Dari Kekunoan Hingga Kekinian

Naturalisasi dan Local Pride dalam Sepak Bola Indonesia: Perdebatan yang Tak Kunjung Usai!

Avatar Dimas Permadi

Timnas Indonesia (Pinterest)

Program Naturalisasi sebenarnya bukan baru-baru ini dilakukan di dunia persepakbolaan Indonesia, pada tahun 2010 saat indonesia mengikuti Piala AFF kita mengenal sosok Cristian Gonzales sebagai pemain naturalisasi dari PSSI, kemudian disusul dengan nama-nama seperti Beto Goncalves, Ilja Spasojevic, Sergio Van Dijk yang bergabung dalam squad Tim Nasional Indonesia.

Dunia olahraga di Indonesia khususnya sepakbola, sedang hangat-hangatnya diperbincangkan dalam beberapa tahun terakhir. Pasalnya Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) yakni Erick Thohir, memiliki ambisi yang cukup besar untuk Indonesia mendominasi kancah persepak-bolaan Asia, bahkan ambisi terbesarnya yakni memasuki Piala Dunia.

Salah satu upaya untuk mencapai target tersebut yakni melakukan program naturalisasi para pemain yang bermain di Liga Eropa dan memiliki darah keturunan Indonesia.

Namun, program naturalisasi memang kembali dilakukan secara masif ketika PSSI berada dibawah kepemimpinan Mochamad Iriawan (Iwan Bule) dan Erick Thohir dengan Tim Nasional yang dinahkodai oleh Shin Tae-Yong.

Disisi lain, program naturalisasi yang dilakukan oleh PSSI menimbulkan perdebatan yang tak ada habisnya. Terdapat sebuah kubu yang ternyata sangat mengecam program naturalisasi karena dianggap bisa mematikan potensi bakat dari anak bangsa yang memiliki keturunan Indonesia secara penuh.

Netizen sering menyebutnya dengan kubu Pro Naturalisasi dan kubu Local Pride. Perdebatan seperti ini seharusnya tidak perlu terjadi sebab akan timbul perpecahan yang membuat cita-cita besar sepakbola Indonesia bisa saja tak tercapai.

Erick Thohir dan Dito Ariotedjo selaku Menpora mengungkapkan bahwa naturalisasi yang dilakukan merupakan program jangka pendek untuk mencapai target ke Piala Dunia. Selain itu, PSSI didampingi oleh kemenpora melakukan project jangka panjang dengan cara pembinaan terhadap bibit-bibit muda generasi bangsa yang disiapkan untuk Timnas Indonesia.

Mereka yang kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi

Perlu diketahui bahwa program naturalisasi yang dilakukan oleh PSSI saat ini, selalu mengutamakan pemain yang memiliki darah keturunan Indonesia baik dari orang tua maupun kakek dan neneknya.

Jadi, mereka memiliki hak yang sama dengan pemain-pemain lokal untuk membela Timnas Indonesia, sebab dalam diri mereka masih mengalir darah Indonesia.

Sebagian dari mereka rela melepas kewarganegaraan lama mereka, menolak untuk bermain di Timnas yang posisinya lebih tinggi dari Indonesia, bahkan jiwa nasionalisme mereka bisa lebih tinggi dibandingkan dengan pemain yang memiliki full darah Indonesia. Para pemain keturunan ini bisa dikatakan sebagai orang-orang yang pulang ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Para pemain keturunan yang di naturalisasi oleh PSSI, tentunya memiliki segudang pengalaman ketika bermain di Eropa. Hal tersebut seharusnya bisa menjadi motivasi bagi para pemain lokal untuk menjadi lebih baik sehingga bisa dilirik untuk memperkuat Timnas Indonesia.

Disamping itu, mereka juga bisa menimba ilmu dari para pemain keturunan untuk semakin mengasah kemampuan mereka. Munculnya persaingan yang sehat antara pemain keturunan dan pemain lokal untuk menembus Squad Timnas Indonesia seharusnya menjadi hal yang menarik untuk dibahas daripada harus memperdebatkan tentang naturalisasinya.

