Dari Kekunoan Hingga Kekinian

Wayang Kulit dan Syi’ar Theosofi di Hindia Belanda

Avatar Wahyu Mada

H.P. Blavatsky dan anggota-anggota Theosophical Society (theosophical)

Sukarno dalam Penjambung Lidah Rakjat Indonesia memiliki akses mudah ke perpustakaan Theosofi di Surabaya karena ayahnya R. Sukemi merupakan salah seorang anggota perkumpulan itu. Perpustakaan Theosofi disebutnya sebagai peti harta karun yang tidak mengenal pembatasan kepada anak miskin. Pada akhirnya Sukarno dapat bertemu dengan orang-orang besar dan berpengaruh di dalam organisasi Theosofi tersebut. Lantas, apakah yang dimaksud dengan Theosofi itu?

Masyarakat Theosofi atau Theosophical Society adalah organisasi spiritual universal yang digagas secara lembaga oleh Helena Petrovna Blavatsky, perempuan keturunan bangsawan Rusia yang dibantu oleh orang-orang Amerika bernama Henry Stell Olcott dan W.Q. Judge di New York, Amerika Serikat pada 1875. Pasca pendiriannya, H.S. Olcott diangkat menjadi presiden pertama Theosophical Society.

Iskandar P. Nugraha dalam bukunya Teosofi, Nasionalisme, dan Elite Modern di Indonesia menyatakan bahwa pendirian Theosofi dilatarbelakangi oleh keadaan dunia yang semakin memburuk karena materialisme dan ateisme yang menjerumus pada egoisme semata. Mereka menginginkan perubahan rakyat lewat moral batin untuk melawan hawa nafsu manusia. H.P. Blavatsky berkata dalam karyanya The Key to Theosophy bahwa Theosofi pertama-tama, menanamkan beberapa moral kebenaran luar biasa pada disiplin itu. Secara etimologi konsep Theosofi berarti โ€œkebijaksanaan ilahiโ€.

Artikel Pradipto Niwandhono yang berjudul โ€œGerakan Theosofi dan Pengaruhnya terhadap Kaum Priyayi Nasionalis Jawa 1912โ€“1926โ€ menjelaskan bahwa Theosofi di Hindia Belanda merupakan mazhab esoteris Barat dengan misi untuk melestarikan kebijaksanaan abadi yang menjadi intisari kebenaran religius maupun saintifik dan mewujudkan persaudaraan universal manusia. Corak dari ajaran Theosofi adalah kentalnya filosofis Hinduisme Vedanta, Buddhisme, dan prinsip-prinsip Hermetis-Kabbalistik mengenai identifikasi mikrokosmos-makrokosmos.

Theosofi memiliki corak pemikiran mistik Timur, maka pada 1897 H.P. Blavatsky memindahkan pusat Theosophical Society dari New York ke Adyar, India. Pasca pindah ke Adyar, nampaknya Theosofi banyak mengambil wawasan-wawasan yang bersumber dari Hindu sehingga dapat memiliki banyak pengikut. Organisasi ini juga memiliki relasi dengan Arya Samaj, salah satu gerakan kebangkitan Hindu yang didirikan oleh D. Sarasvati pada 1875. Gerakan itu memiliki cita-cita untuk memurnikan ajaran Hindu sesuai dengan Kitab Weda.

Organisasi Theosofi di Hindia Belanda dalam kegiatannya memiliki acuan tersendiri yang berlandaskan pada tiga asas Theosofi, yaitu:

  1. Membentuk inti persaudaraan universal manusia tanpa membedakan kebangsaan, kepercayaan, kasta maupun warna kulit,
  2. Mendorong studi komparatif terhadap agama, filsafat dan ilmu pengetahuan, dan
  3. Menyelidiki hukum alam dan potensi tersembunyi yang dimiliki manusia dan belum dapat dijelaskan.

Theosophical Society masuk ke Hindia Belanda pada tahun 1881 setelah didirikan satu loji di Pekalongan, Jawa Tengah di bawah pimpinan Baron van Tengnagel. Theosofi di Pekalongan saat itu nampaknya masih menjadi bagian cabang dari negara induk Belanda. Organisasi tersebut lebih lanjut mulai melebarkan sayapnya ketika Theosofi Hindia Belanda dibuka dan tidak menjadi cabang dari Theosofi Belanda dengan nama Nederlandsche-Indische Theosofische Vereeniging (NITV) pada 15 April 1912 dengan ketuanya Dirk van Hinloopen Labberton.

NITV memiliki cita-cita yang sama dengan kelompok Asosiasi, yaitu hubungan yang bersifat paternalisme. Cita-cita yang dicanangkan NITV adalah keinginan untuk memajukan kepintaran, kebaikan, dan keselamatan โ€œsaudara-saudaraโ€ pribumi agar dengan bangsa Barat dapat berdekatan. Iskandar P. Nugraha lebih lanjut menyatakan salah satu upaya kaum Theosofi adalah mencoba melakukan propaganda kepada kalangan Bumiputra agar banyak yang bergabung. Salah satu media propagandanya adalah melalui media kesenian wayang kulit yang dinilai berhasil menarik perhatian beberapa kalangan priyayi Jawa.

Clifford Geertz, seorang antropolog asal Amerika Serikat dalam bukunya The Religion of Java mengatakan bahwa filsafat kisah-kisah wayang adalah bahwa sepanjang orang dapat melihat realitas terakhir yang berada dalam diri orang itu sendiri sebagai suatu rasa tertinggi, maka ia akan bebas dari efek emosi-emosi duniawi yang menghancurkan, tidak saja perasaan kasihan, tetapi juga kemarahan, cemas, cinta, harapan, keputusan, dan semuanya saja. Makna pertunjukan wayang tersebut sangat sesuai dengan salah satu keinginan Theosofi, yaitu perubahan rakyat lewat moral batin untuk melawan hawa nafsu manusia yang digambarkan sebagai emosi-emosi keduniawian.

