“hikmat dรผnyรข vรผ mรขfiha bilen arif degil
arif oldur bilmeye dรผnyรข vรผ mรขfiha nedir“
“Orang bijak sejati bukanlah mereka yang memahami dunia dan isinya,
Tetapi dia yang merasa diri tidak mengetahui akan dunia dan isinya“
Jika mendengar istilah sufi apa yang kira-kira yang terlintas dibenak kalian? Kali ini mari kita bahas sisi lain sufi.yang barangkali kalian belum tau. Setiap orang memiliki kisah cintanya. Jangan pernah membandingkan perjalanan hidup kita dengan orang lain yang memiliki jalan takdir yang berbeda. Apalagi kata โCintaโ bukan suatu yang mudah untuk dipahami dan dijalani. Setiap hal memiliki lika-liku, senang maupun susah. Kalau mau senangnya saja, ya sama Walid, dan kalau selalu susah menjalaninya itu juga dicoba saja dengan Walid. Asal jangan nikah batin sama Walid, bahaya.
Semua kearifan dengan kebijaksanaan tidak hanya datang dari orang yang lama hidup, tapi bagi mereka yang sadar akan makna hidup lalu merenungi setiap kejadiannya. Seperti itulah kira-kira sosok sufi satu ini yang bernama Muhammad Fuzuli. Ia termasuk salah satu yang mengidolakan karya-karyanya Nizami Ganjavi.
Ada cerita cinta paling populer sepanjang masa yang ditulis oleh Nizami Ganjavi, ya benar sekali, judulnya Layla dan Majnun. Semua pasti sudah tahu ceritanya, bagaimana perjuangan Majnun untuk mendapatkan cintanya Layla. Sampai ada alegori yang menggambarkan Majnun mengejar Layla hingga tidak melihat ada yang sholat di depannya, sementara orang tersebut memarahi Majnun dan menyalahinya. Lantas Majnun menyalahi orang tersebut karena dia tidak khusyuk dalam beribadah, sedangkan cintanya kepada Layla lebih khusyuk sampai tidak melihat ada orang yang sholat.
Dalam khazanah puisi Turki dan Persia, Fuzuli dikenal dengan gayanya yang reflektif dan penuh kepedihan. Namun di balik kesedihan itu, tersimpan optimisme spiritual: bahwa cinta, meski menyakitkan, adalah jalan yang menyelamatkan. Melalui karya puisinya seperti Layla dan Majnun, serta bait-bait gazal yang penuh isyarat mistis, Fuzuli menegaskan bahwa cinta sejati bukan sekadar penghayatan duniawi, melainkan pancaran cinta Ilahi yang melingkupi seluruh semesta.
Apakah cinta hanya sebatas pikiran yang masuk akal (logika) dan memberikan alasan rasional. Atau ada cinta yang terbebas dari segala yang rasional dan logika, tanpa melihat status maupun perjalanan yang irasional di dunia. Apakah mungkin? Karena sejatinya kita hidup di dunia yang realistis.
Biografi Fuzuli
Ada beberapa versi nama dari Fuzuli. Mengutip dari Britannica, nama lengkapnya adalah Mehmed bin Suleyman Fuzuli. Sementara mengutip dari basabasi.co, namanya adalah Hileli Mehmet Efendi Fuzuli. Lahir di Karbala, Irak, pada tahun 1495 M. Ia merupakan seorang sufi yang tulisannya memiliki gaya aliran sastra klasik Turki.
Ia tidak hanya menulis dalam bahasa Turki, melainkan juga dalam dialek Azeri dari Azerbaijan. Fuzuli dikenal luas berkat karya-karyanya yang menyentuh dan puitis, terutama dalam menggambarkan kisah cinta spiritual. Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah Leylรข ve Mecnun, sebuah kisah cinta alegoris yang menggambarkan kerinduan Majnun (yang melambangkan jiwa manusia) kepada Layla (simbol keindahan Ilahi). Dalam kisah ini, cinta bukan hanya urusan hati, tapi juga jalan menuju pemahaman spiritual yang lebih dalam.
Ia juga menulis dua kumpulan puisi atau divan, satu dalam bahasa Turki Azerbaijan dan satu lagi dalam bahasa Persia. Di dalam kedua divan tersebut, terdapat banyak puisi yang sangat lirisโsebagian besar membahas cinta yang bersifat mistis, sementara sebagian lainnya menggambarkan kesedihan dan kefanaan dunia ini.
