Dari Kekunoan Hingga Kekinian

PBNU: Pertaruhan Marwah di Tengah Pelukan Kekuasaan

Avatar Fadilah Yusuf

Kemenangan Gus Yahya di Muktamar NU awalnya menjadi harapan besar, tapi kenyataanya tidak (Detik.com)

Menyimak sebuah podcast yang diadakan di channel YouTube Akbar Faizal Uncensored pada 31 Maret 2025 atau bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri. Dalam podcast tersebut, dihadirkan Kiai Said Aqil Siradj [sapaan akrabnya Kang Said] yang menjadi narasumber untuk membahas ekstremisme, manipulasi habib dan cawe-cawe Jokowi di tubuh NU.

Hal yang menarik dalam podcast tersebut adalah penuturan Kang Said atas keterlibatan negara dan ketidaksukaan Joko Widodo pada dirinya jika ia terpilih lagi menjadi ketua PBNU di periode ketiga. Di podcast tersebut, kita disuguhkan bagaimana negara mengintervensi kegiatan Muktamar NU di Lampung pada 2021, yang mana keberadaan negara justru tidak menginginkan Kang Said terpilih lagi menjadi ketua PBNU di periode berikutnya.

Intervensi negara terhadap kegiatan muktamar tentu saja bukan yang pertama kali, karena pada 1994, jika kita membaca sejarah perhelatan Muktamar NU di Cipasung, intervensi Orde Baru terhadap kegiatan muktamar sangat kentara. Hal ini terlihat dari pencalonan Abu Hasan [yang disokong negara] melawan Abdurrahman Wahid [petahana], meski pada akhirnya Abdurrahman Wahid berhasil memenangkan kontestasi di Muktamar NU pada 1994 di Cipasung.

Barangkali ini bukan menjadi tulisan pertama yang menganalisis isi podcast Kang Said dari channel YouTube Akbar Faizal Uncensored yang betul-betul mengoreksi situasi PBNU hari ini. Muktamar NU di Lampung pada 2021 menjadi sisi lain dari perhelatan muktamar selain digelar di masa pandemi, tetapi juga melibatkan [bantuan] negara yang mengakibatkan PBNU menjadi berbeda sikap [atau malah kehilangan daya kritisnya] hari ini.

Memang Gus Yahya bukan menjadi representasi NU [meskipun menjabat ketua umum PBNU] karena masih ada Rais โ€˜Aam yang memegang kendali penuh. Tetapi, sosok ketua adalah pelaksana organisasi yang kemudian banyak direpresentasikan sebagai wujud organisasi.

Kondisi berbeda justru terlihat pasca PBNU mengadakan kegiatan muktamarnya di Lampung yang [mungkin] tidak banyak kita ketahui bahwa ada keterlibatan negara dalam pemenangan Gus Yahya. Hal itu yang diungkap Kang Said dalam menit-menit terakhir di podcast [meskipun tidak langsung menjurus pada nama], Kang Said juga menjelaskan situasi NU hari ini dengan masa kepemimpinannya.

Yang mana PBNU di masa Kang Said, berani mengkritisi kebijakan negara yang tidak sejalan atau tidak berpihak pada masyarakat seperti keberpihakan Presiden Joko Widodo pada segelintir konglomerat atau ketika UU Cipta Kerja disahkan dan sikap PBNU melakukan judicial review. Namun, PBNU di masa Gus Yahya justru menunjukkan makna sebaliknya yang lebih mengutamakan kedekatannya pada negara dibandingkan sehingga tidak berani bersikap kritis pada kebijakan negara.

Kemenangan Gus Yahya di Muktamar NU awalnya menjadi harapan besar bahwa dirinya akan dapat membawa NU ke arah yang lebih baik lagi atau setidaknya mengimbangi PBNU di masa kepemimpinan Kang Said. Akan tetapi, kepemimpinan Gus Yahya di PBNU justru mengatakan sebaliknya, ia terperosok dalam jurang politik negara sehingga tidak dapat bersikap kritis. Mungkin saja ia tidak dapat mengkritisi karena adanya perjanjian politik dengan negara.

