Dari Kekunoan Hingga Kekinian

Bagian 2: Dinamika Hubungan Iran, Israel, dan Amerika Serikat

Avatar Fachri Syauqii

Secara retorika, Iran keras mengecam tindakan Israel terhadap umat Muslim di Palestina. Namun, dalam kebijakan operasional, hubungan keduanya bersifat pragmatis karena adanya saling ketergantungan

Pada abad ke-20, hubungan antara Iran dan Israel pernah berjalan harmonis, mencakup kerja sama di bidang persenjataan, teknologi, hingga perekonomian. Di tengah perebutan pengaruh antara identitas Arab dan non-Arab di Timur Tengah, Iran dan Israel sempat memiliki musuh bersama: Uni Soviet. Sejarah bahkan mencatat bahwa serangan Israel ke fasilitas nuklir Irak pada tahun 1981 mendapat bantuan dari Iran. Keduanya juga disinyalir bersama-sama berupaya menggulingkan rezim Saddam Hussein pada tahun 1991. Namun, setelah itu, hubungan keduanya mulai merenggang.

Menurut Trita Parsi dalam bukunya โ€œTreacherous Alliance: The Secret Dealings of Israel, Iran, and the United Statesโ€ (diterjemahkan sebagai โ€œPersekutuan Israel, Iran dan Amerika Serikat: Hubungan Rahasia Tiga Negara di Balik Huru-Hara Timur Tengahโ€), titik balik penting terjadi pada tahun 2006 ketika Hizbullah menggempur perbatasan Israel, yang memicu pertempuran selama 34 hari. Parsi, seorang akademisi dari Quincy Institute, mengkaji pola hubungan yang selalu pasang surut antara Iran, Israel, dan Amerika Serikat.

Ia membedakan antara “kebijakan retorika” dan “kebijakan operasional”. Secara retorika, Iran keras mengecam tindakan Israel terhadap umat Muslim di Palestina. Namun, dalam kebijakan operasional, hubungan keduanya bersifat pragmatis karena adanya saling ketergantungan. Dalam dinamika ini, Amerika Serikat berada di posisi tengah yang dapat menarik-ulur hubungan kedua negara. Analisis Parsi menyimpulkan bahwa kepentingan geopolitik lebih dominan daripada ideologi dalam perlombaan persenjataan dan teknologi antara Iran dan Israel.

Perjanjian Nuklir yang Mengubah Wajah Kawasan

Setelah Perang Dunia II, Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet membentuk lanskap politik global. Pada 1 Juli 1968, Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) ditandatangani, dan Iran turut menjadi salah satu negara yang menyepakatinya. Di bawah kepemimpinan Syah Pahlevi, Iran memiliki hubungan yang harmonis dengan Amerika dan menyepakati program nuklir bersama.

Hubungan ini berubah drastis setelah Revolusi Iran tahun 1979. Program nuklir dengan Amerika dihentikan. Pada era Ayatullah Khomeini, Iran mulai membangun kembali program nuklirnya dengan menggandeng mitra baru, yaitu Tiongkok (1990), Pakistan (1992), dan Rusia (1992-1995).

Iran mengembangkan teknologi nuklirnya secara diam-diam hingga pada tahun 2003, informasi mengenai fasilitas produksi air berat di Arak dan fasilitas pengayaan uranium di Natanz bocor ke publik. Pada tahun 2005, Presiden Iran saat itu, Mahmoud Ahmadinejad, mengakui bahwa Iran memiliki teknologi nuklir tetapi mengklaim penggunaannya hanya untuk tujuan damai, seperti pembangkit listrik.

Langkah penting berikutnya terjadi pada tahun 2009 ketika Presiden AS Barack Obama mengungkap adanya fasilitas pengayaan uranium rahasia di Fordow, dekat kota Qom. Bagi Amerika, stabilitas Timur Tengah dianggap vital karena kawasan ini merupakan pemasok minyak terbesar.

BACA JUGA: Iran: Benteng Ahlusunnah yang Terlupakan

Pada Maret 2013, sebuah terobosan diplomatik terjadi. Amerika Serikat, melalui utusan William Joseph Burns dan Jake Sullivan, membangun kembali hubungan bilateral dengan Iran yang diwakili oleh Ali Asghar Khaji. Momen bersejarah tercatat pada September di tahun yang sama, ketika Presiden Obama dan Presiden Iran Hassan Rouhani berkomunikasi melalui telepon interaksi pertama antara pemimpin kedua negara sejak 1979. Pembicaraan mereka berfokus pada pembekuan program nuklir Iran dengan imbalan penghapusan sanksi ekonomi.

