Dari Kekunoan Hingga Kekinian

Agama dalam Etalase: Ketika Spiritualitas Menjadi Komoditas

Avatar Helmiz Kabirumi

Agama yang dikomodifikasi bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi juga krisis nilai (ilustrasi/admin)

Di zaman serba digital ini, agama bukan lagi sekadar pedoman hidup, melainkan seperti komoditas yang diperjualbelikan di dalam etalase. Dari kajian eksklusif dengan tiket (VIP) hingga ustaz selebritas yang lebih sibuk membangun citra dari pada menyampaikan esensi ajaran, kita melihat bagaimana agama berubah dari sesuatu yang sakral menjadi barang dagangan.

Dulu, berbicara tentang agama berarti membahas nilai-nilai kehidupan, mencari makna di balik ritual, dan mengajarkan kesederhanaan serta kepedulian sosial.

Kini, agama hadir dalam kemasan yang jauh lebih mengilap. Ia dijual dalam bentuk seminar berbayar, merchandise Islami yang lebih mirip brand fashion mewah, hingga konten media sosial yang lebih menonjolkan branding personal ketimbang substansi.

Fenomena ini menghadirkan paradoks. Umat diajak untuk hidup sederhana, tetapi figur agama tampil dalam balutan kemewahan. Mereka yang mengajarkan zuhud justru memiliki rumah megah, kendaraan premium, dan gaya hidup yang jauh dari ajaran kesederhanaan yang mereka dakwahkan.

Agama yang seharusnya menjadi pengingat atas fana-nya dunia malah berubah menjadi alat untuk mengumpulkan harta.

Lebih ironis lagi, umat yang berada dalam kesulitan ekonomi justru menjadi pasar utama bagi industri religius ini. Dari investasi berbasis syariah yang sering kali berujung skandal, hingga bisnis umrah dan haji yang menjadikan spiritualitas sebagai ladang profit. Janji-janji keberkahan dan kemudahan hidup dijual dalam bentuk paket eksklusif, seolah-olah kedekatan dengan Tuhan bisa dibeli dengan harga tertentu.

Pergeseran dari moral 

Di ranah politik, agama juga bukan lagi soal keyakinan, tetapi strategi elektoral. Ayat suci dikutip di atas panggung kampanye, simbol-simbol religius dipakai sebagai alat legitimasi, dan kesalehan menjadi komoditas politik.

Namun, setelah kursi kekuasaan diraih, agama kembali menjadi pajangan. Ia tidak lagi membumi dalam kebijakan yang menyejahterakan rakyat, tetapi sekadar ornamen untuk mempertahankan citra.

Dalam pusaran kapitalisme dan politik ini, agama menghadapi tantangan besar: apakah ia masih menjadi kompas moral, atau sekadar produk yang bisa dikemas ulang sesuai kebutuhan pasar? Jika agama hanya hadir dalam etalase yang bisa dibeli dan dijual, maka jangan heran jika esensinya semakin memudar.

Agama seharusnya membebaskan, bukan memperdaya; membangun kesadaran, bukan sekadar menjadi tontonan. Namun, selama spiritualitas terus dikemas dalam produk berharga tinggi, agama mungkin akan semakin jauh dari tujuan awalnyaโ€”menuntun manusia menuju kebaikan, bukan sekadar menguntungkan segelintir orang.

Agama yang dikomodifikasi bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi juga krisis nilai. Ketika ajaran spiritual berubah menjadi alat branding, yang tersisa bukan lagi pesan moral, melainkan strategi pemasaran.

Kita melihat bagaimana konsep hijrah dijadikan tren, bukan perjalanan batin yang mendalam, tetapi paket lengkap dengan gaya hidup, produk, dan komunitas eksklusif.

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana agama kehilangan esensinya. Ia tidak lagi menjadi pengalaman personal yang penuh makna, tetapi semakin menyerupai industri hiburan.

Agama yang dulunya membentuk karakter manusia kini diukur dari jumlah pengikut, jumlah donasi yang masuk, atau seberapa mahal tiket kajian yang bisa dijual. Semakin laris, semakin dipuja. Seakan-akan spiritualitas dapat dikalkulasikan dengan algoritma engagement media sosial. Maka demikian agama tak lain seperti produk dagangan di dalam etalase.

Di media, para figur agama menjadi influencer spiritual. Mereka tidak hanya berdakwah, tetapi juga membangun kerajaan bisnis. Ada parfum sunnah, mukena premium, bahkan paket wisata religi dengan fasilitas eksklusif.

Seakan-akan, semakin banyak uang yang dikeluarkan, semakin dekat seseorang dengan Tuhan. Padahal, ajaran agama sejati justru menekankan bahwa kedekatan dengan Tuhan tidak bisa dibeli, melainkan diperjuangkan melalui ketulusan dan perbuatan baik.

Namun, persoalan ini tidak bisa sepenuhnya disalahkan kepada para figur agama. Mereka hanya mengisi ruang yang diciptakan oleh masyarakat sendiri.

Ada permintaan, maka ada pasokan. Umat yang haus akan pencerahan spiritual justru lebih tertarik pada yang instan dan mudah dicerna. Dakwah yang mendalam dan kritis jarang mendapat tempat, karena lebih nyaman mendengar pesan-pesan sederhana yang tidak mengganggu zona nyaman.

Pada akhirnya, agama yang dikemas dalam kapitalisme ini membawa kita pada pertanyaan besar: Apakah agama masih menjadi jalan menuju kebaikan, atau sekadar produk yang harus laku di pasaran?

Kita perlu kembali pada agama yang membumi. Bukan yang diperdagangkan dalam kemasan mewah, tetapi yang benar-benar hadir dalam kehidupan sehari-hari.

Agama yang tidak sekadar menjadi jargon atau tren, tetapi menjadi sumber inspirasi untuk berbuat baik, membangun keadilan sosial, dan membawa manfaat bagi sesama. Jika agama terus berada di etalase, maka ia hanya akan menjadiย tontonan,ย bukan pegangan dan tolak ukur kebenaran.

Avatar Helmiz Kabirumi

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *




Subscribe to our newsletter