Pencocokan ide-ide dalam ajaran Theosofi dengan wayang kulit menjadikan Theosophical Society semakin digandrungi orang-orang pribumi, terutama priyayi dan kaum elite pribumi yang jumlahnya mendominasi di dalam gerakan itu. Katakanlah seperti Budi Utomo, Indische Partij, M. Yamin, Agus Salim, KRT Radjiman Wedyodiningrat, berbagai priyayi istana Jawa, hingga tokoh-tokoh pergerakan lainnya yang tercatat memiliki kaitan erat dengan Theosofi.

Ceramah wayang yang diadakan di Loji Djokerto, Batavia tahun 1918 yang memiliki inti bahwa wayang adalah kegemaran orang Jawa dan telah mendarahdaging sekaligus simbol Kawula Gusti, yaitu โ€œyang menjadi dan dijadikanโ€. Gusti diibaratkan organisasi Theosofi dan kawula adalah pengikut-pengikutnya. Menurut Iskandar P. Nugraha, tokoh yang paling diidolakan orang Jawa dalam wayang adalah Arjuna karena berbudaya halus dan sempurna secara lahiriah dan batiniah.

Dr. Radjiman Wedyodiningrat yang merupakan tokoh Theosofi dan ketua Boedi Oetomo yang pertama sering mengadakan ceramah wayang dalam setiap pertemuan-pertemuan Theosofi. Wayang kulit yang menjadi media syiar bagi Theosofi banyak diberitakan dalam media massa, seperti koran yang menjadi simbol bahwa wayang kulit sangat sukses dalam wacana indoktrinisasi ide-ide Theosofi ke kalangan pribumi.

De Indische Courant 9 Maret 1934 memberitakan Kongres Theosofi yang hendak diadakan selama liburan Paskah di Algemeene Middelbare Landbouwschool, Tjikeumeuh Nomor 99, Buitenzorg (Bogor) pada 30 Maret โ€“ 2 April 1933. Wayang kulit menjadi salah satu acara yang jarang terlewatkan dalam kongres-kongres Theosofi, termasuk kongres yang diadakan di Bogor tersebut. Pertunjukan wayang kulit tersebut terjadwal tanggal 1 April 1933 pukul 21.00.

Kongres Theosofi yang diadakan di Yogyakarta pada 1925 lebih berfokus pada ceramah Tuan J. Kruisheer tentang nilai-nilai spiritualitas pada wayang kulit dalam Koran De Locomotief 11 April 1925. Tuan J. Kruisheer secara jelas menyebut bahwa wayang kulit memiliki makna yang lebih dalam daripada wayang orang. Wayang juga dikatakan memiliki makna religius karena dalang dianggap mewakili posisi seorang pendeta.

Pada puncaknya, pembahasan tentang mistisme adalah inti dari ceramah Tuan J. Kruisheer yang membahas tentang pengetahuan diri atau perjuangan untuk mengenali dan memperbaiki kesalahan dan kekurangan diri sendiri. Konsep itu dikaitkan dengan cerita Mahabarata, di mana Pandawa mewakili kualitas baik, dan Kurawa mewakili kualitas buruk manusia. Medan perang adalah wujud diri manusia sendiri dan pergulatan terjadi antara yang lebih tinggi dan yang lebih rendah dalam kodrat manusia untuk mencapai jalan evolusi ke arah yang lebih baik.

Pagelaran wayang kulit oleh kaum Theosofi tidak hanya diadakan di loji atau gedung-gedung pertemuan saja, namun juga diadakan di rumah pribadi priyayi Jawa saat itu. Pertunjukan wayang kulit pernah diadakan di kediaman K.P.H. Kosoemodiningrat pada 15 November 1930. Pertunjukan tersebut merupakan bagian dari acara perayaan 55 tahun Theosophical Society yang berdiri sejak tahun 1875 oleh Loji Solo.

Wayang kulit ternyata tidak hanya menjadi media propaganda saja, namun juga menjadi alat penghormatan kepada sosok-sosok berpengaruh dalam Theosophical Society yang berkunjung ke Hindia Belanda. Pada saat kongres pertama di Yogyakarta yang diberitakan 18 Mei 1908 oleh De Nieuwe Courant, Loji Surabaya menghadiahkan wayang berhiaskan timbul perak berdiri yang melambangkan sosok tokoh Kresna dan Arjuna kepada Tuan Fricke (perwakilan Annie Besant, Presiden ke-2 Masyarakat Theosofi).

Pada kesempatan lain, Curuppumullage Jinarajadasa, seorang theosof terkenal disebutkan sangat memuji dan menyukai wayang kulit dan perangkat gamelannya yang ditunjukkan kepadanya saat mengunjungi Solo pada 14 Juni 1919. C. Jinarajadasa nantinya pada tahun 1946 menjadi presiden ke-4 dari Masyarakat Theosofi. Berita ini diceritakan oleh De Locomotief 14 Juni 1919.

D. van Hinloopen Labberton, seorang Presiden Theosofi Hindia Belanda dalam โ€œWayang dan Gamelanโ€, Pemitran 2 April 1916 yang dikutip oleh Iskandar P. Nugraha menyatakan bahwa wayang menggenggam rahasia besar kemanusiaan, tetapi justru malah disia-siakan oleh orang Eropa. Orang Eropa harus tahu dasar kesopanan Bumiputera yang tersembunyi dalam wayang dan gamelannya.

Avatar Wahyu Mada

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *




Subscribe to our newsletter