Dari Kekunoan Hingga Kekinian

Candi Ngetos: Tinjauan Sejarah, Teknologi Bangunan, dan Tantangan Konservasi

Avatar Fatin Nur Wahidah Suminto

Keadaan Candi Ngetos Terkini (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Candi Ngetos merupakan salah satu peninggalan bersejarah dan budaya yang berharga di Kabupaten Nganjuk. Berdasarkan catatan arkeologis, candi ini diperkirakan dibangun pada abad ke-14 di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Fungsi utamanya adalah sebagai tempat pendharmaan atau pemujaan yang selaras dengan tradisi Hindu-Buddha pada masa itu.

Secara geografis, Candi Ngetos berdiri di lokasi strategis di dataran tinggi. Menurut analisis para ahli seperti Poesponegoro dan Notosusanto (1990), pemilihan lokasi ini tidak hanya bersifat spiritual tetapi juga praktis. Ketinggiannya berfungsi melindungi bangunan dari risiko banjir dan kelembapan berlebih. Posisi ini juga menjadikan candi sebagai sebuah landmark sekaligus pusat ritual yang mudah diakses oleh masyarakat dan pemuka agama di zamannya.

Struktur dan Material Asli: Kearifan Bata Merah

Berbeda dari candi-candi megah lainnya di Jawa yang umum menggunakan batu andesit, Candi Ngetos dibangun dengan bata merah sebagai bahan utamanya. Menurut penelitian arkeolog Soekmono (1973), pilihan ini didasari oleh melimpahnya ketersediaan bahan lokal dan kemudahan dalam proses pembuatannya. Karakteristik bata merah menawarkan keunggulan berupa fleksibilitas, yang memungkinkan para pembangunnya menciptakan detail ornamen khas Majapahit, serta kualitas termal yang baik sehingga struktur bangunan lebih stabil terhadap perubahan suhu di dataran tinggi.

BACA JUGA: Candi Lor, Titik Nol Sejarah Nganjuk yang Jarang Disadari

Dalam proses konstruksinya, metode perekatan menjadi aspek krusial. Para pembangun Candi Ngetos menggunakan mortar tradisional yang terbuat dari campuran tanah liat dan pasir. Perekat alami ini memiliki porositas yang serupa dengan bata, memungkinkan struktur untuk “bernapas”. Mekanisme ini sangat penting untuk menghindari terperangkapnya kelembapan yang dapat menyebabkan kerusakan struktural dari dalam. Meskipun demikian, penggunaan bata merah juga memiliki kelemahan signifikan, yakni lebih rentan terhadap erosi dan pelapukan biologis jika tidak dirawat secara intensif.

Perbandingan Teknologi: Bata Merah vs. Batu Andesit

Jika dibandingkan dengan candi berbahan batu andesit seperti Borobudur atau Prambanan, terdapat perbedaan mendasar dalam teknologi konstruksi. Konstruksi batu andesit umumnya menggunakan lempung atau mortar berbahan kapur alami yang jauh lebih keras. Seperti yang dikemukakan oleh Rahardjo (2015), keunggulan utamanya terletak pada ketahanan terhadap cuaca dan pelapukan kimiawi, serta kekuatan mekanisnya. Namun, sifatnya yang padat dan keras membuatnya kurang fleksibel, sehingga rentan mengalami retak atau pecah jika terjadi pergeseran struktur.

Di sisi lain, konstruksi berbahan bata merah seperti pada Candi Ngetos lebih elastis dan adaptif terhadap perubahan lingkungan. Akan tetapi, material ini lebih rentan terhadap serangan biologis dan pelapukan jika tidak mendapat perawatan yang intensif. Kedua metode tersebut menunjukkan kelebihan dan kekurangan yang harus menjadi pertimbangan penting dalam konteks pelestarian dan konservasi.

Pembugaran Masa Hindia-Belanda: Penggunaan Semen dan Dampaknya

Sejarah mencatat adanya upaya pembugaran Candi Ngetos pada masa Hindia-Belanda, tepatnya pada tahun 1921. Meskipun dokumentasi rinci mengenai bagian yang dipugar masih terbatas, bukti lapangan dan foto-foto lama menunjukkan adanya jejak penggunaan semen sebagai bahan perekat di salah satu sisi candi.

Candi Ngetos hasil dokumentasi pada masa Hindia-Belanda (Sumber: KITLV 166002)

Menurut Tjahjono (2003), penggunaan semen merupakan adaptasi teknologi modern yang pada masa kolonial dianggap praktis untuk memperkokoh struktur kuno yang rapuh. Namun, praktik ini dilakukan tanpa pemahaman mendalam mengenai karakteristik material purbakala. Studi konservasi modern oleh Ramelan dan Widayanti (2018) menyoroti dampak negatif dari intervensi ini. Sifat semen yang keras dan kurang permeabel (kedap air) justru merusak struktur asli candi dengan menghambat siklus penguapan air dari dalam bata merah. Hal ini menyebabkan kelembapan terperangkap yang memicu degradasi bahan. Lebih lanjut, reaksi kimia berbahaya seperti reaksi alkali-silika yang terjadi antara semen dan bata asli dapat menimbulkan retak serta mempercepat kehancuran struktur.

Pelajaran untuk Pelestarian Masa Depan

Candi Ngetos bukan sekadar peninggalan sejarah Majapahit, tetapi juga sebuah monumen yang merefleksikan teknologi konstruksi tradisional yang adaptif terhadap lingkungan lokalnya. Penggunaan semen dalam upaya pembugaran di masa lalu menjadi pelajaran penting bagi dunia konservasi.

Pelestarian warisan budaya seperti Candi Ngetos menuntut pendekatan yang menghargai keaslian bahan dan metode tradisional. Upaya konservasi di masa depan harus memprioritaskan metode yang berkelanjutan dan menghindari penggunaan bahan modern yang tidak kompatibel, demi menjaga mahakarya ini bagi generasi yang akan datang.

Avatar Fatin Nur Wahidah Suminto

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *





Subscribe to our newsletter