Liga Indonesia di kancah Asia dan regulasi liga yang bobrok

Seluruh aktivitas persepakbolaan Indonesia pernah dibekukan oleh FIFA selama 1 tahun yakni dari tahun 2015-2016. Setelah masa pembekuan tersebut, klub-klub di Liga Indonesia tak dapat berbicara banyak dikancah Asia bahkan terseok-seok ketika mengadapi sesama klub dari ASEAN.

Ditambah lagi baru-baru ini PT. Liga Indonesia Baru (LIB) mengesahkan regulasi baru dengan mengizinkan setiap Klub boleh mendatangkan 8 pemain asing, dengan 6 pemain asing yag diizinkan sebagi starter.

Apakah Kekalahan Timnas Murni Kesalahan Patrick Kluivert?

Regulasi tersebut sebenarnya juga menjadi salah satu hambatan bagi para pemain lokal untuk bersaing di Liga Indonesia, dengan datangnya para pemain asing.

Alhasil para pemain lokal pun selain mereka harus bersaing dengan pemain keturunan untuk masuk ke Timnas, mereka harus bersaing dengan pemain asing dari klub masing-masing untuk mendapatkan menit bermain.

Jika PSSI dan Kemenpora benar-benar ingin membenahi persepakbolaan Indonesia dan melakukan Project jangka panjang untuk menyiapkan pemain-pemain lokal yang matang, seharusnya dimulai dengan membenahi regulasi yang ada di Liga Indonesia.

Jika memang tujuan diterapkannya regulasi 8 pemain asing disetiap klub tersebut untuk mendongkrak prestasi dikancah Asia, berarti tujuan tersebut hanya untuk menunjang eksistensi klub semata tanpa memikirkan perkembangan para pemain lokal.

Jika demikian, dimana lagi mereka mendapatkan pembinaan selain dari klub dan liga mereka sendiri, kalau mereka di klub tak dapat menit bermain? Bahkan pembinaan pemain usia dini baik oleh PSSI maupun oleh klub pun masih belum memiliki alur, regulasi, bahkan liga yang jelas.

Pemain lokal yang Aboard namun kurang menit bermain

Dalam beberapa tahun terakhir, begitu banyak pemain lokal yang memilih Aboard atau bermain di klub luar Negeri. Nama-nama seperti Pratama Arhan, Marselino Ferdinan, Asnawi Mangkualam Bahar dan masih banyak lagi merupakan nama-nama yang memilih untuk melanjutkan karir sepakbola mereka diluar Indonesia.

Mereka adalah orang-orang yang keluar dari zona nyamannya, meninggalkan gaji yang besar dan bermain di klub Eropa bahkan Asia.

Semangat untuk keluar dari zona nyaman tersebut seharusnya bisa jadi contoh untuk pesepakbola Indonesia yang lain, untuk tidak hanya terpaku pada Liga Indonesia saja.

Namun, perlu digaris bawahi bahwa pemilihan klub untuk Aboard juga penting untuk menunjang menit bermain. Tak sedikit pesepakbola Indonesia yang berkarir diluar Negeri mendapat menit bermain yang sangat sedikit, bahkan hanya menjadi penghangat bangku cadangan.

Hal tersebut tentunya akan berpengaruh ke performa pemain ketika ia dipanggil untuk membela timnas Indonesia. Sebut saja Marselino Ferdinand, ketika ia masih berseragam Persebaya dan menjadi pemain andalan Bajul Ijo dilapangan, ia menampilkan performa yang cukup apik sehingga ia bisa dipanggil dan debut di Timnas dengan performa yang apik juga.

Namun ketika ia Aboard ke Liga Belgia hingga ia pindah ke tim Divisi Kedua Liga Inggris Oxford United, kurangnya menit bermain membuat performanya sangat turun ketika membela timnas Indonesia. Oleh karena itu, Aboard bagi pemain memang penting, tapi menit bermain tak kalah lebih pentingnya untuk menunjang performa.

Perdebatan mengenai Naturalisasi dan Local Pride memang tak seharusnya terjadi. Sepakbola Indonesia memiliki cita-cita yang tinggi untuk mendominasi di kancah Asia bahkan Piala Dunia, segala elemen mulai dari suporter, pemain, pelatih, bahkan pengamat sepakbola harus memiliki satu visi yang sama untuk terwujudnya ambisi yang besar tersebut.

Avatar Dimas Permadi

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *




Subscribe to our newsletter