Dari Kekunoan Hingga Kekinian

Media dan Penguasa Hari Ini, Sudahi Mesra-Mesraannya!

Avatar Fatma

Presiden Prabowo Subianto bertemu dengan para pemimpin redaksi media di Hambalang, Jawa Barat. (Detiknews)

Media belakangan ini cukup memprihatinkan, akibatnya saya kembali mengingat diskusi-diskusi panjang bersama teman-teman pers mahasiswa. Ruang hangat redaksi masih lekat di ingatan. Perdebatan yang tak kunjung usai kala itu, hanya karena celetukan seorang teman tentang keberpihakan. Belum lagi jalannya diskusi yang dipenuhi oleh bumbu-bumbu elemen jurnalisme-nya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. 

Ya, media dengan produk jurnalistiknya kudu jadi watchdog atau anjing pengawas kekuasaan. Dan diskusi tersebut berakhir dengan menggembirakan atas idealisme yang sama. Kami mengamini kedua tokoh yang saya sebut di atas.

Saya sebetulnya tidak mau keasikan bernostalgia dan melankolis untuk sebuah kenangan itu. Pada akhirnya ingatanย buyarย juga,ย tatkala akhir-akhir ini kita mendengar bahwa beberapa Pimpinan Redaksi (Pimred) media besar arus utama di Indonesia menghadiri undangan Presiden. Pertemuan berlangsung di kediaman Prabowo Subianto di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, pada Sabtu, 22 Februari 2025.

Tentu, tidak ada yang salah dengan pertemuan tersebut. Namun, naif kiranya kalau kita tidak khawatir melihat kondisi yang demikian. Apalagi, di tengah sosial-politik Indonesia yang sedang carut marut. Sulit rasanya untuk tidak bertanya-tanya โ€œApakah kedekatan semacam ini masih memungkinkan media untuk menjalankan perannya yang krusial sebagai anjing pengawas kekuasaan?โ€ atau โ€œJustru kondisi tersebut melahirkan anjing-anjing jinak untuk melegitimasi kekuasaan?โ€.

Pertemuan semacam ini bukanlah barang baru di Indonesia. Hampir dalam setiap periode kekuasaan, presiden yang sedang berkuasa punya dinamikanya sendiri dalam menjalin relasi dengan media. Jika ditinjau sejarahnya, di masa Orde Lama dan Orde Baru media cenderung mendapat penindasan. Yang terparah memang pada Orde Baru. Pemerintah Orde Baru saat itu mencoba mengendalikan media secara ketat melalui Menteri Penerangan. Media yang berani keluar dari jalur yang diinginkan pemerintah, harus siap menghadapi ancaman pencabutan izin terbit. 

Sebetulnya ide bermesra-mesraan media dengan penguasa, baru muncul beberapa waktu terakhir di era Reformasi ini. Di periode inilah, kebebasan pers memang lebih terbuka, tetapi bukan berarti tanpa tekanan. Kedekatan penguasa dengan media tetap berlangsung dalam berbagai bentuk, mulai dari pendekatan halus melalui pertemuan tertutup, hingga kepemilikan media yang perlahan-lahan dikuasai oleh segelintir elit.

Barangkali, ide mesra-mesraan media dan penguasa ini muncul setelah keberhasilan โ€œPolitik Citraโ€ pada masa Pemilu 2004. Menurut Gazali (2004), Media atau pers punya peran krusial untuk mendukung dan turut serta mengkampanyekan pasangan calon yang sedang ikut kontestasi politik kala itu. Lebih lanjut, penjelasan dilengkapi dengan penggambaran kompleks kondisi โ€œpolitik komunikasiโ€ di Indonesia. Hal itu ditandai dengan sejarah panjang media sejak merdeka hingga hari ini. 

Pada akhirnya, pola berulang inilah yang terjadi pada setiap periode kekuasaan di Indonesia. Kondisi semacam ini kemudian melahirkan keberpihakan yang khas selama periode kekuasaan berlangsung. Media yang beragam seolah punya perannya sendiri ketika membangun wacana tentang rezim yang berkuasa.

Dalam konteks yang lebih ekstrim, kondisi sekarang mungkin bisa saja berkembang. Tidak lagi hanya sekadar pertemuan-pertemuan kecil dan jalinan personal. Pada dasarnya, penguasa punya andil yang kuat untuk melahirkan kebijakan yang lebih ketat. Toh, Indonesia sendiri telah mengalaminya di masa Orde Baru bukan? Tentu, sejarah kelam semacam itu tidak mungkin ingin kita ulang kembali.

Dove Boyle (2013) dalam bukunya memang telah menjelaskan bahwa pemerintah pusat mempunyai banyak cara untuk mengontrol adanya media. Hal itu bisa dilakukan melalui hukum, regulasi, hingga ekonomi. Dan ketiganya menjadi senjata yang paling ampuh untuk membatasi gerak media. 

Beberapa waktu terakhir, kekhawatiran terhadap kebebasan pers semakin nyata dengan munculnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang diajukan secara tiba-tiba. Draf regulasi ini dinilai problematis karena berpotensi menghambat kerja-kerja jurnalistik, terutama dalam penyiaran berita yang kritis terhadap pemerintah. 

Salah satu pasal yang menjadi sorotan adalah pelarangan media penyiaran untuk menayangkan konten investigasi, yang ironisnya justru menjadi salah satu pilar utama dalam jurnalisme. Dengan kata lain, jika RUU ini disahkan, media yang berupaya mengungkap penyalahgunaan kekuasaan atau kasus-kasus korupsi misalnya, bisa kehilangan hak untuk menyiarkannya. 

Tak hanya itu, adanya ketentuan yang memperketat kontrol terhadap lembaga penyiaran juga menandakan bahwa pemerintah ingin memiliki cengkraman lebih kuat terhadap arus informasi. 

Belum lagi, kekhawatiran yang lain terkait dengan perkembangan internet dan kebebasan pers. Internet yang awalnya diharapkan menjadi ruang bebas, justru diperparah dengan pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sejak diberlakukan, UU ini telah banyak digunakan untuk menjerat jurnalis, aktivis, dan bahkan warga biasa yang menyuarakan kritik terhadap pemerintah. 

Pasal-pasal multitafsir seperti pencemaran nama baik dan penyebaran informasi yang dianggap meresahkan, kerap dijadikan alat untuk merepresi kebebasan berekspresi. Akibatnya, banyak media dan individu yang akhirnya memilih untuk melakukan sensor diri daripada menghadapi risiko hukum. 

Kondisi ini menciptakan efek domino dengan tendensi merusak iklim demokrasi. Ketika informasi yang beredar semakin dikendalikan suara kritis pun semakin ditekan. Jika RUU Penyiaran disahkan tanpa perlawanan, maka kita bukan hanya menghadapi ancaman dari aturan yang ada, tetapi juga melihat munculnya skema pengendalian baru yang semakin membungkam kebebasan pers dan kebebasan berbicara di Indonesia.

Dan akhirnya, sekarang kita hanya bisa berharap, semoga kekhawatiran itu tidak akan terjadi di masa depan. Barangkali angin segar kebebasan pers masih terus bisa diupayakan dalam ekosistem yang lebih sehat. Kita tidak mungkin diam dan pasrah serta menjadikan hal itu sebagai ironi. Tidak ada pilihan lain, kita harus tetap bersuara!

Avatar Fatma

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *




Subscribe to our newsletter