Ramadhan merupakan bulan yang kehadirannya sangat dinantikan oleh umat Islam. Sebab di bulan tersebut, semua amalan baik yang kita lakukan akan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah SWT.
Bagi masyarakat Aceh, ada satu tradisi unik yang dilaksanakan menjelang Ramadhan. Tradisi tersebut dikenal sebagai meugang atau makmeugang, dan menariknya tradisi ini sudah ada sejak lama dan masih dilaksakan secara turun-temurun hingga sekarang.
Perayaan meugang dilakukan dengan membeli daging sapi atau kerbau untuk dimasak dan dinikmati bersama-sama dengan keluarga. Oleh sebab itu, membeli daging pada hari meugang merupakan sebuah keharusan bagi masyarakat Aceh. Meskipun saat itu harga daging lebih mahal dari hari-hari biasanya. Dalam kebudayaan masyarakat Aceh, meugang dilaksanakan sebanyak tiga kali dalam setahun menjelang hari-hari besar Islam.
Pertama adalah meugang puasa, kemudian kedua adalah meugang uro raya yang dilakukan sehari sebelum pelaksanaan Hari Raya Idul Fitri. Terakhir yang ketiga adalah meugang uro raya haji yang dilaksanakan dua hari sebelum perayaan Hari Raya Idul Adha.
Cerita Lampau Dibalik Meugang
Sejarah Meugang di Aceh berawal dari masa Kesultanan Aceh, yang diperkirakan dimulai sejak pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607–1636). Tradisi ini mulanya merupakan kebijakan kerajaan untuk memastikan rakyatnya bisa menikmati daging sebelum memasuki bulan Ramadhan atau hari raya besar lainnya.
Pada saat itu, hewan kurban disembelih dalam jumlah besar oleh pihak kerajaan dan dagingnya dibagikan kepada rakyat, termasuk fakir miskin dan orang yang membutuhkan. Dalam hal ini, Sultan mengajak rakyatnya untuk menikmati hidangan bersama sebagai tanda persatuan antara pemimpin dan rakyat dalam membentuk solidaritas. Selain itu, para saudagar dan orang-orang kaya turut serta menyumbangkan hewan kurban, sehingga semua lapisan masyarakat dapat merasakan nikmatnya makanan bergizi menjelang puasa Ramadhan.
Dalam perayaan meugang pada masyarakat Aceh dikenal beberapa jenis daging yang sering diperjualbelikan saat momen ini yaitu sie meukilo, sie plah patèe, dan sie tumpok. Masyarakat Aceh bebas memilih untuk membeli daging yang sesuai dengan keinginan mereka.
Beberapa hari sebelum hari besar, pasar-pasar di Aceh ramai dengan warga yang membeli daging sapi atau kerbau. Harga daging biasanya meningkat karena permintaan yang tinggi, tetapi masyarakat tetap berusaha untuk mendapatkan daging demi menjaga tradisi.
Daging tersebut kemudian dimasak menjadi berbagai hidangan khas Aceh, seperti gulai, kari, atau masakan berbumbu rempah lainnya. Selain itu di hari meugang orang Aceh juga memasak leumang, satu jenis makanan yang terbuat dari bahan beras ketan atau singkong yang dimasukkan ke dalam bambu lalu dibakar dengan api besar.
Setelah memasak, masyarakat akan makan bersama keluarga, kerabat, dan tetangga. Selain itu, ada juga tradisi berbagi makanan kepada orang-orang yang kurang mampu agar mereka juga bisa merasakan kebahagiaan menjelang hari besar.
Daging Sebagai Simbol Pemersatu Keluarga
Perayaan meugang merupakan tradisi yang sudah sangat melekat dalam kebudayaan Aceh. Orang Aceh berpandangan bahwa untuk menyambut bulan Ramadhan tidak afdal rasanya jika tidak ada daging di rumah. Sehingga setiap kepala keluarga harus memiliki setidaknya satu kilogram daging pada hari ini. Jika tidak, perayaan meugang untuk menyambut Ramadhan kurang ngefeel dan kurang berarti.
Keistimewaan hari meugang juga menjadi momen yang paling dinantikan oleh setiap keluarga. Saat menjelang Ramadhan anak-anak di perantauan harus pulang ke desa mereka agar bisa mencicipi semua jenis makanan yang di masak oleh ibu mereka.
Bahkan biasanya ibu-ibu rumah tangga akan meneteskan air mata jika anak-anak tercinta mereka dirantau tidak bisa pulang karena beberapa alasan. Mereka tidak bisa pulang untuk mencicipi makanan yang di masak oleh ibu tercinta mereka. Selain itu, banyak orangtua yang sedih dan bahkan menangis jika anak-anak mereka tidak bersama saat bulan yang dinantikan itu tiba.
Sebagai tradisi yang telah diwariskan turun-menurun, tradisi meugang bagi masyarakat Aceh tidak hanya berarti membeli dan makan daging tetapi juga mencerminkan kebanggaan dan penghargaan dari kepala keluarga, terutama ayah sebagai kepala keluarga. Jika ayah tidak dapat menyediakan daging bagi keluarganya karena harga daging relatif mahal, harga dirinya akan jatuh.
Begitu pula bagi seorang pria yang baru saja menikah, hari meugang bisa menjadi hari yang bergengsi dan juga bisa menjadi hari yang tidak bahagia karena semua beban pada hari meugang jatuh kepadanya. Jika ia tidak mengikuti adat dengan membawa daging mentah untuk keluarga isterinya pada hari meugang, maka kehormatannya akan turun di depan keluarga isterinya.
Hal ini sering menjadi bahan gosip di antara para tetangga, meskipun mertua tidak pernah merasa terganggu dengan hal tersebut. Lebih parahnya pada masa dulu jika ia berada di daerah yang adat istiadatnya masih sangat kental, bisa jadi pria tersebut tidak lagi diterima sebagai menantu.
Meugang bukan sekadar tradisi makan daging, tetapi juga memiliki makna sosial dan religius yang mendalam. Artinya, saat menjelang Ramadhan masyarakat punya cara tersendiri untuk memeriahkan. Meugang menjadi momen spesial berkumpulnya keluarga untuk menikmati hidangan bersama. Selain itu tradisi ini juga menumbuhkan rasa kepedulian sosial, dimana masyarakat yang mampu biasanya berbagi daging dengan kaum dhuafa, tetangga, dan mereka yang kurang mampu.
Di era modern seperti sekarang saat ini, meugang masih menjadi bagian penting dalam budaya Aceh. Tradisi ini ada sebagai sebagai bentuk rasa syukur atas rezeki yang diberikan Allah. Meskipun harga daging sering kali naik secara drastis, semangat berbagi dan kebersamaan tetap ada. Pemerintah daerah dan organisasi sosial sering kali mengadakan pembagian daging secara gratis kepada masyarakat yang kurang mampu agar semua orang dapat merasakan kegembiraan meugang.
Tinggalkan Balasan