Hal ini berbeda ketika melihat PBNU hari ini, yang mana slogan Gus Yahya ketika kampanye [dalam Muktamar NU di Lampung] adalah โ€œMelanjutkan Gus Durโ€. Tentu saja ini hanyalah bualan belaka, menurut orang-orang yang kritis terhadap PBNU.

Jika merujuk pada sebuah buku yang ditulis Greg Barton berjudul The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, disebutkan bahwa Gus Dur banyak mengkritisi pemerintahan Orde Baru mulai dari persoalan Waduk Kedungombo hingga kritisnya terhadap ICMI [organisasi cendekiawan muslim yang dibentuk oleh Orde Baru untuk mendapat dukungan dari kalangan Islam] sehingga berdampak pada ketidaksukaan Presiden Soeharto pada PBNU di masa Abdurrahman Wahid. Namun, jika kita lihat lagi, apa sikap kritis Gus Yahya terhadap kebijakan negara yang justru menimbulkan permasalahan di tengah masyarakat?

Justru PBNU di masa kepemimpinan Gus Yahya cenderung kehilangan daya kritisnya karena ia lebih memilih berdekatan dengan kekuasaan. Hal yang berbeda dari masa kepemimpinan Abdurrahman Wahid yang berani beroposisi dengan Orde Baru.

Sementara itu, tradisi pecat memecat layaknya partai politik, justru [tidak pernah terjadi di masa sebelumnya] baru ada ketika PBNU di bawah kendali Gus Yahya. Hal ini dapat dipastikan bahwa adanya intervensi negara di dalam struktur PBNU yang berdampak pada hilangnya marwah organisasi di saat masyarakat menjadi korban dari kebijakan yang dibuat oleh negara.

Lagi dan lagi, kita justru melihat PBNU hampir tidak pernah bersikap mengkritisi negara dan cenderung mengambil sikap untuk mengamankan diri sendiri. Barangkali pemberian konsesi tambang untuk dikelola PBNU menjadi salah satu penegasan untuk tunduk pada negara dan tidak melakukan kritik terhadap negara.

Membayangkan Orde Baru (Reborn)

Menurut Jennifer Lindsay dalam Cultural Policy and the Performing Arts in Southeast Asia, disebutkan bahwa negara memberi hibah berupa subsidi dengan tujuan agar kelompok masyarakat [budayawan] tidak melakukan kritik dalam berbagai pementasannya. Jika kita korelasikan dengan intervensi negara terhadap PBNU bertujuan agar tidak mengeluarkan fatwa yang mengarahkan pada gerakan masyarakat.

Hal ini yang mungkin ditakutkan sejumlah elite negara, sehingga organisasi keagamaan sebesar NU harus diberikan semacam intervensi [berupa sogokan atau bagian dari kekuasaan] untuk mengamankan diri dari fatwa-fatwa yang dapat membahayakan kebijakan negara.

PBNU di masa Kang Said, pernah menginstruksikan pada warga NU agar tidak membayar pajak jika pajak dikorupsi. Lalu apa sikap PBNU hari ini terkait dengan beberapa kasus korupsi yang mendapat banyak sorotan? Tentunya PBNU hari ini seperti kehilangan marwah organisasinya, justru kritik terhadap ketua PBNU adalah menjual nama Gus Dur untuk mendapatkan posisi strategis [yang tidak lain pastinya berkaitan dengan jabatan politis] di NU ataupun dengan yang lainnya.

Maka tidak heran, bila banyak kiai-kiai yang mufaroqoh [lepas dari atau meninggalkan] dari PBNU dan berfokus pada pesantren masing-masing. Hal itu justru melemahkan PBNU dari dalam karena tidak adanya sokongan dari para kiai akan berdampak pada instabilitas organisasi.

Oleh sebab itu, kita dapat menyimpulkan bahwa organisasi sebesar NU pada akhirnya dapat dikendalikan negara melalui beragam intervensi sehingga tidak menutup kemungkinan juga pada organisasi yang lebih kecil dari NU dapat dikendalikan oleh negara.

Avatar Fadilah Yusuf

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *




Subscribe to our newsletter