Dari Kekunoan Hingga Kekinian

Sejarah Berdirinya Museum Sonobudoyo Yogyakarta

Avatar Fachri Syauqii

Terdapat dua patung penjaga menuju pintu masuk gerbang Museum Sonobudoyo tahun 1935 (KITLV)

Sebagian orang mungkin kala berkunjung ke kota lain pasti mencariย landmarkย atau ikon yang menjadi ciri khas bagi kota tersebut. Saya dengan beberapa teman dari Medan memiliki kebiasaan yang berbeda. Entah mengapa kami pergi ke salah satu museum terbaik yang ada di Jogja bernama, Museum Sonobudoyo.ย 

Hujan deras tidak menyurutkan niat untuk mengetahui sekaligus penasaran dengan koleksi yang berada di Museum Sonobudyo. Saya pribadi juga baru pertama mengunjungi museum tersebut setelah menetap di kota pelajar selama kurang lebih 2 tahun.

Letak museum tersebut berada melewati Jalan Malioboro. Setelah melewati perempatan lampu merah, bagian barat juga ada sebuah museum bernama, Benteng Vredeburg. Kita harus lurus lagi hingga memasuki daerah alun-alun.

Kala memasuki museum tersebut, suasananya sangat mendukung untuk menikmati berbagai koleksinya, seperti koleksi kebudayaan Jawa masa pra-aksara, kebudayaan Jawa masa Hindu dan Buddha, kebudayaan Jawa Masa Islam yang menempatkan beberapa naskah yang masih belum diteliti substansinya, hingga koleksi barang-barang Sultan masa kolonial hingga masa kemerdekaan. Selain itu, Museum Sonobudoyo memiliki sejarahnya tersendiri yang menarik untuk ditelusuri.

Terbentuknya Java Institute

Sebelum terbentuknya Sana Budoyo, ada sebuah lembaga yang didirikan oleh beberapa kelompok akademisi dan peneliti yang berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda. Mereka mencoba untuk mengumpulkan berbagai naskah kuno yang tercecer untuk dikumpulkan.

Menurut Purnawan Basundoro, Samuel Koperberg adalah salah seorang Belanda yang menginisiasi pendirianย Java Institute. Pengurus dari lembaga ini berisi orang Indonesia maupun orang Belanda. Ketuanya adalah Dr. R. Hoesein Djajadiningrat dan sekretaris yang juga merangkap sebagai bendahara, tentu saja Samuel Koperberg.

Beberapa pengurus lain yang diketahui adalah Dr. E.D.K. Bosch, R. Ng. Poerbatjaraka, Ir. Th. Karsten dan beberapa anggota yang diambil dari organisasi Boedi Oetomo dan CSI (Centraal Sarekat Islam).

Jawa Instituut akhirnya resmi berdiri pada tahun 1919 di Surakarta dengan AD/ART yang telah disahkan serta struktur kepengurusan yang telah dibentuk oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Sejak didirikan hingga tahun 1942, Java Instituut telah mengadakan lima kali kongres kebudayaan dan tiga kali kongres bahasa. Kongres kebudayaan diselenggarakan pada tahun 1921, 1924, 1926, 1929, dan 1937. Sementara itu, kongres bahasa yang berfokus pada bahasa Jawa dan Sunda berlangsung pada tahun 1924, 1927, dan 1936.ย 

Salah satu kongres kebudayaan yang memiliki keterkaitan erat dengan budaya Sunda adalah kongres tahun 1921. Selain karena berlangsung di Bandung, kongres tersebut juga menampilkan berbagai kesenian khas Sunda.

Hal serupa juga dapat ditemukan dalam setiap kongres bahasa Sunda, di mana pengurusย Java Instituutย selalu menyisipkan pertunjukan dari para seniman Sunda. Selain berfungsi sebagai hiburan, kegiatan ini juga bertujuan untuk mempromosikan kesenian Sunda. Setiap penyelenggaraan kongres selalu mendapat sambutan antusias dari berbagai lapisan masyarakat.

Sejarah Museum Sonobudoyo

Keputusan Kongres tahun 1924 menetapkan bahwa Java Instituut akan membangun sebuah museum di Yogyakarta. Pengumpulan data kebudayaan dari wilayah Jawa, Madura, Bali, dan Lombok pada tahun 1929. Ir.Th. Karsten P.H.W. Sitsen, Koeperberg, dan lainnya adalah anggota Komite Perencana Pendirian Museum yang dibentuk pada tahun 1931.

Untuk bangunan museum, ada tanah khusus yang diberikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VIII, yang disebut “Shouten”. Tanah ini ditandai dengan candrasengkala “Buta ngrasa estining lata“, yang berarti tahun 1865 Jawa atau 1934 Masehi.

Peresmian dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VIII pada hari Rabu wage pada tanggal 9 Ruwah 1866 Jawa dengan candrasengkala “Kayu Winayang Ing Brahmana Budha”, yang pada masa pendudukan Jepang, Museum Sonobudoyo dikelola oleh Bupati Paniradyapati Wiyata Praja, yang merupakan bagian dari Kantor Sosial untuk pendidikan.

Pada masa Kemerdekaan, itu dipimpin oleh Bupati Utorodyopati Budaya Prawito, yang merupakan bagian dari pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Selama menyusuri lorong-lorong yang ada di Museum Sonobudoyo diiringi dengan pemandunya, kami jadi memahami bagaimana benda-benda dan naskah-naskah yang dipamerkan. Bahkan mas pemandu Museum Sonobudoyo menjelaskan ada salah satu koleksi yang hilang, yaitu topeng yang terbuat dari emas bernama Topeng Nayan. Koleksi tersebut tetap ditampilkan tapi hanya sebatas replika.

Masih Maraknya Perilaku Vandalisme di Museum

Museum Sonobudoyo memiliki cukup banyak pengamanan untuk menjaga koleksi bersejarah yang sangat berharga. Menurut saya, ini dirasa perlu karena selain untuk mengedukasi para pengunjung juga mendukung kelestarian memori jati diri bangsa.

Sudah beruntung negeri ini memiliki banyak sekali peninggalan yang sangat bersejarah, tinggal menjaga, merawat, maupun melestarikan itu pun tidak bisa.

Perancangan penjagaan koleksi di Museum Sonobudoyo sangat ketat dengan memberikan tanda pembatas agar para pengunjung tidak menyentuhnya. Kemudian, jika masih ada yang ngeyel akan ada alarm peringatan dan pengunjung tersebut akan dikenakan sanksi.

Ini menunjukkan kesadaran para pengurus museum dalam menjaga dan merawat barang bersejarah. Bukan soal barang bersejarah tersebut bisa di replika atau tidak, masalahnya adalah bagaimana koleksi benda di museum tersebut itu terhindar dari tangan-tangan jahil agar keaslian (otentik) tetap terjaga nilai sejarahnya.

Avatar Fachri Syauqii

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *




Subscribe to our newsletter