Faktanya, ajaran Asy‘ariyah sudah diajarkan di Madrasah Nizamiyyah sebelum al-Ghazali menjadi pengajarnya. Guru utama madrasah tersebut diketahui menganut Asy‘ariyah dan tidak menyukai ajaran Hanbali. Pada tahun 469 H, seorang tokoh bernama Abu Nasr al-Qushayri secara terbuka menyampaikan ajaran Asy‘ariyah di Madrasah Nizamiyyah. Hal ini menimbulkan kemarahan kelompok Hanbali hingga terjadi kerusuhan. Mereka menuduh tokoh utama madrasah, Abu Ishaq al-Shirazi, sedang berusaha menghapuskan mazhab Hanbali.
Perselisihan ini akhirnya diselesaikan oleh khalifah yang memanggil para tokoh dari kedua kubu ke istana. Menurut sejarawan Subki, kaum Hanbali kemudian menyebarkan isu bahwa Abu Ishaq telah keluar dari mazhab Asy‘ariyah. Hal ini membuat sang syekh sangat marah. Ia menulis surat kepada Nizam al-Mulk, bahkan bersiap untuk meninggalkan Baghdad. Namun, khalifah turun tangan langsung dan berhasil membujuknya untuk tetap tinggal.
BACA JUGA:
Lisanuddin Ibnu Al-Khatib: Penyair Romansa di Kota Grananda
Nizam al-Mulk membalas surat tersebut dengan penuh kebijakan. Ia mengatakan bahwa pemerintah tidak memihak pada satu mazhab saja, dan madrasah ini didirikan bukan untuk memecah belah, tetapi untuk menjaga dan melindungi para ulama serta demi kepentingan umum. Ia juga menegaskan bahwa ia tidak berniat mengubah mazhab para pengikut Ibn Hanbal yang tinggal di Baghdad. Menurut sejarawan Ibn al-Jawzi, jawaban ini membuat kelompok Hanbali merasa tenang.
Kejadian ini menunjukkan bahwa Madrasah Nizamiyyah adalah lembaga pendidikan umum yang terbuka bagi semua mazhab, bertujuan untuk mendukung pengembangan ilmu agama dan menyiapkan tenaga kerja untuk pemerintahan. Istilah siyasat al-sultan yang digunakan oleh Nizam menggambarkan bahwa tujuan pendirian madrasah ini bersifat inklusif dan demi kepentingan umat, bukan untuk kepentingan kelompok tertentu saja.
Bagaimana dengan Konteks Pendidikan Islam di Indonesia
Ini menjadi perhatian yang serius bagi umat Islam di Indonesia. Masih banyak PR pemerintah untuk memperbaiki pendidikan Islam di Indonesia, baik dari segi kurikulum, fasilitas, maupun kesejahteraan para gurunya. Karena sudah seharusnya pendidikan Islam di berbagai sekolah tidak ketinggalan zaman. Bahkan, lembaga seperti pesantren pun saat ini sudah memasuki tahapan modernisasi.
Tantangan teknologi bahkan telah terlihat di depan mata, seperti penggunaan AI yang sangat membantu. Seorang teman saya di Kaliopak menyebut bahwa diskusi tentang penggunaan AI sudah dilakukan demi kemaslahatan umat Islam dalam menjalankan roda pendidikan.
Mungkin pembahasan ini bisa lebih panjang, tapi penulis membatasinya sampai di sini karena melihat berbagai diskusi yang sudah dilakukan oleh teman-teman lainnya. Semoga pembenahan pendidikan Islam di Indonesia bisa merata di berbagai wilayah, pun juga instansi pendidikan Islam menyuguhkan pendidikan yang berkualitas bagi generasi yang akan datang.
Tinggalkan Balasan