Gelar haji tidak hanya bermakna religius, tetapi juga menjadi simbol status sosial yang prestisius. Akhir-akhir ini, kita sering dihadapkan dengan fenomena orang berbondong-bondong pergi ke Tanah Suci. Belakangan ini, hal tersebut marak dibahas di media sosial seperti TikTok, Instagram, Facebook, X, dan lainnya.
Banyak unggahan yang memperlihatkan perjalanan haji dengan berbagai cara unik, seperti berjalan kaki ke Mekkah, bersepeda, bahkan menggunakan rakitan perahu dari galon bertuliskan “Banyuwangi to Mekkah.”
Fenomena ini memicu perdebatan di kalangan netizen, apakah perjalanan tersebut benar-benar murni sebagai ibadah atau sekadar mencari sensasi belaka.
Dalam banyak masyarakat, individu yang telah menunaikan ibadah haji sering kali mendapatkan penghormatan lebih, diakui sebagai pemimpin komunitas, dan bahkan memperoleh keuntungan sosial maupun politik.
Kedudukan yang tinggi ini menciptakan segmentasi elit baru, di mana individu yang menyandang gelar haji dianggap lebih berwibawa dibandingkan mereka yang belum berhaji.
Segmentasi elit sosial yang terbentuk dari gelar haji menjadi salah satu faktor utama yang mendorong munculnya perjalanan haji yang tidak resmi.
Ketika haji dianggap sebagai status sosial yang bernilai tinggi, maka muncul dorongan bagi individu untuk mendapatkannya dengan berbagai cara, termasuk melalui jalur tidak resmi atau bahkan berpura-pura berhaji.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat tertentu, aspek sosial dari ibadah bisa menjadi lebih dominan dibandingkan dengan aspek religiusnya.
Perjalanan haji yang membutuhkan biaya akomodasi yang besar menjadi tantangan bagi pemeluk Islam di Indonesia. Sebagai salah satu rukun Islam, ibadah haji hanya diwajibkan bagi mereka yang mampu secara finansial, jasmani, dan rohani.
Namun, dinamika ini sudah terjadi sejak masa kolonial Belanda. Pemberangkatan haji sudah terjadi sejak masa pemerintahan kolonial Belanda dengan menggunakan kapal uap.
Biaya yang tinggi dan kebijakan ketat dari pemerintah kolonial, seperti Resolusi Haji yang kemudian bertransformasi menjadi Ordonansi Haji, tidak menghalangi kaum muslim di Indonesia untuk berusaha menunaikan ibadah ini.
Gelar Prestisius bagi Masyarakat
Gelar haji dalam masyarakat Indonesia bukan sekadar tanda telah menunaikan ibadah, tetapi juga memiliki dimensi sosial dan politik yang kuat. Dien Madjid, Saleh Putuhena, dan Henri Chambert-Loir menyebutkan bahwa gelar haji pertama kali diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda kepada masyarakat muslim bumiputra yang telah menunaikan ibadah haji.
Karel Steenbrink menjelaskan bahwa umat Islam di Indonesia, terutama mereka yang telah berhaji, dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah kolonial. Mereka sulit dikendalikan dan kerap menjadi pemimpin gerakan sosial yang menentang penjajahan.
Terlebih lagi, banyak di antara mereka yang terpapar ideologi Pan-Islamisme, gerakan transnasional yang menolak kolonialisme dan menyerukan persatuan umat Islam. Akibatnya, pemerintah kolonial Belanda berupaya mengawasi dan mengontrol mereka melalui kebijakan tertentu.
Seiring waktu, gelar haji tidak hanya mencerminkan keberhasilan dalam menunaikan ibadah, tetapi juga membentuk segmen elit baru dalam masyarakat.
Seorang haji sering kali mendapatkan kedudukan dan kehormatan lebih tinggi dibandingkan mereka yang belum berhaji. Dalam banyak kasus, para haji menjadi pemimpin yang disegani, baik dalam bidang keagamaan maupun sosial.
Misalnya, dalam Pemberontakan Petani Banten 1888 yang dikaji oleh Prof. Sartono Kartodirjo, banyak tokoh perlawanan terhadap pemerintah kolonial adalah para haji. Hal ini mendorong pemerintah kolonial untuk menerapkan berbagai kebijakan guna meredam pengaruh mereka.
Tingginya status sosial yang ditawarkan oleh gelar haji membuat banyak orang tergoda untuk mendapatkannya dengan berbagai cara. Salah satu fenomena yang muncul pada masa kolonial adalah “Haji Singapura.” Istilah ini merujuk pada individu yang gagal mencapai Mekkah karena kehabisan uang, tetapi tetap mengaku sebagai haji saat kembali ke kampung halaman.
Mereka enggan pulang tanpa membawa gelar tersebut karena masyarakat sudah menganggap mereka sebagai calon haji. Menariknya, masyarakat tetap memperlakukan mereka dengan penghormatan yang sama seperti haji yang sah. Dengan demikian, mereka tetap bisa bertransformasi menjadi bagian dari elit sosial baru.
Sensasi Jemaah Haji Dalan
Pada awalnya, pemerintah kolonial memberikan gelar haji untuk menandai individu yang berpotensi terpengaruh gerakan anti-kolonial. Namun, hingga saat ini, realitasnya gelar haji masih memiliki nilai sosial yang tinggi.
Dalam berbagai acara masyarakat, para haji sering kali mendapatkan posisi terhormat, menempati barisan depan dalam majelis, diundang sebagai pembicara, dan bahkan mendapat perlakuan istimewa dalam kegiatan gotong royong.
Beberapa di antara mereka bahkan merasa gelar haji adalah bagian penting dari identitas mereka, sehingga jika seseorang tidak memanggil mereka dengan sebutan “Haji” di depan namanya, mereka akan merasa tersinggung.
Selain membuka akses ke birokrasi, seperti menjadi kepala desa atau pejabat lokal, gelar haji juga bisa menjadi jalan pintas untuk memperoleh status elit.
Namun, apakah fenomena “Haji Singapura” masih terjadi di era modern? Jawabannya adalah ya. Di Banyuwangi, misalnya, ditemukan kasus individu yang mengaku berhaji meskipun mereka tidak pernah sampai ke Tanah Suci.
Fenomena ini dikenal dengan istilah “Haji Dalan,” di mana seseorang hanya melakukan perjalanan hingga Surabaya, menetap di sana selama beberapa waktu, lalu kembali ke kampung halaman dengan mengklaim telah berhaji.
Pada akhirnya, niat untuk menunaikan ibadah haji hanyalah pencarian sensasi, padahal seharusnya didasarkan pada kesadaran religius.
Namun, kenyataannya, kehormatan dan kedudukan sosial yang ditawarkan oleh gelar ini juga menjadi faktor yang mendorong orang-orang untuk mendapatkannya, bahkan melalui cara yang tidak jujur. Hal ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat tertentu, dimensi sosial dari ibadah bisa menjadi lebih dominan dibandingkan dengan aspek spiritualnya.
Tinggalkan Balasan