Perihal petani Banyuwangi, memasuki penghujung abad ke-19, ketika aroma manis gula menggiurkan pasar dunia, kekuatan kapitalisme kolonial mengalir deras ke pelosok Nusantara di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Kapitalisme tidak hanya menghadirkan mesin dan pabrik, tetapi juga membawa logika industri serta eksploitasi yang mengabaikan adat dan tradisi setempat. Banyuwangi, sebuah kabupaten di ujung timur Jawa, menjadi salah satu lokasi percobaan pembangunan sistem ekonomi berbasis industri gula. Akan tetapi, pihak kolonial tidak memperhitungkan satu hal: masyarakat pribumi Banyuwangi, yang menyebut diri mereka Suku Osing, menunjukkan sikap yang berbeda sebuah resistensi.
Di bawah kekuasaan kolonial Belanda, komoditas tebu menjadi andalan. Sebelumnya, masyarakat telah mengenal pemanis alami dari air nira. Namun, sistem tanam paksa, tuntutan efisiensi produksi, dan pasar global menjadikan gula tebu mendominasi. Menurut Pierre van der Eng, pada tahun 1927, produktivitas gula di Indonesia pernah mencapai 15 ton per hektar, menjadikannya salah satu yang terbaik di dunia pada masa itu. Ironisnya, keberhasilan ini dibangun di atas penderitaan: lahan petani diambil paksa, hutan dibuka, dan tenaga kerja dieksploitasi. Sebagaimana ditulis oleh Sidney W. Mintz dalam bukunya, Sweetness and Power: The Place of Sugar in Modern History, gula bukan sekadar pemanis, melainkan juga simbol kekuasaan dan transformasi sosial.
Pada akhir abad ke-19, antara tahun 1891 hingga 1895, tiga pabrik gula didirikan di Banyuwangi, tepatnya di Kabat, Rogojampi, dan Sukowidi. Ketiga pabrik gula ini berada di wilayah yang sebelumnya merupakan lahan pertanian tradisional milik petani lokal. Pemerintah kolonial dan pihak kapitalis swasta berharap pabrik-pabrik ini akan menyerap tenaga kerja lokal dan menghidupkan ekonomi daerah. Namun, harapan itu pupus. Kenyataannya, masyarakat Banyuwangi tidak antusias. Mereka bukan hanya enggan menjadi buruh pabrik, tetapi juga menolak menyewakan lahannya kepada pihak kapitalis.
Sikap ini bukan tanpa alasan. Menurut G. Roger Knight dan Arthur van Schaik dalam State and Capital in Late Colonial Indonesia: The Sugar Industry, Braakhuur, and the Colonial Bureaucracy in North Central Java, sistem sewa lahan braakhuur sangat merugikan petani. Mereka harus menyerahkan lahan sebelum masa panen utama padi. Sistem ini membuat tanah mereka kosong selama beberapa bulan untuk persiapan masa tanam tebu. Keuntungan jelas hanya dirasakan oleh pihak kapitalis pabrik. Akibatnya, petani lokal tidak hanya kehilangan masa panen, tetapi juga kendali atas tanah tradisional mereka.
Bentuk resistensi ini tampak nyata di Desa Boyolangu, yang termuat dalam artikel berjudul โKematianja Suikerfabriek di Banjoewangiโ di surat kabar Tjahaja-Timoer. Dalam artikel itu, dikisahkan bagaimana masyarakat secara terang-terangan menolak menyewakan tanah kepada pihak kapitalis gula. Bentuk perlawanan ini kemudian menyebar ke desa-desa lain. Ketika para birokrat kolonial dan kaum kapitalis mencoba membujuk, masyarakat lokal tetap bergeming. Bagi mereka, menjadi petani adalah sebuah identitas, bukan sekadar pekerjaan untuk mencari keuntungan. Masyarakat lokal menolak direduksi menjadi buruh dalam sistem industri yang asing dan menindas.
BACA JUGA: Hantu Kapitalisme di Balik Bencana
Resistensi ini tak hanya terjadi di bidang pertanahan dan pekerjaan. Dalam catatan surat kabar Tjahaja-Timoer yang terbit pada 1917 dalam artikel berjudul โKapitalisten mendapat Tjilakaโ, dipaparkan kebangkrutan dua pabrik gula, yakni di Kabat dan Rogojampi. Sementara itu, pabrik gula di Sukowidi bertahan lebih lama, namun pada akhirnya juga berhenti beroperasi di masa pendudukan Jepang. Bahkan sebelum itu, pabrik gula Sukowidi sebenarnya telah goyah pada masa depresi ekonomi tahun 1930-an.
Tak cukup sampai di situ, lingkungan sekitar pabrik-pabrik ini dilanda wabah malaria. Pada tahun 1898, hanya tiga tahun setelah beroperasinya pabrik gula Sukowidi, wabah malaria mulai merebak dan menyebabkan kematian di setiap tahunnya. Kerusakan ekosistem, limbah industri, dan pembukaan lahan merupakan pemicu berkembangnya nyamuk pembawa wabah tersebut. Faktor ini diyakini turut memperkuat keengganan masyarakat untuk terlibat dalam sistem industri. Bagi masyarakat lokal, modernisasi yang dijanjikan akan membawa kesejahteraan justru pada kenyataannya menghadirkan kesengsaraan.
Dari serangkaian peristiwa tersebut, timbul sebuah pertanyaan: apakah semua ini membuat pihak kapitalis menyerah? Tidak. Para kapitalis akhirnya bergeser ke wilayah Glenmore, sebuah tempat yang didominasi oleh para pendatang dari luar Banyuwangi. Di sana, pabrik gula Glenmore dibangun pada tahun 1920 oleh pihak swasta dari Skotlandia, yaitu Ross Taylor. Pabrik ini masih beroperasi hingga saat ini dan menjadi simbol bagaimana kapitalisme akan terus mencari celah di tengah resistensi lokal untuk mendapatkan keuntungan dan melakukan eksploitasi.
Resistensi masyarakat Banyuwangi bukanlah sekadar cerita tentang kegagalan proyek kolonial. Ini adalah pembelajaran penting tentang bagaimana nilai, identitas, dan keberanian masyarakat lokal dapat menjadi benteng terakhir melawan imperialisme dan kolonialisme yang berusaha menggusur kehidupan serta tradisi mereka. Di balik kegagalan proyek kapitalis di tiga pabrik itu, tersimpan narasi besar tentang harga diri, keteguhan, dan pilihan untuk tetap berpijak di tanah sendiri.
Tinggalkan Balasan