Gaya puisi Fuzuli sangat khas yaitu penuh ketulusan, dibakar oleh semangat, dan dipenuhi nuansa melankolis yang mendalam. Ia mampu mengungkapkan perasaan yang kompleks dengan indah, bahkan melampaui batas-batas gaya sastra klasik Islam yang biasanya sangat terstruktur dan formal. Karena kekuatan ekspresinya itu, karya-karya Fuzuli memberi pengaruh besar pada banyak penyair setelahnya, bahkan hingga abad ke-19.
Sedikit Kecewa karena Ia Seorang Penjilat di Masa Islam Abad Pertengahan
Pada Abad pertengahan, kekuasaan Islam terbagi menjadi tiga kerajaan, yaitu Safawi, Mughal, dan Ottoman. Fuzuli diyakini berasal dari keluarga yang memiliki jabatan di bagian keagamaan. Oleh karena itu, ia memiliki pengetahuan yang luas tentang pemikiran dan kebudayaan pada zamannya. Namun, hanya sedikit informasi yang pasti mengenai kehidupan pribadinya. Di masa mudanya, ia mendapat perlindungan dari Shฤh Esmฤสฟฤซl I, pendiri Dinasti Safawiyah di Iran yang berhasil menaklukkan Baghdad pada tahun 1508.
Ketika Baghdad kemudian direbut oleh Sultan Ottoman, Sรผleyman I, dua puluh enam tahun kemudian, Fuzuli mencoba menyesuaikan diri dengan kekuasaan baru tersebut. Ia bahkan menulis puisi untuk menghormati sultan Ottoman, berharap mendapatkan tempat di lingkungan istana. Sayangnya, harapan itu tidak pernah terwujud. Ia tidak pernah berhasil pindah ke ibu kota Ottoman, yaitu Konstantinopel (sekarang Istanbul), dan tetap tinggal di wilayah Irak hampir sepanjang hidupnya.
Karena kekecewaannya tidak diangkat sebagai penyair istana, Fuzuli menulis sebuah karya terkenal berjudul ลikรขyetname (โSurat Keluhanโ), di mana ia menyindir keras birokrasi dan ketidakadilan yang ia rasakan. Keunggulan Fuzuli sebagai penyair terlihat dari kemampuannya menggubah puisi dengan indah dalam tiga bahasa: Turki, Persia, dan Arab. Walaupun ia menulis dalam dialek Turki Azeri (Azerbaijan), ia sangat menguasai tradisi sastra Turki Ottoman dan Chagatai, yang merupakan bahasa klasik Turkik di Asia Tengah.
BACA JUGA:
Georgeย Makdisi: โNggakย Selamanya Pendidikan Islam itu Harus Kembali ke Era Nabiโ
Tentunya jika seorang penyair mendapat tempat di hati pemerintah, namanya tak akan lekang oleh waktu. Namun, Fuzuli berupaya untuk tetap berkarya meskipun tidak dilirik oleh penguasa pada saat itu. Dalam segi sejarah Islam, apalagi tulisan sejarah Islam, tampaknya buku sejarah Islam masih banyak menceritakan kejayaan tiga kekuasaan tersebut tanpa melihat orang-orang yang terpinggirkan pada zamannya. Ya, kita tahu sendiri, sejarah ditulis oleh para pemenang.
Bagi Fuzuli, nilai seseorang tidak diukur dari garis keturunan atau status bangsawan. Yang benar-benar penting dalam diri seseorang adalah kejujuran, kedermawanan, ketulusan, dan semangat memberi. Ia juga menekankan pentingnya menjaga rahasia, bersikap toleran, dan tidak mudah menghakimi atau mencari-cari kesalahan orang lain. Dalam puisinya, Fuzuli mencela kemunafikan dan mengajarkan sikap rendah hati. Ia sendiri adalah teladan dari sifat-sifat mulia tersebut, dan hanya menunjukkan kebanggaan saat menghadapi mereka yang meremehkan seni atau orang-orang bodoh yang mengaku pandai.
Fuzuli sendiri tampaknya kadang tidak terlalu terganggu oleh kenyataan bahwa ia tidak begitu dihargai semasa hidupnya. Bahkan dunia ini akan tetap berjalan sebagaimana mestinya tanpa kehadiran dirinya. Hal ini, misalnya, tampak dalam bait puisinya berikut:
“Kebahagiaan di dunia ini tak akan pernah abadi;
Matahari pun tetap mulia, meskipun cahayanya jatuh ke tanah dan diinjak orang.”
Bait ini mencerminkan sikap batin Fuzuli yang menerima ketidakadilan hidup dengan ketenangan, sekaligus menunjukkan bahwa martabat sejati tidak ditentukan oleh pengakuan dunia, melainkan oleh nilai yang melekat pada diri seseorang. Nah, tentu jalan ninja Fuzuli mungkin hanya segelintir orang yang mengikuti atau tidak ada sama sekali.
Tinggalkan Balasan