20 Maret 2025 sepertinya menjadi pertanda akhir dari era Reformasi di Indonesia. Baru-baru ini disahkannya RUU-TNI oleh mayoritas anggota DPR yang diisi Koa-lisi Indonesia Maju (KIM) Plus menuai kontroversi. Sebagian kalangan berasumsi bahwa RUU-TNI adalah menghidupkan kembali rezim Orde Baru yang militeristik dan otoritarian. Kembalinya TNI dalam ranah politik juga dikhawatirkan merusak tatanan demokrasi dan amanat Reformasi. Kita tentu sadar bahwa hampir mayoritas anggota DPR-MPR hari ini adalah mereka yang “barangkali” ikut terlibat dalam gerakan Reformasi di tahun 1998 dan “mungkin” mereka juga menjadi korban dari kekerasan sewaktu demonstrasi yang mencapai klimaksnya pada Mei 1998
Padahal, di masa Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001) telah dihapus Dwifungsi ABRI yang mana terjadi pemisahan antara institusi TNI dengan Polri dan mengembalikan TNI ke baraknya. Namun, pada 2025, usaha menghidupkan lagi kenangan pada masa silam “Orde Baru” melalui pengesahan RUU-TNI telah selesai dan disetujui.
Banyak yang berpendapat bahwa โsia-sia kita belajar sejarah, kalau pada akhirnya kita kembali pada sejarah yang samaโ. Akan tetapi, usaha ini tidak lebih dari keinginan untuk mematikan demokrasi di Indonesia. Situasi rapat tertutup yang berujung pada kebohongan publik ditengah isu efisiensi anggaran justru berdampak pada perusakan kepercayaan masyarakat terhadap instansi negara dan “mungkin” pada instansi-instansi terkait.
Dalam perjalanan sejarah Indonesia, keterbatasan publik terhadap informasi dan penyuaraan aspirasi memang terjadi di zaman Orde Baru, yang mana hegemoni negara melalui tindakan represif seperti meninabobokan hampir seluruh masyarakat karena ancaman dan lain sebagainya. Kita juga tidak lupa bahwa hegemoni negara di segala bidang justru menghambat proses kreativitas seniman. Misalnya saja pada ranah kebudayaan, yang mana karya seni seperti puisi, lukisan dan teaterikal justru kerap mendapat intimidasi sampai pada pelarangan tampil.
Pembungkaman itu juga terjadi di era Reformasi seperti pada pentas teater Indonesia Kita yang disutradarai Butet Kertaredjasa dan Agus Noor berjudul Musuh Bebuyutan di Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki pada Desember 2023. Selain itu, pameran lukisan karya Yos Sudarso di Galeri Nasional Jakarta juga mendapat intervensi sampai pada pembungkaman Grup Band Sukatani dengan lagu Bayar, Bayar, Bayar juga harus mendapat intervensi serupa dari pihak kepolisian.
Ancaman Kembalinya Militer Dalam Politik
Hal itu justru tidak dapat dibayangkan apabila TNI kembali seperti masa Orde Baru, tentunya banyak asumsi bahwa ancaman sampai penghilangan paksa orang-orang yang kritis terhadap negara akan mendapat tindakan serupa. Lantas harus apa yang kita perbuat? Tidakkah kita melihat beberapa negara yang dihegemoni oleh militeristik seperti Myanmar atau bahkan Rusia, sehingga kritik dan demokrasi di sana tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal inilah yang dikhawatirkan banyak pihak jika benar TNI kembali menghegemoni instansi negara.
Di satu sisi, kita memang tidak boleh melihat hal negatif dari penghidupan kembali Dwifungsi ABRI saat ini. [barangkali] Presiden Prabowo Subianto sedang mempersiapkan ancaman-ancaman dari luar atau mungkin untuk menata kembali keadaan negara melalui militeristik. Selain itu, di masa Presiden Joko Widodo dulu pernah berpendapat bahwa demokrasi kita kebablasan. Makna kebablasan disini merujuk pada berita-berita hoaks yang [sudah] pasti tidak dapat dibenarkan asal-usulnya. Oleh karena itu, Presiden Prabowo ingin memperbaiki sistem yang sedang rusak atau [mungkin] sengaja dirusak oleh politisi-politisi.
Refleksi Kepemimpinan Militer SBY
Kepemimpinan militer di masa Reformasi memang pernah terjadi selama 10 tahun, yakni di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Perlu dicatat bahwa di masa Presiden SBY, demokrasi dijaga dan dirawat agar kepercayaan publik pada instansi negara [atau bahkan militer] kembali membaik.
Namun, apakah di masa Presiden Prabowo juga akan memiliki muara yang sama terkait dengan kebijakan-kebijakan yang telah diresmikan? Tentu saja kita yang memahami bagaimana sisi lain Orde Baru dan kelamnya masa itu membuat kita tidak mungkin lupa terhadap represifnya negara melalui militer terhadap para pengkritiknya.
BACA JUGA:
RUU TNI: Urgensi Atau Hanya Sebagai Alat Memperkuat Kekuasaan
Teror Terhadap Jurnalisme: Mengingat Tragedi 23 Januari Harian Waspada Medan
Kami Menolak Kenangan Kelam
Jika saat ini memang RUU-TNI yang telah diresmikan itu diarahkan lagi pada terbangunnya Orde Baru Jilid 2, apakah kita sebagai warga sipil akan dipinggirkan menjadi kelas 2? Orde Baru memang tidak pandang bulu terhadap lawan politiknya, sekalipun ia pernah memiliki kedekatan pada penguasa. Seperti pada kasus Benny Moerdani yang dulunya pernah “memiliki hubungan yang” dekat dengan Soeharto kemudian berubah menjadi oposisi dan mendukung PDI kubu Megawati.
Atau saat Ali Sadikin, Hoegeng Iman Santoso dan A.H. Nasution yang tergabung dalam Petisi 50, menjadi oposisi total terhadap Soeharto dan Orde Baru, mengalami hilangnya hak-hak politik mereka. Atau dalam kasus lain seperti pembredelan Majalah Tempo yang dipimpin Goenawan Mohamad yang pernah mendukung embrio Orde Baru melalui Manifes Kebudayaan dan Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia di tahun 1964, juga dihabisi Orde Baru.
Hal itulah yang mungkin juga ditakutkan banyak pihak sehingga penolakan RUU-TNI oleh beberapa aktivis mahasiswa dan masyarakat lainnya. Tentu saja kita tidak lupa terhadap fusi partai yang justru menimbulkan konflik internal di masing-masing partai [PPP dan PDI]. Mungkin lebih dari itu, jangkauan pemikiran aktivis dan masyarakat yang concern pada isu-isu demokrasi dan kenegaraan melihat betapa bahayanya hegemoni TNI dalam politik nasional.
Dan satu hal lagi, tentu saja kita tidak akan lupa beberapa kenangan pahit yang dialami oleh para eks-Tapol yang dihilangkan paksa akibat peristiwa G30S. Kenangan kelam seperti itulah yang tentunya banyak ditakuti atau bahkan tidak akan pernah diinginkan lagi oleh semua masyarakat yang berpikir secara jernih.
Tinggalkan Balasan