Dari Kekunoan Hingga Kekinian

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tahun 1960 hingga 1971

Avatar Ifan Maulana Ishak

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebenarnya lebih akrab dikenal dengan sebutan “Undang-Undang No. 3 Tahun 1971” disahkan menjadi Undang-Undang tepat pada 29 Maret 1971 (Ilustrasi: Hukumonline.com)

Karena itulah kelahiran Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut langsung disertai oleh penjelasannya, merupakan suatu upaya yuridis untuk mengadakan perubahan dan pembaharuan terhadap pola-pola pemberantasan tindak pindana korupsi dalam Undang-Undang No.24 Prp Tahun 1960 yang banyak kelemahan itu. 

Dari pengertian dalam arti sempit mengenai apa yang dapat dikatagorikan dengan korupsi menjadi pengertian dalam arti luas. Sehingga pengertian korupsi dalam Undang-Undang No 3 Tahun 1971 juga meliputi pasal-pasal 387 dan 388 KUHP.

Bahkan bagi individu atau kelompok individu yang turut menyebabkan terjadinya tindak pidana korupsi oleh si pejabat pun, juga dianggap sebagai melakukan hal yang sama. Disamping itu, juga dari hukuman yang kurang berat bagi koruptor menjadi hukuman yang lebih berat, yakni hukuman penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya 20 tahun dan atau denda setinggi-tingginya 30 juta rupiah. 

Kini setelah setengah abad lebih Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut berjalan semenjak disahkan menjadi Undang-Undang pada tanggal 29 Maret 1971, kemudian apakah dari sekian banyak harapan yang dicanangkan pada Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tu telah tercapai semuanya? 

Dari pengamatan penulis sendiri secara sekilas-pintas selama ini, maka dapatlah dikatakan bahwa harapan-harapan yang dicanangkan itu kini banyak yang masih tinggal harapan.

Sesudah Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu disahkan, masyarakat seolah-olah bersyukur kepada Tuhan, karena Tuhan telah mengabulkan niat dan usaha bangsa Indonesia melalui forum Dewan Perwakilan Rakyat, telah tercapai pengesahan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada tanggal 29 Maret 1971. Tetapi hal ini percuma jika didalam pribadi aparaturnya masih memiliki mental korup.

Sedangkan akhir-akhir ini sedang marak-maraknya kasus korupsi yang dilakukan oleh Harvey Moeis yang terlibat korupsi timah yang ditaksir kerugian negara sebesar 271 Triliun hingga kasus Dirut Pertamina Patra Niaga yang juga tersandung korupsi BBM โ€œoplosanโ€.  

BBM Oplosan: Pejabat Mabuk, Masyarakat yang Teler

Dari kasus-kasus tersebut diatas, dapatlah kita mengambil suatu gambaran aparatur Pemerintah dan Negara yang menyalah-gunakan jabatannya, yang hanya bisa berfikir dalam rangka kepentingannya sendiri, dan tidak lagi berfikir dalam rangka kepentingan umum.

Keadaan yang demikian ini sampai sekarang masih dirasakan semakin meningkat, ini tentu ada sebab-sebabnya, salah satunya masih adanya faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dan yang mendorong aparatur Pemerintah dan Negara untuk melakukan tindak pidana korupsi misalnya faktor sosial, faktor ekonomi, faktor yuridis, faktor politis. faktor mental aparatur, faktor administrasi, dan lain-lain.

Laman: 1 2

Avatar Ifan Maulana Ishak

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *




Subscribe to our newsletter