Khittah Nahdlatul Ulama (NU) sendiri merupakan landasan berpikir, bersikap, dan bertindak warga NU yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan maupun organisasi dalam setiap pengambilan keputusan.
Salah satu poin penting diserukannya Khittah 1926 adalah adanya kritik terhadap NU, di mana jika mengacu pada Khittah 1926, orientasi NU adalah membina umat, bukan merebut kekuasaan. NU harus tetap berada pada jalan pengabdian kepada umat, bukan penguasaan atas umat.
Sebagaimana tulisan KH. Yahya Cholil Staquf dalam bukunya yang berjudul PBNU: Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama, bahwa kita perlu mengenali jati diri dan kehendak organisasi.
โSebuah organisasi bisa terjebak dalam kejumudan, menjadi tumpul dan tidak terarah, serta para pengurusnya tidak melakukan apa-apa selain menimang dan mengelus-elus SK kepengurusan. Orang ingin menjadi pengurus dan mereka dengan cepat melupakan apa yang harus dilakukan begitu mereka dipercaya menjadi pengurus. Ini masalah serius, tidak hanya bagi organisasi, tetapi juga masyarakat luas yang menaruh kepercayaan dan menyandarkan sebagian aspirasi mereka kepada organisasi itu.โ
Hal ini selaras dengan Khittah NU dalam keputusan Muktamar NU ke-27 tahun 1984 di Situbondo yang menegaskan kembalinya jati diri NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang berlandaskan pada faham Ahlussunnah Waljamaโah, serta menegaskan komitmen NU terhadap bangsa dan negara Indonesia. Dalam poin ke-7 perihal Fungsi Organisasi dan Kepemimpinan Ulama juga dijelaskan, sebab pada dasarnya NU merupakan Jamโiyyah Diniyah yang membawa faham keagamaan, maka ulama sebagai mata rantai pembawa faham Islam Ahlussunnah Waljamaโah, selalu ditempatkan sebagai pengelola, pengendali, pengawas, dan pembimbing utama jalannya organisasi. Sedangkan untuk melaksanakan kegiatannya, NU menempatkan tenaga-tenaga yang sesuai dengan bidangnya.
Ada Apa Dengan PBNU-ku?
Golongan Karya: Ongko Loro
Akhir-akhir ini Shi-Po sedang sakit
Penyakit-penyakit mulai datang melilit
Bermula dari golongan
Pada akhirnya semua terkorbankan
Validasi semua kalangan sedang dicari
Potret ahli linguistik sedang menjadi trendi
Klaim ini itu hingga silsilah ahlul โilmi
Namun anehnya tidak ada yang mengakhiri
Kunjungan berakahir duka
Nama sesepuh dibawa-bawa
Padahal maksud tujuannya entah apa
Semua sakit, namun bagaimana
Itu faktanya
Dia berbuat
Semua elit yang menerima sambat
Dia yang bersuara
Semuanya dicap mendua
(2024)
Puisi di atas merupakan sebuah sindiran terhadap NU yang terhitung masif dan besar pengikutnya. Puisi yang berjudul “Golongan” ini tertera dalam buku berjudul Indische Inlander (Berbeda Bukan Berarti Tak Sama) karya Ongko Loro, yang mengisahkan mengenai trust issues masyarakat terhadap NU beberapa tahun belakangan.
Nahdlatul Ulama, ya, sebuah organisasi besar yang masif dalam kegiatan-kegiatan keagamaan, kebangsaan, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Namun, di dua tahun terakhir ini, NU diterpa beberapa โbadaiโ yang cukup mencolok. NU seakan-akan diam dan enggan berkomentar atas apa yang terjadi. Diamnya para elit Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) membuat kalangan awam multitafsir atas sikapnya.
Tercatat pada pertengahan hingga akhir tahun 2024 saja, PBNU harus menghadapi beberapa terpaan isu tidak sedap atas ulah oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Isu-isu tersebut antara lain:
- Munculnya fenomena Mama Ghufron sang penemu huruf Suryani dan ahli linguistik.
