Dari Kekunoan Hingga Kekinian

Hantu Kapitalisme di Balik Bencana

Avatar Admin Tilas.id

Hujan yang harusnya bawa kesuburan malah jadi ancaman buat permukiman. Air yang seharusnya meresap ke tanah sekarang nggak bisa ke mana-mana, ketahan sama beton, aspal, dan jejak industrialisasi yang serakah (Admin)

Hantu Kapitalisme kini sering gentayangan di tengah harapan yang Kian Memudar. Tetapi sebelum lebih jauh membahas hantu kapitalisme lebih jauh, kalian pernah denger kalimat klise, “Setelah hujan pasti ada pelangi”? Kayak mantra harapan gitu, bikin tenang seolah semuanya bakal baik-baik aja.

Tapi kenyataannya tak seindah itu, hujan hari ini nggak lagi membawa pelangi. Justru, yang datang malah banjir, longsor, dan genangan air yang entah kapan surut. Kita seolah sedang hidup dalam situasi aneh: di satu sisi, kita percaya badai pasti berlalu, tapi di sisi lain, pas badai selesai, yang tersisa justru kerusakan lebih parah.

Banjir yang ada saat ini menurutku bukan cuma bencana alam, tapi semacam bentuk kemarahan alam karena udah terlalu lama dieksploitasi. Hujan yang harusnya bawa kesuburan malah jadi ancaman buat permukiman. Air yang seharusnya meresap ke tanah sekarang nggak bisa ke mana-mana, ketahan sama beton, aspal, dan jejak industrialisasi yang serakah. Para pemodal udah ngebetonin bumi habis-habisan, dan kita yang nggak berdosa ini tetap aja kena dampaknya.

Kita sering dengar kalau industrialisasi itu tanda kemajuan. Makin banyak pabrik, makin banyak lowongan kerja, dan katanya, hidup kita jadi lebih sejahtera. Tapi, seringnya kita lupa ngitung harga yang harus dibayar. Hutan habis buat perluasan industri, sungai penuh limbah, tanah dieksploitasi terus-menerus. Semua ini terjadi karena logika kapitalistik yang cuma ngejar untung, tanpa mikirin gimana lingkungan jadi hancur.

Orang-orang yang ngotot mendukung industrialisasi tanpa batas sering banget bilang kalau eksploitasi itu udah jadi bagian dari pembangunan. Kayak mantra yang diulang-ulang, mereka ngomong kalau rusaknya lingkungan cuma “harga kecil” buat kesejahteraan. Tapi, siapa sih yang benar-benar sejahtera? Buruh pabrik yang gajinya nggak sebanding sama capeknya kerja? Warga yang tiap hari harus ngisep udara kotor di bantaran sungai? Atau malah segelintir elit yang duduk manis sambil menghitung laba?

Kita perlu kritis terhadap cara pembangunan yang nggak peduli sama keseimbangan lingkungan. Korporasi dan pemerintah nggak bisa cuma mikirin cuan tanpa mikirin alam. Mereka seharusnya jadi pihak yang paling bertanggung jawab atas kerusakan ini. Kita juga harus buang jauh-jauh anggapan kalau bencana itu sekadar “takdir.” Faktanya, bencana terjadi karena keretakan metabolik yang terjadi antara manusia dan alam akibat hantu kapitalisme.

Jason W. Moore, seorang teoritikus Amerika bilang, “kalau nggak semua manusia ikut-ikutan ngerusak lingkungan, nyalahin seluruh umat manusia atas krisis ekologi itu terlalu simpel. Yang sebenarnya bikin hancur itu bukan semua orang, tapi segelintir elite kaya dan korporasi besar yang rakus ngegerogoti sumber daya alam buat cuan. Seharusnya merekalah yang paling bertanggung jawab atas kekacauan lingkungan yang kita hadapi sekarang”.

Moore berpendapat kalau perubahan lingkungan yang kita alami sekarang bukan cuma gara-gara “aktivitas manusia secara umum” seperti yang sering disebut dalam konsep Antroposen. Tetapi, lebih cenderung karena sistem kapitalisme global yang terus memaksa eksploitasi alam dengan cara yang kejam demi keuntungan segelintir orang. Memang hantu kapitalisme ini nggak melihat alam sebagai sesuatu yang harus dijaga, tapi lebih kayak sumber daya yang bisa dikuras habis tanpa batas

Menurut Moore, “kapitalisme modern berjalan dengan cara menjual alam jadi barang dagangan”. Hal itu selaras dengan apa yang kita alami saat ini, hutan ditebang bukan untuk menjaga keseimbangan alam, tapi untuk dijadikan lahan industri atau perkebunan gede-gedean. Sungai yang harusnya jadi sumber kehidupan bagi makhluk hidup, malah jadi tempat pembuangan akhir limbah pabrik. Ujung-ujungnya, lingkungan rusak parah, dan yang kena imbasnya ya masyarakat biasa.

Dalam wacana kapitalosen, nggak semua manusia punya andil yang sama dalam kerusakan lingkungan. Istilah “Antroposen” sering dipakai seolah-olah semua orang ikut bertanggung jawab atas bencana ekologi ini. Padahal, menurut Moore, yang paling berperan justru mereka yang punya modal dan kekuasaan. Ya, biang keladinya tetap perusahaan-perusahaan besar, para pemodal, dan pemerintah yang memberi jalan bagi eksploitasi alam tanpa regulasi yang ketat.

Hantu kapitalisme itu selalu ngejar pertumbuhan ekonomi tanpa mikirin kondisi lingkungan. Begitu satu tempat udah nggak bisa dipakai lagi, semisal tanah rusak, air tercemar, atau sumber daya habis, mereka bakal pindah ke tempat lain buat dieksploitasi lagi. Hasilnya? Lingkungan terus rusak, siklusnya nggak berhenti, dan makin parah gara-gara perubahan iklim.

Kita nggak bakal lagi ngelihat pelangi setelah hujan kalau terus pura-pura nggak lihat kenyataan. Harapan itu bagus, tapi nggak bisa cuma jadi angan-angan tanpa sadar sama apa yang sebenarnya terjadi. Nggak mungkin terus-terusan ngehibur diri dengan optimisme kosong sementara lingkungan kita makin sekarat.

Kalau mau lihat pelangi setelah hujan, pastikan tanah masih bisa nyerap air, sungai nggak dipenuhi sampah, dan hutan tetap berdiri tanpa takut ditebang. Kalau nggak, yang datang setelah hujan bukan keindahan, tapi banjir yang bisa nyapu semuanya.

Avatar Admin Tilas.id

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *




Subscribe to our newsletter