Lahirnya JCPOA dan Tujuan Utamanya

Negosiasi yang panjang akhirnya membuahkan hasil dengan terbentuknya Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Perjanjian ini melibatkan Iran dan enam negara besar dunia (P5+1), yaitu:

  • Inggris
  • Amerika Serikat
  • Jerman
  • Prancis
  • Republik Rakyat Tiongkok
  • Rusia

Badan Energi Atom Internasional (IAEA), sebagai lembaga pengawas nuklir global, melakukan inspeksi dan melaporkan bahwa Iran mematuhi ketentuan perjanjian sementara. Ini termasuk menghentikan pengayaan uranium hingga 20%, mengencerkan setengah dari persediaan uranium yang telah diperkaya, dan menghentikan pekerjaan pada reaktor air berat di Arak.

Tujuan utama dari pembentukan JCPOA adalah sebagai berikut:

  1. Membatasi Program Nuklir Iran: Perjanjian ini secara signifikan mengurangi jumlah bahan yang dapat digunakan Iran untuk membuat senjata nuklir, sehingga memperpanjang waktu (dikenal sebagai breakout time) yang dibutuhkan untuk memproduksi bahan fisil.
  2. Meningkatkan Transparansi: Mendorong pengawasan penuh atas seluruh aktivitas nuklir Iran untuk mencegah pengembangan senjata nuklir secara diam-diam di lokasi tersembunyi.
  3. Meringankan Sanksi Ekonomi: Sebagai imbalannya, sanksi keras yang diberlakukan oleh PBB, Uni Eropa, dan AS terhadap Iran dicabut.
  4. Kepentingan Strategis dan Ekonomi: Dari sisi AS, Iran dipandang sebagai produsen minyak besar yang berpotensi menjadi mitra strategis dalam pasokan energi, sekaligus untuk menyeimbangkan pengaruh Rusia di kawasan tersebut.

Pengembangan Diam-Diam dan Doktrin Pertahanan Iran

Meskipun JCPOA bertujuan untuk transparansi, IAEA (melansir dari Kompas) menyebutkan adanya indikasi aktivitas pengolahan nuklir di empat lokasi yang tidak terdaftar secara resmi. Tiga lokasi yang teridentifikasi adalah Lavisan-Shian, Varamin, dan Turquzabad. Selain itu, Isfahan menjadi pusat penelitian nuklir terbesar di Iran, yang dibangun pada 1984 dengan bantuan Tiongkok dan mempekerjakan sekitar 3.000 ilmuwan untuk berbagai kegiatan riset dan produksi bahan bakar nuklir.

Lantas, mengapa Iran tetap berupaya mengembangkan kemampuannya? Menurut Arms Control Association, kepemilikan senjata nuklir memberikan efek gentar (deterensi) yang membuat negara lain tidak akan berani menyerang hanya dengan senjata konvensional.

BACA JUGA: Bagian 1: Sejarah Terbentuknya Korps Garda Revolusi Islam Iran (IRGC)

Dalam konteks ini, ada doktrin yang disebut “pencegahan proporsional” (awalnya dikembangkan oleh Prancis). Intinya, negara dengan kekuatan nuklir terbatas seperti Iran tetap dapat mencegah serangan dari negara adidaya nuklir seperti Amerika Serikat atau Israel. Caranya adalah dengan menunjukkan kemampuan dan keberanian untuk melakukan serangan balasan yang menghancurkan target-target vital di negara penyerang, bahkan jika negara mereka sendiri pada akhirnya akan hancur.

Sikap ini dapat diringkas menjadi: “Jika saya diserang, saya akan membalas dengan menghancurkan kotamu, meskipun saya sendiri ikut hancur.” Strategi ini menjadi sangat ampuh karena menciptakan kemampuan balasan masif bahkan sebelum negara tersebut benar-benar kalah. Hal ini menimbulkan keraguan besar bagi negara mana pun yang berniat melakukan serangan pertama.

Avatar Fachri Syauqii

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *





Subscribe to our newsletter