Beberapa hari terakhir ini warga net digemparkan oleh beredarnya berita penolakan mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia berdasarkan surat Presiden Nomor R12 Tahun 2025 tanggal 13 Februari 2025.
Penolakan dikembalikannya Dwifungsi TNI dalam birokrasi pemerintahan mencuat sebagaimana yang dilakukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil dengan tagline “Tolak Kembalinya Dwifungsi melalui Revisi UU TNI”. Koalisi Masyarakat Sipil menilai jika dikembalikannya Dwifungsi TNI memberi angin segar Militer aktif merangkap jabatan sipil serta dapat melemahkan militerisme.
Dalam rapat bersama pemerintahan, Komisi I DPR RI menyetujui pembentukan panitia kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai perubahan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ketua Komisi I DPR RI sekaligus Ketua Panja, Utut Adianto menjelaskan perubahan RUU TNI tersebut akan meliputi beberapa aspek penting diantaranya ketentuan umum, jati diri TNI, kedudukan, peran, fungsi, tugas, postur organisasi, pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI, serta kesejahteraan prajurit.
Pro-Kontra mengenai RUU TNI juga berimbas dengan tercatutnya nama Sekretaris Kabinet (Seskab) Merah Putih, Letnan Kolonel Teddy Indra Wijaya yang mana posisinya saat ini dinilai sebagai bentuk pelanggaran terhadap UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, di mana Seskab tidak termasuk daftar kementerian atau lembaga yang dapat diisi oleh prajurit aktif. Jika merujuk dalam UU TNI hanya ada sepuluh kementerian atau lembaga yang tertera diantaranya:
- Koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara
- Pertahanan Negara
- Sekretaris Militer Presiden
- Intelijen Negara
- Sandi Negara
- Lembaga Ketahanan Nasional
- Dewan Pertahanan Nasional
- Search and Rescue (SAR) Nasional
- Narkotika Nasional
- Mahkamah Agung
Urgensi Atau Penguat Suksesi Pemerintahan
Sudah bukan rahasia umum lagi track record dari Presiden RI ke-8, Prabowo Subianto. Seorang Jenderal Purnawirawan TNI yang kini menjadi orang nomor wahid di Indonesia. Santernya berita RUU TNI ini menjadi sorotan publik yang menarik.
Pasalnya apa urgensi dikembalikannya Dwifungsi TNI dalam masa sekarang? Banyak pengamat cenderung memberi sinyal kekhawatiran terhadap kebijakan Presiden Prabowo mengenai keterlibatan TNI dalam beberapa program pemerintah.
Sebagaimana pengamatan Peneliti Imparsial, Hussein Ahmad yang mengemukan pendapatnya bahwa jika keterlibatan TNI dalam program-program dan jabatan di pemerintah dapat berpotensi terjadinya bentrok antara aparat dan masyarakat. Hussein juga mengatakan pemerintahan sedang menggadaikan keselamatan masyarakatnya dengan menarik-narik militer ke ranah sipil.
Banyak spekulasi bermunculan mengenai bentuk kembalinya Orde Baru. Kekhawatiran keterlibatan militer dalam kegiatan birokrasi pemerintahan ini sebagai gejala awal Presiden Prabowo membuka kembali “Kotak Pandora” yang sudah ditutup rapat.
Akankah kembali ke Orde Baru melalui kembalinya dwifungsi tugasnya militer, yang sekarang bernama TNI? Atau RUU TNI sebagai penguat suksesi pemerintahannya?
Ya, jika melihat dominasi kalangan militer diprogram-program yang sudah berjalan seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG), Program ketahanan pangan, pengerahan Bintara Pembina Desa (Babinsa) untuk mengawal penjualan Elpiji 3 kilogram hingga ke pengecer dan yang terbaru kegiatan retreat pembekalan bagi kepala daerah terpilih di kompleks Akademi Militer (Akmil) Magelang, Jawa Tengah. Menunjukkan bahwa dominasi kalangan militer sudah mulai masuk perlahan mengisi pos-pos yang sudah disiapkan.
BACA JUGA:
Prestise Generasi Muda Yang Menolak RUU TNI
Apakah Kepemimpinan Presiden Prabowo Mengadobsi Era Orba?
Role model kepemimpinan yang akan dipakai oleh Presiden ke-8 Republik, Indonesia, Prabowo Subianto diperkirakan mengkombinasikan tiga model gaya kepemimpinan presiden Indonesia, Sukarno, Soeharto dan Joko Widodo.
Menurut Sugiyanto ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (Hasrat), “Presiden terpilih Prabowo Subianto mampu menggabungkan karakteristik dan pendekatan dari masing-masing pemimpin ini dalam gaya kepemimpinannya”.
Melihat beberapa kebijakan yang dilakukan di Kabinet Merah Putih juga tidak jauh berbeda dengan era Orde Baru dengan menerapkan beberapa peraturan salah satunya rencana kembalinya Dwifungsi TNI. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di masa pemerintahan Presiden Soeharto merupakan kekuatan terpenting dalam melanggengkan kepemimpinannya. Selain sebagai alat untuk mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara, ABRI juga terlibat dalam dinamakan politik.
BACA JUGA:
Teror Terhadap Jurnalisme: Mengingat Tragedi 23 Januari Harian Waspada Medan
Media dan Penguasa Hari Ini, Sudahi Mesra-Mesraannya!
Jika di era Presiden Prabowo Subianto Dwifungsi TNI itu dikembalikan maka akan terjadi beberapa dampak negatif bagi Kabinet Merah Putih:
- Keterlibatan militer dalam politik dan pemerintahan sangat bertentangan dalam prinsip demokrasi. Warga Sipil akan lebih sedikit yang menduduki jabatan dalam pemerintahan sebab banyak diisi oleh kalangan militer.
- Potensi penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) akan bertambah.
- Fungsi utama TNI sebagai lembaga mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara dapat tersisihkan sebab ikut terjun dalam pemerintahan.
- Ketergantungan pemerintahan terhadap militer. Hal ini dapat menimbulkan sikap militer memegang senjata semakin otoriter karena diberikan kekuasaan.
Revisi UU TNI ini menjadi isu krusial dalam dinamika politik Indonesia kini. Tapi Apakah perubahan ini benar-benar sebuah urgensi atau sekadar alat untuk memperkuat kekuasaan? Mari kita tanyakan pada rumput yang bergoyang.
BACA JUGA:
Tinggalkan Balasan