Antropologi: Antara Logika Mistika dan Kearifan Lokal Meruwat
Ruwatan adalah tradisi yang masih bertahan di berbagai wilayah di Indonesia, khususnya dalam masyarakat Jawa. Dalam beberapa dekade terakhir, ruwatan sering kali dikaitkan dengan logika mistika dan dianggap sebagai warisan yang tidak lagi relevan. Padahal, dalam kajian antropologi, tradisi semacam ini tidak dilihat dari sudut pandang benar atau salah seperti wilayah filsafat dan etika, melainkan sebagai bagian dari sistem sosial yang memiliki fungsi dan makna mendalam bagi masyarakat.
Di Desa Jambekumbu, Kecamatan Pasrujambe, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, ruwatan masih menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat. Upacara ini tidak sekadar ritual mistis, tetapi juga berfungsi sebagai ekspresi budaya, perwujudan solidaritas sosial, pendidikan moral, serta media hiburan bagi masyarakat setempat.
“Jika filsafat sibuk bertanya apakah sesuatu itu benar atau salah, maka antropologi lebih tertarik pada bagaimana suatu kepercayaan hidup dan berfungsi dalam masyarakat.โ
Fungsi Antropologi: Ruwatan sebagai Hiburan
Dalam teori fungsionalisme William R. Bascom, salah satu fungsi utama tradisi adalah sebagai hiburan. Ruwatan di Desa Jambekumbu tidak hanya sekadar upacara sakral, tetapi juga menghadirkan berbagai pertunjukan seni seperti wayang kulit, reog, bantengan, dan jaranan.
Momentum ruwatan menjadi waktu yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat setempat. Mereka tidak hanya datang untuk menyaksikan pertunjukan, tetapi juga berpartisipasi dalam berbagai rangkaian acara, seperti mengarak gunungan hasil bumi dan makan bersama. Kebersamaan dalam tradisi ini menciptakan suasana rekreasional yang memperkuat ikatan sosial.
Mengukuhkan Identitas Budaya: Pengesahan Pranata Sosial dan Lembaga Adat
Salah satu aspek penting dalam ruwatan adalah penguatan pranata sosial dan lembaga adat. Dalam masyarakat Jawa, ruwatan berfungsi sebagai bentuk pengesahan nilai-nilai budaya dan norma sosial yang diwariskan secara turun-temurun.
Di Desa Jambekumbu, upacara ruwatan tetap dilaksanakan setiap tahun sebagai bentuk kepatuhan terhadap tradisi nenek moyang. Keberlangsungan tradisi ini menunjukkan bahwa ruwatan bukan hanya ritual semata, tetapi juga simbol kolektivitas dan identitas masyarakat setempat. Meskipun zaman terus berubah, ruwatan tetap menjadi bagian dari struktur sosial yang mempererat hubungan antarwarga.
Pendidikan Moral secara Antropologis
Selain sebagai hiburan dan penguatan budaya, ruwatan juga memiliki fungsi edukatif. Melalui partisipasi dalam tradisi ini, anak-anak diajarkan untuk menghormati leluhur, memahami pentingnya rasa syukur, serta menumbuhkan kepedulian terhadap sesama dan lingkungan.
Masyarakat Desa Jambekumbu meyakini bahwa ruwatan adalah cara untuk menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Oleh karena itu, mereka mengajarkan anak-anak bahwa hasil bumi yang melimpah adalah berkah yang harus disyukuri dan dijaga dengan baik. Dengan adanya tradisi ini, generasi muda dapat belajar mengenai nilai-nilai budaya yang mungkin sulit ditemukan dalam sistem pendidikan formal.
BACA JUGA:
Tradisi Janengan yang Tetap Eksis Meskipun Bukan di Daerah Asalnya
Ruwatan sebagai Perekat Solidaritas Sosial
Dalam masyarakat yang semakin individualistis, ruwatan menjadi salah satu momen penting yang memperkuat solidaritas sosial. Tradisi ini mengajarkan pentingnya gotong royong, kerja sama, dan rasa kebersamaan.
Saat ruwatan berlangsung, masyarakat dari berbagai latar belakang berkumpul, bekerja sama, dan berpartisipasi tanpa memandang status sosial, agama, atau golongan. Upacara ini menjadi simbol kesatuan, di mana perbedaan bukanlah penghalang, melainkan kekuatan yang memperkaya kehidupan bermasyarakat.
“Jika semua harus diukur dengan logika mekanis, lalu di mana ruang bagi makna, kebersamaan, dan pengalaman manusia? Antropologi tidak sedang adu mekanik. ia bukan membahas seberapa rasional atau tidak rasional,tetapi tentang memahami bagaimana manusia menyatu dengan realitas sosial mereka sendiri”
Ruwatan memang sering kali dikaitkan dengan aspek mistis, tetapi jika dilihat dari perspektif antropologi, tradisi ini memiliki makna yang jauh lebih luas. Di Desa Jambekumbu, ruwatan bukan sekadar ritual keagamaan atau upacara adat, melainkan juga media hiburan, alat pengesahan budaya, sarana pendidikan moral, serta perekat solidaritas sosial.
Maka, alih-alih melihat ruwatan sebagai sesuatu yang irasional, lebih bijak jika kita memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Tradisi ini adalah cerminan bagaimana masyarakat lokal menjaga harmoni, membangun kebersamaan, dan mewariskan nilai-nilai luhur kepada generasi berikutnya.
Tinggalkan Balasan