Dari Kekunoan Hingga Kekinian

George Makdisi: “Nggak Selamanya Pendidikan Islam itu Harus Kembali ke Era Nabi”

Avatar Fachri Syauqii

Bagaimana jika kita mengesampingkan Qur’an dan Hadist, dengan melihat berbagai catatan sejarah atau, bila perlu, menelusuri bukti peninggalan berupa artefak. (Admin)

Pendidikan merupakan kata umum yang banyak ditempuh oleh setiap orang demi memperbaiki kualitas hidup. Tapi jika pendidikan ditambah dengan kata Islam, menjadi pendidikan Islam, apakah ada sesuatu yang berubah? Apakah ada perbedaan antara mereka yang mengenyam pendidikan saja dengan mereka yang mendapat pendidikan Islam? Lalu bagaimana sejatinya pendidikan Islam itu berjalan saat ini, terutama dalam konteks Indonesia?

Saya membahas pendidikan Islam melalui kacamata sejarah (historis), bukan dari segi keimanan yang nyatanya memang dibawa oleh Sang Nabi.

Menarik untuk melihat bagaimana sejarah pendidikan Islam dari masa awal kenabian. Kebanyakan berbagai tulisan mungkin akan memasukkan berbagai ayat Al-Qur’an dan hadis. Saya rasa itu merupakan suatu hal yang sudah tidak bisa diganggu gugat lagi, bahkan bisa mematikan diskusi. Alangkah baiknya kita mengesampingkannya dengan melihat berbagai catatan sejarah atau, bila perlu, menelusuri bukti peninggalan berupa artefak.

Beberapa sejarawan Muslim mencoba untuk menelusuri bagaimana akar dari pendidikan Islam, seperti Fazlur Rahman dan George Makdisi. Saya membahasnya dengan mengerucutkan pada berbagai karya Makdisi, karena ia merupakan seorang intelektual Amerika yang sangat detail membahas sejarah pendidikan Islam.

Bukannya tidak mau melihat karya tulis para sarjana Muslim Indonesia yang mencoba untuk menulis dengan tema yang cukup sulit. Namun, selain karena mereka selalu mengulang-ulang tanpa mencoba mencari tahu hal yang baru, tulisan mereka pun terkesan sangat kaku dan hanya berputar pada penjelasan bahwa pendidikan Nabi yang harus diambil hanya memanah, berkuda, dan berenang. Lalu bagaimana dengan konteks zaman sekarang, dengan berbagai perkembangan pendidikan yang semakin pesat?

Apalagi, sekolah-sekolah Islam di Indonesia saat ini hanya mengutamakan penghafalan Al-Qur’an saja. Bagaimana persaingannya dengan sekolah umum yang kualitasnya baik, atau sekolah swasta yang selalu berusaha menambah standar pendidikannya dengan memperbaiki kualitas kurikulumnya? Terakhir, kenapa pendidikan di Indonesia harus dibedakan, yang menunjukkan adanya perbedaan dalam kementerian, yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) dan sekolah agama yang berada dalam koridor Menteri Agama (Menag)?

Biografi George Makdisi dan Karyanya

George Makdisi lahir di Detroit, Michigan, pada tahun 1920 dan menempuh pendidikan di University of Michigan dan Georgetown University sebelum meraih gelar Ph.D.-nya di Universitas Paris di Sorbonne pada tahun 1964. Dari tahun 1959 hingga 1973, ia menjadi anggota fakultas di Harvard dalam Departemen Bahasa dan Sejarah Semitik, yang kemudian menjadi Departemen Bahasa dan Sastra Timur Dekat, pertama sebagai dosen dan akhirnya sebagai profesor penuh. Ia mengajar berbagai mata kuliah termasuk Puisi Arab, Tata Bahasa Arab dan Para Ahli Tata Bahasa, Historiografi Islam, dan Agama dan Hukum Islam.

Profesor Makdisi merupakan Arabis dan Islamolog terkemuka di Harvard setelah Profesor Gibb dan merupakan spesialis dalam sejarah Islam. Publikasinya meliputi The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (1981), The Rise of Humanism in Classical Islam and the Christian West (1990), dan Ibn ‘Aqil: Religion and Culture in Classical Islam (1997). Pada tahun 1973, ia meninggalkan Harvard dan bergabung dengan University of Pennsylvania sebagai Profesor Bahasa Arab hingga pensiun pada tahun 1990.

Selain itu, ia menyelidiki hubungan antara pendidikan Kristen Barat dan Islam Arab. Menurutnya, dalam sejarah perkembangan skolastisisme di dunia Barat, ada suatu mata rantai yang hilang. Ia meyakini bahwa pengaruh dunia Arab bisa menjelaskan kemunculan metode sic et non (ya dan tidak) yang tampak sangat tiba-tiba dalam tradisi akademik Barat. Namun, banyak ahli sejarah abad pertengahan mungkin menganggap pandangan ini terlalu berlebihan, dan merasa bahwa fenomena itu tidak perlu dijelaskan secara khusus.

Salah satu karyanya membahas bahwa baik Islam maupun Kristen memang menghadapi persoalan yang sama, yaitu bagaimana menyatukan pandangan otoritas-otoritas agama mereka yang saling bertentangan, serta bagaimana melindungi ajaran wahyu dari pengaruh filsafat Yunani. Dalam kedua tradisi ini, membandingkan pandangan yang berbeda dan mendiskusikannya dianggap sebagai langkah awal yang wajar sebelum mencapai kesimpulan.

Sang Sufi Syed Ali Imadeddin Nasimi Pendobrak Syair Sufistik

Namun, kemunculan metode-metode yang mirip tidak selalu berarti bahwa yang satu memengaruhi yang lain. Kadang-kadang, kemiripan tersebut hanyalah kebetulan. Misalnya, fakta bahwa Abū Ishāq ash-Shīrāzī (ulama Muslim) dan Abelard sama-sama dijuluki “ksatria debat” bisa saja hanyalah peristiwa kebetulan.

Memang, Makdisi merupakan seorang orientalis yang perhatiannya terhadap sejarah Islam sangat besar. Namun, bukan berarti kita memandangnya sebagai orang luar yang akan menyesatkan umat Islam, meski sebagian aliran radikal menganggapnya demikian. Jika pun tulisannya memiliki dasar bacaan yang jelas, bukan tidak mungkin kita bisa mengkritiknya. Namun, karyanya harus dibaca terlebih dahulu, bukan asal bicara. Sehingga kita sebagai seorang sarjana Muslim bisa menyanggah dengan tulisan yang kredibel dan berkualitas.

Bagaimana Akar Pendidikan Islam?

Kuttab (juga dikenal sebagai maktab, yang berarti “tempat menulis”) mulai muncul pada abad pertama Hijriah (yang bertepatan dengan abad ke-7 Masehi). Kuttab merupakan lembaga pendidikan dasar yang berdiri di lingkungan tertentu di luar masjid. Lokasinya bisa berdekatan dengan masjid, tetapi juga bisa berada di tempat terbuka, bahkan di dalam tenda. Biasanya, anak-anak yang bersekolah di kuttab berasal dari golongan yang mampu atau orang tuanya memiliki struktur sosial yang baik di masyarakat.

Materi pelajaran di kuttab berbeda-beda tergantung pada daerahnya, namun umumnya mencakup hafalan dan pembacaan Al-Qur’an, membaca, menulis, mengeja, pemberian harakat pada huruf, berhitung, serta ajaran dasar keagamaan seperti tata cara wudhu dan salat.

Laman: 1 2 3

Avatar Fachri Syauqii

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *




Subscribe to our newsletter