lupa bahwa perempuan juga manusia yang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Avatar Robi Nadifah

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *




Subscribe to our newsletter