- Polemik nasab Baโalawi.
- Lima pemuda yang bertemu Presiden Israel.
- Salah satu elit PBNU yang tersandung kasus korupsi dana haji.
Atas masalah-masalah yang mencatut nama NU tersebut, timbul kontroversi dan kecaman dari masyarakat yang sebagian besar merupakan pengikutnya. Banyak yang menyayangkan atas apa yang terjadi di internal PBNU.
Tidak hanya itu, bagi sebagian masyarakat, sikap PBNU terkadang dirasa tidak adil dalam menindak atau menanggapi persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sering kali terjadi pembubaran pengajian oleh salah satu badan otonom (banom) NU, yang mana pengajian itu dianggap menyebarkan ajaran radikal dan provokatif. Namun, hal ini berbanding terbalik ketika tidak ada tindakan dari banom NU yang sama saat melihat majelis Sholawat dan Ratib yang seharusnya menjadi garda terdepan NU sebagai penguat amaliahnya justru dihadapkan pada fakta yang memicu banyak reaksi di kalangan Nahdliyyin sendiri.
Beberapa majelis Sholawat dan Ratib yang seharusnya memberikan dampak positif malah dijadikan ajang mengekspresikan kecintaan terhadap Nabi Muhammad SAW secara berlebihan. Ditambah dengan masifnya teknologi, terjadi pergeseran fungsi majelis yang tadinya sebatas ibadah, kini menjadi bagian dari gaya hidup, di mana kaum hawa lebih menjadi sorotan akibat adanya tren-tren yang menampilkan gerakan-gerakan yang tidak sepatutnya dilakukan.
BACA JUGA: PBNU: Pertaruhan Marwah di Tengah Pelukan Kekuasaan
“Semakin tinggi pohon, semakin kencang pula angin yang menerpanya.” Mungkin itu peribahasa yang pas bagi NU saat ini. Seakan tidak ada habis-habisnya, PBNU beberapa pekan ini kembali mendapat sorotan miring. Pengulangan sejarah itu ada dan tidak selalu berjalan mulus. Lagi, lagi, dan lagi, trust issues itu muncul.
Kali ini, di pertengahan tahun 2025, PBNU dihadapkan dengan pernyataan dan keterlibatan beberapa elitnya di dalam pemerintahan. Isu-isu tersebut meliputi:
- Tercatatnya nama Gus Ahmad Fahrur Rozi, salah satu pengurus PBNU, di Perseroan Terbatas (PT) yang menangani pertambangan di Raja Ampat.
- Statement kontroversial dari Gus Ulil Abshar Abdalla, salah satu pengurus PBNU, yang menanggapi persepsi masyarakat buntut dari konsesi tambang yang dinilai merusak lingkungan.
- Klarifikasi dari elit PBNU yang juga seorang menteri, KH. Nasaruddin Umar, akibat polemik Haji 2025. Polemik ini kembali menjadi sorotan setelah Kerajaan Arab Saudi mengirimkan catatan diplomatik terkait penyelenggaraan haji yang berisi saran perbaikan, terutama terkait data jemaah, kesehatan, dan kualitas data. Tidak hanya itu, muncul pula problem transportasi dan akomodasi, seperti keluhan keterlambatan bus penjemput jemaah dari Muzdalifah ke Mina.
Bagi sebagian masyarakat di akar rumput, sikap tenang dan diamnya para elit PBNU memicu reaksi dari berbagai kalangan. Hal ini dikhawatirkan dapat mengganggu kestabilan internal PBNU dan memicu timbulnya rasa tidak percaya terhadap PBNU itu sendiri.
Lantas, ada apa dengan PBNU sekarang ini? Apakah PBNU tidak lagi menjalankan perjuangan NU kembali dalam Khittah 1926 hasil Muktamar XXVII tahun 1984 di Situbondo? Atau, apakah PBNU perlahan terlena dalam lingkar permainan kekuasaan elit negeri ini?
Tinggalkan Balasan