Jalur trem kereta api di Jember bagian selatan, yang dibangun pada awal abad ke-20, merupakan infrastruktur transportasi penting dengan dampak luas, tidak hanya secara teknis, tetapi juga dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik. Meskipun kini hampir terlupakan sejak penutupannya pada tahun 1986, jalur ini sejatinya adalah cermin dinamika perubahan masyarakat dan perkembangan wilayah dari masa kolonial hingga pascakemerdekaan.
Pembangunan jalur ini diprakarsai oleh Staatsspoorwegen, perusahaan kereta api milik negara Hindia Belanda, melalui Staatsblad No. 456 pada 18 Juli 1911. Pembangunannya yang berlangsung pada 1912-1913 bertujuan menghubungkan wilayah selatan Jember dengan pusat kota. Rute awal mencakup Rambipuji-Balung-Ambulu dengan percabangan Balung-Kasian-Puger. Jalur ini kemudian diperluas untuk menjangkau Kencong dan Lumajang, memperluas jangkauan pengaruhnya.
Dampak Sosial, Ekonomi, dan Politik di Era Kolonial
Secara Ekonomi Kehadiran jalur trem menjadi pemicu utama perkembangan wilayah Jember bagian selatan. Daerah yang sebelumnya terisolasi kini memiliki akses transportasi yang lebih cepat dan mudah. Komoditas pertanian dan perkebunan, seperti kopi, tembakau, dan hasil kebun lainnya dapat didistribusikan dari pasar lokal ke pusat kota, bahkan hingga ke pelabuhan ekspor. Efisiensi transportasi ini mendorong peningkatan produksi karena adanya jaminan pasar yang lebih luas dan perputaran ekonomi yang lebih cepat.

Secara Sosial Mobilitas penduduk meningkat secara signifikan. Masyarakat dari desa-desa di selatan tidak lagi terkendala kondisi geografis yang sulit diakses. Mereka dapat bepergian dengan lebih mudah untuk bekerja, menempuh pendidikan, dan urusan sosial lainnya. Hal ini membuka ruang interaksi antarwilayah, memudahkan penyebaran ide, serta mendorong pergeseran pola pemukiman yang berorientasi pada hubungan kota-desa yang lebih dinamis.
Namun, dampak sosialnya bersifat ambivalen. Di satu sisi, trem memperkuat konektivitas. Di sisi lain, karena dikelola oleh pemerintah kolonial, fungsi utamanya adalah melayani kepentingan ekonomi penjajah dengan mengeruk sumber daya alam daerah. Hal ini menciptakan ketergantungan masyarakat pada sistem ekonomi kolonial yang tidak selalu menguntungkan dalam jangka panjang.
Secara Politik Pembangunan jalur trem mencerminkan strategi administratif dan ekonomi pemerintah kolonial. Infrastruktur ini bukan sekadar alat transportasi, melainkan juga instrumen kontrol sosial dan politik. Dengan mempermudah pergerakan personel militer, logistik, dan barang, pemerintah kolonial memperkuat pengawasan dan pengendalian atas wilayah jajahannya. Pembangunan ini juga menjadi bagian dari legitimasi kekuasaan, menandai intervensi negara dalam modernisasi wilayah sekaligus menegaskan dominasi politik dan ekonomi yang eksploitatif.
Penutupan dan Dampaknya
Setelah kemerdekaan Indonesia, jalur trem ini tetap beroperasi. Namun, tantangan baru muncul seiring berkembangnya moda transportasi lain. Pada tahun 1986, jalur ini resmi ditutup karena kalah bersaing dengan mobil pribadi dan angkutan umum yang menawarkan fleksibilitas lebih tinggi. Penutupan ini menandai pergeseran paradigma transportasi nasional dari rel ke jalan raya.

Penutupan rel trem pada 1986 memang tampak sebagai respons wajar terhadap kemajuan teknologi dan perubahan preferensi masyarakat. Namun, di baliknya terdapat dinamika yang lebih kompleks dengan konsekuensi yang tidak sepenuhnya positif.
Dampak Sosial Penutupan Akses transportasi menjadi semakin bergantung pada kepemilikan kendaraan pribadi atau layanan angkutan umum komersial. Akibatnya, daerah-daerah terpencil yang sebelumnya terlayani oleh trem menjadi semakin tertinggal. Hal ini berpotensi meningkatkan kesenjangan mobilitas antara kelompok masyarakat dan wilayah.
Dampak Ekonomi Penutupan Dari sisi ekonomi, penutupan ini mengurangi kapasitas angkutan barang massal yang efisien dan ramah lingkungan. Transportasi darat berbasis kendaraan bermotor memiliki biaya operasional lebih tinggi, dampak lingkungan lebih besar, dan berpotensi menimbulkan kemacetan. Bagi wilayah agraris seperti Jember selatan, hal ini dapat menyebabkan kenaikan biaya logistik dan menurunkan daya saing produk pertanian.
Secara keseluruhan, perjalanan jalur trem Jember selatan adalah refleksi dari perubahan zaman, dari simbol modernisasi dan eksploitasi kolonial, menjadi tulang punggung ekonomi lokal, hingga akhirnya menjadi peninggalan sejarah akibat perubahan kebijakan dan teknologi transportasi.
Tinggalkan Balasan