Dari Kekunoan Hingga Kekinian

Yang Katanya “Zamrud Khatulistiwa”, Ternyata “Semrawut Negara Konoha”

Avatar Bagus Ilham

Eksploitasi sumber daya hayati dan kawasan lingkungan hidup merupakan sumber yang menguntungkan bagi pihak-pihak yang bermata hijau tanpa melihat dampaknya di kemudian hari.

Save Raja Ampat! Platform media massa akhir-akhir ini ramai dengan cuitan #SAVERAJAAMPAT baik di Facebook, X (Twitter), Instagram, juga media elektronik lainnya. Lagi dan lagi, isu mengenai tambang menjadi sorotan. Eksploitasi sumber daya hayati dan kawasan lingkungan hidup merupakan sumber yang menguntungkan bagi pihak-pihak yang bermata hijau tanpa melihat dampaknya di kemudian hari.

Negara Konoha dengan multikulturalnya berkeyakinan betapa pentingnya menjaga keseimbangan alam semesta dan menghormati alam, termasuk sumber daya alam dan lingkungan. Dari ajaran budi leluhur itu, terciptalah Tri Hita Karana, sebuah konsep ajaran Dharma dalam Agama Hindu, yakni: Parahyangan (Keseimbangan antara manusia dengan Tuhan), Pawongan (Keseimbangan antara manusia dengan manusia), dan Palemahan (Keseimbangan antara manusia dengan alam). Selaras dengan ajaran Hindu, Islam pun juga menerapkan tiga keseimbangan untuk menciptakan keadaan yang harmonis, yakni: Hablumminallah (Hubungan antara manusia dengan Allah SWT), Hablumminannas (Hubungan antara manusia dengan manusia), dan Hablumminal ‘alam (Hubungan antara manusia dengan alam). Dari kedua ajaran tersebut dapat digarisbawahi bahwa ada kesamaan penekanan pada pentingnya sebuah keseimbangan atau hubungan kita manusia dengan ekosistem alam, agar tercipta sebuah kehidupan yang saling harmonis. Jangan salahkan jika alam sudah berbicara melalui bencana banjir rob, erosi dan abrasi pantai, kerusakan habitat laut, hingga tenggelamnya pulau-pulau kecil. Itu terjadi akibat kita manusia tidak menjaga keseimbangan hubungan dengan ekosistem alam.

Deretan Konflik Tambang di Pesisir Konoha

“Negara Konoha” adalah sebuah negara yang kaya akan hasil alamnya, baik flora, fauna, maupun mineralnya. Keanekaragaman hayati dan mineral ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan domestik maupun mancanegara, serta menjadi ladang investor asing dalam investasi bagi perekonomian di Negara Konoha sendiri.

Daftar deretan konflik sosial dan kerusakan lingkungan di lingkar pertambangan beberapa tahun terakhir dari Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga Papua terekam jelas jejaknya, di antaranya:

  • Tahun 2021: konflik Warga Sangihe dengan PT. Tambang Mas Sangihe di Sulawesi.
  • Tahun 2022: konflik Warga Pesisir Desa Pasar Seluma dan Walhi dengan PT. Faminglevto Bakti Abadi di Sumatra.
  • Tahun 2022: konflik Warga Sebatik dengan penambang pasir di Kalimantan.
  • Tahun 2023: konflik Warga di sekitar Tumpang Pitu dengan PT. Bumi Suksesindo di Jawa.
  • Tahun 2024: konflik Warga pesisir Halmahera dengan CV. Dragon Palace.
  • Tahun 2025: konflik Warga Raja Ampat dengan PT. Gag Nikel.

Dalam sebuah survei yang dirilis oleh CN Traveler, menunjukkan bahwa Negara Konoha menempati posisi ke-8 sebagai Negara Paling Indah di Dunia 2025 dengan keindahan alam luar biasa, termasuk keindahan lautnya. Namun, adanya konflik sosial dan kerusakan lingkungan tersebut terbilang berbanding terbalik dengan nominasi yang didapat jika melihat aktivitas penambangan yang merusak kawasan konservasi biota laut atau hutan lindung. Hal ini berdampak bagi aktivitas dan kawasan hijau yang menjadi rumah biota darat dan biota laut itu sendiri, belum lagi dampak ekonomis bagi masyarakat sekitar tambang di pesisir yang ruang geraknya terbatas akibat dari aktivitas tambang tersebut.

The Last Paradise on Earth: “Negara Konoha” Aktif Menyerukan Gerakan Global Go Green, Namun Terkesan Lamban dalam Penanganan di Negeri Sendiri

Akhir-akhir ini, “Negara Konoha” kembali lagi mendapat sorotan media internasional terkait aktivitas proyek hilirisasi pertambangan nikel yang dilakukan di salah satu wilayah yang terkenal akan keindahan alamnya. Atas santernya pemberitaan tersebut, media asing sekelas DW (Deutsche Welle) yang merupakan lembaga penyiaran internasional dari Jerman dan BBC (British Broadcasting Corporation) yang juga merupakan lembaga penyiaran internasional dari Inggris, menyoroti isu yang sedang ramai tersebut.

Dalam pemberitaannya, DW menyebutkan bahwa Greenpeace, sebuah organisasi lingkungan global independen, turut menyoroti kerusakan yang terjadi di Kepulauan Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya, tepatnya di Pulau Gag, yang ditimbulkan oleh industri nikel, termasuk deforestasi, pencemaran, dan krisis iklim akibat penggunaan PLTU. Begitu juga BBC dalam pemberitaannya menyebutkan bahwa Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, juga menjelaskan penerbitan izin lima perusahaan tambang (PT. Kawai Sejahtera Mining, PT. Anugrah Surya Pertama, PT. Mulia Raymond Perkasa, PT. Nurham dan PT. Gag Nikel yang merupakan anak perusahaan PT. Antam Tbk.) di sana telah melanggar UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Sebagaimana bunyi Pasal 35 (k) UU itu melarang penambangan mineral pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara langsung dan tidak langsung apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat.

Menanggapi hal itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, sudah memberi instruksi menyetop operasi ekstraksi di kawasan Pulau Gag, Kepulauan Raja Ampat, di mana pihaknya juga akan meninjau kembali izin yang diberikan pemerintah pusat ke perusahaan pengelola.

“Maka kami sudah memutuskan lewat Dirjen Minerba untuk status daripada IUP (Izin Usaha Pertambangan) PT. Gag Nikel yang sekarang mengelola itu kan cuma satu ya, untuk sementara kita hentikan operasinya sampai dengan verifikasi lapangan,” ujar Bahlil Lahadalia.

Begitupun dalam Pasal 17 ayat 2 berbunyi: “Pemberian Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mempertimbangkan kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan nasional, dan hak lintas damai bagi kapal asing.” Dari ayat tersebut dipertegas kembali pada ayat 4 yang berbunyi bahwa Izin Lokasi tidak dapat diberikan pada zona inti di kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai umum. Mengingat di kawasan Pulau Gag sendiri terdapat area konservasi penyu dan terumbu karang.

“Pulau kecil saja dikeruk sampai puluhan ekskavator saya lihat di situ, ini gimana nih Raja Ampat nih. Ini bakal habis semua tuh karang-karang yang bagus di sini nih. Terus pulau ini bakal lenyap nih, kita akan kehilangan pulau lagi kalau dikeruk terus untuk industri mobil,” cemas Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace yang trenyuh melihat kondisi Raja Ampat saat ini.

Avatar Bagus Ilham

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *




Subscribe to our newsletter