Tradisi Janรจngan menjadi identitas masyarakat Jawa di desa Kebumen melalui simbol-simbol budaya Jawa. Menjadi pujakesuma (putra jawa kelahiran sumatra) agaknya jadi persoalan yang problematik juga. Hal ini cukup mendasar, lantaran setiap berkenalan dengan orang baru di perantauan menyoal “asalnya dari mana?” membutuhkan jawaban yang panjang. Engga bisa lugas satset wasweswos.
Tapi dalam tulisan ini bukan untuk membahas persoalan problematiknya menjadi diaspora. Justru mau kasih info suku Jawa di Lampung masih suka mempertahankan tradisinya walaupun di tanah rantau. Selain ajang eksistensi, kegiatan tersebut dijadikan sebagai identitas etnis mereka.
Sebuah musik tradisional tidak jarang menjadi identitas bagi masyarakatnya karena musik tradisional memuat simbol-simbol budaya yang tentunya dapat menjadi pembeda dengan budaya lain layaknya sebuah identitas yang melekat.
Kesenian tradisional, bagi masyarakat pendatang dipandang sebagai salah satu media yang mampu melegitimasi keberadaan dan mempertahankan identitas mereka.
Sebagai contoh seperti yang sering terjadi pada kelompok masyarakat pendatang yang tinggal dalam ruang sosial-budaya yang baru.
Setelah mencoba beradaptasi dengan lingkungan baru mereka, tidak jarang mereka juga akan menghadirkan unsur-unsur kebudayaan dari daerah asalnya dalam rangka untuk membentuk identitas bagi kelompoknya. Seperti yang terjadi pada imigran dari Jawa yang datang ke Lampung sejak masa kolonial Belanda, tepatnya tahun 1905.
Pusaran Janengan di Desa Kebumen Tanggamus
Tradisi seni Janengan atau jamjaneng berasal dari Kebumen Jawa Tengah. Kesenian Janรจngan merupakan kesenian tradisional dengan genre shalawatan yang menggunakan bahasa Jawa, di dalamnya berisi ajaran agama dan nasihat hidup. Kesenian ini tumbuh subur di beberapa daerah Lampung, seperti di desa Kebumen-Tanggamus.
Ya, dari nama desa saja sudah menduplikat dari mpunya. Demikian dapat di mafhum, benar adanya kebanyakan mereka masyarakat desa Kebumen-Tanggamus dulunya merupakan transmigran dari daerah Kebumen Jawa Tengah dan sekitarnya.
Minimnya masyarakat etnis Lampung asli di desa tersebut mengakibatkan pengaruh budaya yang berupa bahasa, kesenian, adat istiadat tidak terlalu terlihat.
Dengan jumlah yang sangat sedikit, akan sulit bagi masyarakat etnis Lampung memberikan pengaruhnya dalam segi apapun, termasuk kesenian. Beberapa kesenian Jawa sampai saat ini masih dapat di lihat diantaranya adalah kesenian Janengan itu sendiri.
Seni tradisi Janengan biasanya dimainkan pada malam Jumat atau momen-momen tertentu hari besar Islam dan dimulai dari sehabis isya sampai tengah malam, bahkan sesekali ditanggap masyarakat sekitar dalam acara tertentu seperti khitanan atau pernikahan.
Kesenian ini menggunakan beberapa alat musik perkusi tradisional, seperti kendang, terbang, ketipung, dan kecrek sebagai instrumen musiknya. Kesenian Janรจngan biasanya dimainkan oleh sekitar 15-20 orang. Pemain biasanya berpakaian muslim yang sering disebut dengan baju koko atau gamis, lengkap dengan songkok atau kopiah sebagai penutup kepala.
BACA JUGA:
Semangat โDIYโ: Tren Skena Hingga Kepopuleran Musik Indie
Penyajian Janรจngan dilakukan dengan cara duduk bersila memainkan alat musik dan sebagian lagi bernyanyi. Lagu yang dilantunkan kebanyakan bernada tinggi, sehingga secara tidak langsung menuntut para pemain untuk membawakan lagu dengan suara keras agar dapat mencapai nada tinggi yang diinginkan.
Bahwa salah satu teknik menyanyikan lagu-lagu dalam Janengan adalah penyanyi melagukannya dengan suara melengking dan dengan nada yang sangat tinggi.
Berbicara isi lagu/syair yang dibawakan dalam Janengan merupakan bentuk integrasi nilai aqidah dan tasawuf. Sepenggal syair Janengan
Lailaha Illalllah
E Dzikrullah Allah Allah Dzikrullah
Lailaha Illalllah
Yen Dzikira Sira Maring Gusti Allah
Lailaha Illalllah
E Sirrullah Allah-Allah Isirullah
Muhammadur Rasulullah
E Yola Datullah, Allah Allah Allah Yola Datullah
Allah-Allah-Allah Allah Tuhan Allah
Janengan, antara eksistensi dan identitas
Identitas adalah murni produk dari konstruksi sosial. Identitas selayaknya tidak dipahami sebagai sesuatu yang bersifat tetap dan tidak berubah, namun sebagai “an emotionally charged description of ourselves”.
Hal itu disebabkan identitas bersifat emosional, tidak pernah tetap, dan relasional, yakni tergantung dengan siapa individu menjalin relasi pada konteks tertentu. Dengan demikian, identitas bersifat sementara karena identitas bisa berubah bergantung pada konteks di mana individu berada.
Dalam pembentukan identitas tersebut, Irwan Abdullah dalam bukunya yang berjudul “Konstruksi Dan Reproduksi Kebudayaan” mengatakan ada dua proses yang terjadi, yaitu penolakan (exclusion) dan penerimaan (inclusion) karena membentuk identitas berarti menolak hal-hal yang bertentangan dan merangkul hal-hal yang sesuai dengan identitas tersebut.
Pada tataran ini, ada dua proses yang terjadi, yaitu pertama, adaptasi budaya yang terjadi pada pendatang. Seorang yang datang di suatu tempat tertentu dan bermukim di situ, biasanya dia akan beradaptasi dengan tempat yang dia datangi. Adaptasi yang dia lakukan biasanya menyangkut adaptasi nilai dan praktik kehidupan secara umum.
Kedua, proses pembentukan identitas individual yang mengacu kepada nilai-nilai kebudayaan asalnya. Dalam konteks ini, seseorang akan berusaha untuk ikut memproduksi kebudayaan asalnya di tempat yang baru di mana dia tinggal pada saat ini.
Sejalan dengan itu, Gertz mengatakan bahwa kebudayaan sebagai pola makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol dan ditransmisikan secara historis.
Artinya, tradisi Janengan sebagai produk kebudayaan Jawa merupakan representasi dari sistem budaya yang berlaku pada masyarakatnya yang disimbolkan dalam bentuk kesenian yang diwariskan secara turun-temurun.
Tinggalkan Balasan