Dari Kekunoan Hingga Kekinian

Sejarawan Muda Bicara: Menyusun Ulang Mozaik Sejarah Nganjuk

Avatar Ifan Maulana Ishak

Bagi Anna Nur Nita sebagai sejarawan Nganjuk, kegiatan Traveling Vintage yang ia gagas merupakan cara ia mengemas sejarah dalam konteks kekinian.

Berbicara sejarah tentu tidak akan ada habisnya, begitu pula Nganjuk sebagai sebuah Kabupaten yang telah eksis dalam kurun waktu yang panjang, tersimpan lapisan-lapisan sejarah yang kaya dan penuh makna. Tidak hanya sekadar catatan masa lalu, sejarah Nganjuk menjadi fondasi identitas masyarakatnya hari ini. Yang menarik, belakangan ini muncul geliat baru dari kalangan sejarawan muda, generasi baru yang mencoba membaca kembali sejarah Nganjuk, bukan hanya dari prasasti dan candi, tapi juga melalui pendekatan kritis, kontekstual, dan lebih dekat dengan kesehari-harian masyarakat. Begitu pula tulisan ini mencoba menyoroti bagaimana generasi muda melihat, menafsirkan, dan menghidupkan kembali sejarah Nganjuk dalam perspektif kekinian.

Menggali Sejarah dari Tinggalan Arkeologis

Bagi sejarawan muda, titik awal membaca sejarah Nganjuk seringkali dimulai dari Prasasti Anjuk Ladang. Prasasti yang diterbitkan oleh Raja Mpu Sindok pada tahun 937 M ini adalah tonggak penting yang menandai lahirnya wilayah Anjuk Ladangโ€”nama awal dari Nganjuk. Dalam prasasti ini disebutkan bahwa rakyat setempat telah membantu pasukan kerajaan dalam melawan musuh, dan sebagai balas jasa, daerah mereka diangkat sebagai sima (daerah perdikan).

Menulis sejarah tidak hanya berbekal membaca teks prasasti sebagai dokumen kuno, tetapi mencoba menafsirkan lebih dalam dengan upaya menempatkan sejarah secara berimbang, tidak selalu menyorot satu tokoh, peristiwa, dan hal-hal besar saja. Misalnya, bagaimana kekuatan rakyat lokal kala itu mampu mempengaruhi keputusan politik kerajaan? Mengapa wilayah ini dianggap strategis oleh Mpu Sindok? Dan apa hubungan makna โ€œtanah kemenanganโ€ dalam budaya dan identitas masyarakat Nganjuk?

Situs sejarah seperti Candi Lor menjadi perhatian penting bagi para peneliti muda. Letaknya yang berada di Candirejo, Kecamatan Loceret, menyimpan banyak potensi narasi sejarah. Meski kini yang tersisa hanya bagian bawah dari struktur candi, sejarawan muda melihat Candi Lor bukan sekadar artefak kuno, tapi sebagai sumber daya sejarah yang hidup.

BACA JUGA:

Candi Lor dan Jejak Mpu Sindok: Menyingkap Asal-Usul Kabupaten Nganjuk

Beberapa pelajar di Nganjuk seharusnya mulai melakukan pendokumentasian ulang, wawancara warga sekitar, dan diskusi terbuka mengenai makna situs ini. Memang hingga saat ini penulisan seputar sejarah Candi Lor masih berkutat pada siapa sebenarnya yang membangun candi ini? Apa fungsi spiritual dan politiknya? Bagaimana peran masyarakat lokal dalam merawat atau bahkan melupakan situs ini?

Namun tidaklah salah, pernyataan demikian tentu menjadi penting sebagai pondasi awal ketertarikan generasi muda terhadap sejarah. Dengan pendekatan ini pula, sejarah menjadi lebih dialogis dan partisipatif, bukan hanya milik akademisi atau instansi pemerintah.

Pendekatan Baru: Sejarah sebagai Ruang Dialog

Sebagai sejarawan muda tentu kami melihat sejarah tidak hanya sebagai kumpulan data dan peristiwa, tetapi sebagai ruang untuk berdialog: antara masa lalu dan masa kini, antara fakta dan interpretasi, antara narasi resmi dan suara-suara yang terlupakan. Sebagai contoh, beberapa pelajar di Nganjuk mulai menggali cerita rakyat, tradisi lisan, dan memori kolektif dari desa-desa tua. Mereka menyadari bahwa sejarah tidak hanya tertulis di batu dan naskah, tetapi juga hidup dalam cerita nenek moyang, ritus adat, dan pola hidup masyarakat.

Dari segi eksplanasi dan penyampaiannya juga lebih variatif, sebagaimana yang sudah umum juga dilakukan dengan menggunakan media sosial, podcast, dan video dokumenter sebagai medium baru untuk menyebarkan hasil riset mereka. Pendekatan ini terbukti lebih efektif menjangkau publik muda yang sebelumnya merasa jauh dari dunia sejarah.

Tetapi dalam perjalanannya, tidaklah semudah yang kita impikan. Masih adanya anggapan bahwa sejarah adalah mata pelajaran yang membosankan, tidak berguna, atau sekadar hafalan. Di sinilah tugas berat sejarawan muda mengubah persepsi tersebut dengan menunjukkan bahwa sejarah itu relevan dan punya dampak nyata terhadap kehidupan sosial, politik, bahkan ekonomi hari ini.

Meski begitu, harapan tetap terbuka. Adanya kegiatan berupa pengenalan dan jelajah sejarah dengan kolaborasi antar sekolah menjadi sinyal bahwa generasi muda Nganjuk mulai sadar akan pentingnya warisan sejarah mereka. Traveling Vintage Kabupaten Nganjuk, begitu tema kegiatan yang diinisiasi oleh sejarawan muda yakni Anna Nur Nita, ia mengangkat konsep kegiatan ini sebagai upaya menghidupkan kembali cerita masa lalu dari beberapa tinggalan sejarah dan masyarakat yang hidup berdampingan dengannya.

Melihat semangat generasi muda kali ini, tampak jelas bahwa mereka tidak hanya berkutat dengan masa lalu, tetapi juga sedang membangun masa depan. Dengan menggali dan menghidupkan kembali sejarah lokal, mereka sedang menanamkan identitas, kebanggaan, dan daya kritis yang dibutuhkan oleh masyarakat modern.

Karena sejarah bukanlah milik masa lalu semata. Ia adalah jendela untuk memahami siapa kita hari ini dan ke mana arah kita ke depan. Ketika generasi muda mulai mencintai dan memahami sejarahnya sendiri, di situlah sebuah bangsa atau daerah tumbuh dengan pijakan yang kuat.

Sejarah Nganjuk dalam kacamata sejarawan muda bukan sekadar cerita tentang masa lalu yang usang. Ia adalah proses aktif membaca kembali jejak-jejak budaya, politik, dan sosial yang membentuk identitas masyarakat Nganjuk hari ini. Dengan pendekatan yang lebih terbuka, kritis, dan kreatif, generasi muda memberi warna baru pada cara kita memahami sejarah. Karena mereka tidak hanya menjaga warisan leluhur, tapi juga mengajarkan kita bahwa masa lalu bukan untuk dilupakan melainkan untuk dijadikan bekal melangkah ke masa depan

Avatar Ifan Maulana Ishak

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *





Subscribe to our newsletter