Dewasa ini toko ritel semakin membeludak tak ketinggalan peminat, karena saking jamaknya variasi industri ritel, maka untuk lebih mudah saya klasifikasikan menjadi 2 kategori saja, pertama ritel Madura (tradisional), kedua ritel modern, ke-dua model ritel ini memiliki pengaruh dan keterlibatan masing-masing dalam ranah publik, Namun yang jelas ada ruang di mana salah satunya di nomor satukan dan di sekiankan pada beberapa hal.
Misal ketika sedang ingin menjaga reputasi di depan orang disegani, beli kebutuhan sehari-hari biasanya ke indomaret, alfamaret atau toko-toko ritel modern yang lain. Sebaliknya jika ingin mendapatkan tarif yang sesuai harga pasar wajarnya lari ke toko-toko Madura pada umumnya.
Pertama saya akan menjelaskan sedikit tentang ritel atau lebih dikenal toko kelontongan Madura, mengapa toko ritel tradisional sering dinisbatkan kepada Madura? Karena ada persepsi bahwa banyak pengusaha asal Madura menjalankan bisnis toko ritel di berbagai daerah (suku perantauan).
Alasan akademisnya cukup kompleks, jika dirunut dari sejarahnya bahwa orang Madura dikenal memiliki etos kerja yang tinggi dan mobilitas ekonomi yang kuat serta kemampuan berdagang yang khas. Mereka sering merantau ke pelosok-pelosok daerah di Indonesia untuk berdagang, termasuk membuka usaha kelontongan Madura selama bertahun-tahun yang kemudian menguatkan stereotipe bahwa banyak toko kelontong dikuasai oleh orang Madura.
Pertikaian halus yang Sengaja dipanjang-panjangkan
Acap kali karena kebutuhan masyarakat yang berbeda-beda mempengaruhi kelas industri ini, namun selain atas perbedaan kelas kualitas, kita dijumpai beberapa fakta sosial atas pemahaman masyarakat tentang ke-dua model industri ritel ini. Berdasar pada aspek tradisi;kultur, masyarakat kerap menghargai toko ritel Madura sebab mereka seringkali mencerminkan nilai-nilai lokal yang didasari keramah-tamahan, saling percaya antara penjual dan pembeli.
Selain itu mengapa masyarakat-masyarakat senior lebih setia dengan industri ritel model madura, karena pada saat proses membeli barang-barang kebutuhan rumah tangga, ada hal-hal baru yang dibicarakan (gosip) untuk sekadar menjalin kerekatan interaksi sosial di dalamnya.
Beda halnya dengan supermarket atau minimarket seperti indomaret dan alfamaret yang kerap pelayanannya lebih formal, artinya sistem yang diterapkan biasanya tidak memperhatikan interaksi personal atau karena lebih memprioritaskan efisiensi atau standar modern, yang mungkin akibatnya kurang memperhatikan aspek sosial yang lebih fleksibel seperti halnya pembayaran bisa ditunda.
Juga perbedaan harga produk, ritel Madura (tradisional) cenderung menawarkan harga pasar yang lebih layak, sangat terjangkau dan produknya sesuai dengan kebutuhan lokal. Sebaliknya ritel modern menyajikan produk dengan skala besar dan bermacam-macam jenisnya, namun demikan kurang cocok dengan selera kebutuhan sehari-hari masyarakat setempat.
Selain itu, adanya dua model pasar kompetitor ini di lingkungan sekitar, ada kemungkinan-kemungkinan persepsi masyarakat yang dibangun, kalau ritel modern itu produknya lebih higenis, terjamin kualitasnya dan lebih aman, namun minusnya harga sudah ditetapkan dan tidak bisa ditawar, yang mungkin tidak sesuai dengan kebiasan negosiasi laiknya di toko tradisional.
Sedangkan kalau ritel Madura itu harganya bisa dinegosiasi dengan penjualnya untuk mendapatkan kesepakatan harga yang dianggap lebih menguntungkan, atau bahkan tak jarang sampai-sampai bisa mengutang jika sudah lama saling kenal atau acap diistilahkan juga pihak pembeli telah menjadi pelanggan tetap (setia), dan yang perlu di highlight bahwa akses pembeli ke industri ini normalnya 24 jam, bahkan hingga ada slogan berbunyi “warung atau toko Madura hanya tutup hari kiamat”.
Jadi jika kebutuhan pokok itu harus dipenuhi pada tengah malam yang notabennya semua jenis pertokoan tutup, masyarakat bisa mengakses kebutuhan kapanpun pada jenis toko Madura (tradisional) ini, meski akhir-akhir ini sebagian kecil toko-toko modern di beberapa tempat sudah ada yang menyaingi atau menerapkan sistem dengan membuka pelayanan 24 jam kepada masyarakat.
BACA JUGA:
Hantu Kapitalisme di Balik Bencana
Sisi Ritel Madura Yang Higienis dan Ekonomis
Pengaruh pandangan kebanyakan masyarakat yang lebih percaya kepada ritel Madura selain ekonomis dan higienis, juga karena ritel Madura seringkali lebih mendukung terhadap pembangunan ekonomi lokal yang dilatari oleh asal-muasal produk dari petani atau pengrajin setempat. Masyarakat setempat seringkali menitipkan barang dagangannya berupa kue, kerupuk, atau makanan ringan olahan daerah setempat.
Dengan demikian menurut persepsi masyarakat ritel Madura bisa dikatakan ikut andil berkontribusi pada perekonomian lokal, sementara ritel modern biasaya merupakan bagian dari jaringan yang terbilang besar, seringkali dimiliki oleh perusahan nasional maupun multinasional yang kebanyakan produknya berbasis modern dan kemungkinan kurang cocok pada lidah masyarakat berumur.
Selain itu terdapat pandangan negatif tentang ritel modern yang ada di perbincangan akademisi seperti hal disrupsi terhadap identitas lokal, yang artinya masuknya ritel modern ke wilayah tradisional mungkin menjadi ancaman terhadap cara hidup tradisional yang dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat di suata saat. Karena kemungkinan besar masyarakat luas melihat ritel modern sebagai simbol dari globalisasi atau kapitalisme yang dapat menggerus identitas lokal dan ekonomi rakyat kecil.
Tinggalkan Balasan