Akhir-akhir ini, dunia diguncangkan oleh pergolakan hebat antara dua pusat peradaban kuno, Imperium Persia dan Imperium Babilonia. Hubungan kedua imperium ini sejatinya pernah terjalin dengan baik, dimulai sejak Raja Persia, Cyrus Agung, mengalahkan Babel pada tahun 539 SM. Cyrus bahkan mengizinkan orang-orang Yahudi untuk kembali ke Tanah Perjanjian dan membangun kembali Bait Suci mereka.
Harmoni ini berlanjut ke era modern. Pada dekade 1950-an hingga 1970-an, di bawah Dinasti Pahlavi, Persia yang kini dikenal sebagai Iran, menjalin hubungan erat dengan Israel. Keduanya disatukan oleh misi yang sama: menghadapi tekanan dari negara-negara Arab, mencegah pengaruh Uni Soviet, dan bersekutu dengan Amerika Serikat.
Pada tahun 1950, Iran menjadi salah satu negara Muslim pertama yang mengakui kedaulatan Israel. Pemerintahan pertama Israel di bawah pimpinan David Ben-Gurion secara aktif berusaha menjalin persahabatan dengan Iran untuk melawan penolakan dari negara-negara tetangganya.
Selama era Dinasti Shah Pahlavi, Iran membangun kerja sama diplomatik, ekonomi, dan militer dengan Israel. Ini merupakan bagian dari strategi untuk menghadapi Uni Soviet sekaligus memperkuat posisi geopolitik Iran di Timur Tengah. Seperti yang dijelaskan Lukman Santoso Az. dalam bukunya, Para Martir Revolusi Dunia, Iran di bawah kepemimpinan Mohammad Reza Shah Pahlavi membentuk pemerintahan monarki absolut. Iran berubah menjadi negara yang berideologi sekularisme, modernisasi, dan nasionalisme. Program modernisasi digalakkan, seperti memperbanyak kader intelektual, pegawai, militer, manajer perusahaan, dan tenaga kerja ahli didikan Barat.
Namun, kebijakan modernisasi ini justru menumbuhkan benih-benih pergolakan di kalangan masyarakat. Hal tersebut memicu kecemasan para ulama, yang akhirnya menyulut perlawanan dari kalangan ulama, pedagang, artisan, hingga intelektual berhaluan kiri.
Titik Balik: Revolusi Islam 1979
Ketika Revolusi Islam pecah pada tahun 1978-1979 dan berhasil menggulingkan Dinasti Shah Pahlavi, Iran menjadi contoh negara paling spektakuler di dunia Islam dengan gerakan revolusionernya. Agama mampu menyatu dan memberikan kekuatan bagi gerakan revolusioner untuk menumbangkan kekuasaan yang tiranik dan despotik.
Revolusi ini membentuk wajah baru Iran, mengganti sistem politik monarki dengan sistem Wilayat al-Faqih (Perwalian Ahli Hukum). Sistem ini menempatkan seorang ulama tinggi (Faqih) sebagai pemimpin tertinggi negara dengan wewenang mengawasi dan mengarahkan jalannya pemerintahan. L. Carl Brown dalam bukunya, Religion and State: The Muslim Approach to Politics, menyebut revolusi ini sebagai salah satu pemberontakan rakyat terbesar dalam sejarah umat Islam.
Revolusi ini juga mengubah total arah hubungan internasional Iran. Dari yang semula Pro-Barat (Amerika Serikat dan Eropa) dan bekerja sama dengan Israel, berubah drastis menjadi negara yang anti-Barat, pro-kemandirian regional, dan mendukung negara-negara Islam. Semua berada di bawah kepemimpinan Pemimpin Tertinggi (Rahbar), sebuah posisi yang didirikan oleh Ayatollah Ruhullah al-Musawi al-Khomeini dan saat ini dijabat oleh Ayatollah Ali Khamenei.
Dari Kawan Menjadi Lawan
Konflik Iran-Israel kembali memanas. Eskalasi ini, menurut narasi yang disajikan, berawal pada 13 Juni 2025, setelah serangan Israel terhadap fasilitas nuklir di Teheran yang merenggut nyawa para petinggi militer Iran. Iran kemudian membalas dengan meluncurkan lebih dari 400 rudal ke wilayah Israel, termasuk rentetan serangan yang melibatkan sekitar 200 rudal sekaligus.
Berikut adalah catatan serangan dari kedua negara dalam beberapa pekan terakhir:
- 12-13 Juni 2025: Pada pukul 20.00 waktu setempat, Israel melancarkan serangan udara pertamanya yang menargetkan program nuklir Iran.
- 14 Juni 2025: Israel kembali menyerang, kali ini menargetkan fasilitas senjata bawah tanah di wilayah Iran bagian barat.
- 15 Juni 2025: Iran mengirimkan serangan balasan melalui udara dengan menggunakan ratusan pesawat nirawak dan rudal ke Israel.
- 16 Juni 2025: Israel melakukan pengeboman di Pusat Komando Unit Militer Elit Iran.
- 17 Juni 2025: Iran dan Israel saling jual beli serangan.
- 18 Juni 2025 โ sekarang: Konflik terus berlanjut, tidak hanya meluluhlantakkan fasilitas publik dan infrastruktur, tetapi juga telah merenggut banyak korban jiwa dan luka-luka.
Menurut laporan Al-Jazeera, pemerintah Israel mengklaim tindakan mereka adalah langkah preventif untuk mengatasi ancaman dari Iran, yang mereka tuduh telah membangun bom nuklir. Oleh karena itu, Israel berdalih serangan tersebut merupakan tindakan pertahanan diri yang disebabkan oleh keadaan darurat.
BACA JUGA: Menggugat Diam PBNU: Badai Isu Datang, Kemana Arah Kompas Organisasi?
Klaim ini berbeda dengan laporan dari International Atomic Energy Agency (IAEA) yang dirilis pada Kamis, 12 Juni 2025. Laporan tersebut memang menyebutkan adanya pelanggaran materi yang dilakukan Iran terkait Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT). Meski demikian, klaim spesifik Israel bahwa Iran telah berhasil membangun bom nuklir belum dapat dibuktikan.
Campur tangan negara Barat semakin memperumit konflik. Tidak terima “sekutu tercintanya” dibombardir, Amerika Serikat ikut meradang. Pada 22 Juni 2025, Pentagon dilaporkan mengirimkan Pasukan Operasi Midnight Hammer yang melibatkan 125 pesawat tempur, termasuk tujuh pesawat pengebom siluman B-2 dan kapal selam.
Semakin memanasnya konflik Iran-Israel ini menimbulkan sebuah pertanyaan besar: Apakah dunia sedang berada di ambang Perang Dunia III, atau akankah terwujud gencatan senjata di antara kedua belah pihak beserta sekutu-sekutunya?
Tinggalkan Balasan