Jika mendengar istilah Ramadhan, apa yang langsung terlintas di benak kalian? Ngabuburit, petasan, ronda sampai subuh, patrol, atau hal seru lainnya? Sekarang, Ramadhan sudah tiba dengan vibes yang berbeda pula!
Ramadhan Tahun ini jatuh pada 1 Maret 2025, setelah sidang isbat Kemenag RI di Jakarta Pusat pada Jumat sore, 28 Februari pukul 19.05 WIB. Saya sangat bersyukur masih diberi kesempatan menikmati bulan penuh berkah ini Tapi, jujur, bukan itu yang ingin saya bahas. Kalian sadar nggak, vibes Ramadhan makin tahun makin hambar? Kayak ada yang hilang, ya nggak?
Hal ini mungkin sangat relatable buat kalian yang mengalami situasi serupa dengan saya, hidup di desa yang dulu ramai dengan suara orang tarawih dan tadarus di serambi surau, jalanan penuh serpihan kertas petasan, serta semangat “Menghidupkan Masjid” yang bikin ibadah terasa lebih hidup.
Tapi sekarang vibesnya udah gak semeriah dulu. Semalam saya mencoba melakukan aktivitas yang biasa saya lakukan di bulan Ramadhan yaitu berdiam diri di surau. Selepas tadarus saya memilih untuk tetap berdiam diri di surau sekedar untuk mengobrol, dengan aneka gorengan dan secangkir kopi saya dan tiga orang Lainnya mengobrol di tengah kesunyian awal bulan Ramadhan sialnya teman saya tidak merasakan vibes yang sama.
Karena Vibes Saya Menulis Ini
Sekarang, orang-orang lebih suka interaksi virtual. Teknologi dan perubahan gaya hidup bikin kita jadi lebih individualis. Anak-anak yang dulu seru-seruan main petasan atau keliling kampung buat ronda sahur, sekarang lebih sibuk main HP.
Ramadhan yang dulu identik dengan kebersamaan buka puasa bareng keluarga, tarawih bershaf-shaf di masjid, suara petasan di sela-sela tadarus sekarang udah jarang nggak seramai dulu. Padahal, menurut saya, Ramadhan bukan sekadar soal menahan lapar dan dahaga, tapi juga soal bagaimana solidaritas terbentuk dan rasa kebersamaan makin kuat menyambut hari kemenangan.
Saya hanya bisa membayangkan Ramadhan itu terasa begitu spesial. Ada kebahagiaan yang kini terselip di batas harapan saya yang nggak bisa dijelaskan. Dari anak kecil sampai orang tua, semua sibuk dengan rutinitas khas Ramadhan.
Setelah buka puasa, rumah-rumah ramai dengan suara sendok dan gelas yang beradu, anak-anak berlarian ke masjid dengan sarung yang masih melambai-lambai, dan ibu-ibu sibuk menyiapkan hidangan sahur sejak malam, andai itu terulang lagi. Tapi sekarang? Banyak rumah yang tetap sunyi, masjid yang makin lengang, dan Suara sahur yang kian mengharukan karena telah digantikan notifikasi ponsel. Ini terlalu kronologis.
Bagian Nostalgia
Bukannya saya tidak bersyukur, tapi ada rasa kehilangan. Dulu, selepas tarawih, anak-anak duduk di serambi masjid, bercanda, bermain tebak-tebakan, atau sekadar berbagi cerita. Sekarang, orang lebih cepat pulang, tenggelam dalam layar gadget.
Tradisi ronda sahur yang dulu jadi ajang kebersamaan kini mulai memudar. Bahkan, tak jarang, kita harus memasang alarm sendiri karena tidak ada lagi yang membangunkan dengan kentongan dan nyanyian sahur keliling.
Buka puasa bersama yang dulu jadi agenda wajib teman-teman lama, sekarang seringkali batal karena kesibukan masing-masing. Kegiatan tadarus yang dulu menggema di setiap masjid, kini hanya beberapa suara yang tersisa. Semua berubah, dan mungkin kita tidak sadar bahwa kita sendiri yang membiarkannya berubah.
Jadi, apakah kita hanya akan terus meratapi Ramadhan yang semakin kehilangan semangatnya? Karena Ramadhan bagi saya bukan hanya tentang ibadah individu, tapi juga soal merajut kembali kebersamaan, kebahagiaan, dan kehangatan yang dulu “pernah” ada.
Mungkin, kita harus mulai lagi. Mengajak teman tarawih, membangunkan sahur dengan suara kehangatan, atau sekadar kembali meramaikan masjid. Karena tanpa itu semua, Ramadhan hanyalah ritual yang kehilangan jiwa.
Karena Ramadhan Tak Pernah Kehilangan Maknanya
Masjid-masjid yang tak seramai dulu, kebersamaan yang perlahan memudar, dan tradisi yang mulai ditinggalkan kini sudah banyak terjadi Tapi, kalau dipikir lagi, siapa yang sebenarnya menghilangkan semua itu? Apakah Ramadhan yang berubah, atau kita yang tanpa sadar membiarkannya kehilangan nyawanya?
Ramadhan itu saya ibaratkan sebagai api unggun. Dulu, kita ramai-ramai menjaga nyalanya, menambah kayu agar terus menyala, duduk menghangatkan diri di sekelilingnya. Tapi sekarang, satu per satu dari kita menjauh.
Ada yang terlalu sibuk, ada yang merasa tidak ada gunanya lagi, ada yang berdiam diri sambil berharap orang lain yang menyalakan kembali bara itu. Padahal, kalau semua hanya menunggu, kapan api itu akan menyala lagi? Sebuah ajakan dari saya hanya semata hanya ingin mengembalikan Ramadhan yang penuh makna itu
Jadi, daripada hanya meratapi Ramadhan yang kehilangan semangatnya, kenapa kita tidak memulai sesuatu? Mungkin kita bisa mulai dengan hal kecil mengajak teman ke masjid, membangunkan sahur dengan sedikit lebih semangat, atau sekadar menyapa tetangga dengan senyum yang lebih tulus. Mungkin terasa sederhana, tapi dari sanalah Ramadhan kembali hidup. Cobalah kembalikan lagi kebiasaan-kebiasaan kecil Ramadhan yang sempat tren itu.
Karena Ramadhan tidak akan pernah kehilangan maknanya. Justru, kita sendirilah yang perlu kembali belajar menemukannya dan mengembalikannya.
Tinggalkan Balasan