Dunia saat ini semakin tak terpisahkan dari teknologi. Globalisasi menghadirkan tantangan sekaligus peluang bagi peradaban, termasuk bagi santri yang hidup di lingkungan pesantren. Munculnya Metaverse sebagai bentuk transformasi digital masa depan semakin menegaskan bahwa setiap individu, termasuk santri, perlu beradaptasi dengan perkembangan teknologi.
Namun, para santri memiliki pendekatan tersendiri dalam menyikapi teknologi. Mereka diajarkan untuk berhati-hati dalam menerima inovasi baru dengan prinsip “mempertahankan nilai lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik”. Pesantren pun mulai memanfaatkan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan santri, seperti menyediakan akses internet dan fasilitas komputer, tanpa meninggalkan nilai-nilai agama yang menjadi pedoman utama.
Santri dan Era Metaverse
Meski Metaverse belum sepenuhnya optimal, banyak perusahaan teknologi telah memperkenalkan konsep ini ke masyarakat. Mark Zuckerberg memperkirakan bahwa butuh waktu 5 hingga 10 tahun untuk mengembangkan fitur utama Metaverse, tetapi unsur-unsurnya seperti realitas virtual dan dunia digital interaktif sudah mulai digunakan.
Bahkan, dalam peringatan Hari Santri Nasional 2022 silam, isu Metaverse menjadi salah satu topik utama. Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menegaskan bahwa santri harus siap menghadapi perkembangan teknologi, karena mereka bukan hanya ahli dalam ilmu agama, tetapi juga bisa berkontribusi dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Presiden Joko Widodo kala itu juga mengingatkan masyarakat untuk mempersiapkan diri menghadapi Metaverse.
Santri Masa Kini dan Potensi Besarnya
Dulu, santri identik dengan kitab kuning dan pendidikan agama semata. Kini, santri mampu beradaptasi dengan teknologi dan berbagai bidang keilmuan lainnya. Santri modern harus aktif berbaur dengan teknologi agar tidak tertinggal, tetapi tetap berpegang pada prinsip keislaman.
Dengan teknologi, santri dapat mempercepat penyebaran ilmu dan gagasan keislaman, berbagi filantropi, serta membangun jaringan sosial yang lebih luas. Menteri Agama menegaskan bahwa santri dapat berkiprah di berbagai bidang tanpa melupakan tugas utama mereka, yaitu menjaga agama dan martabat kemanusiaan.
Dari sudut pandang filosofis, santri memiliki karakter kuat yang membentuk integritas mereka. Kata “santri” sendiri dapat diartikan sebagai pribadi yang menempuh jalan spiritual, penerus para guru, menjauhi maksiat, menghasrati kebaikan, dan optimis terhadap keselamatan. Karakter inilah yang membuat santri tetap relevan dalam menghadapi tantangan zaman.
Meski ada beberapa kasus yang mencoreng citra pesantren, Menteri Agama menegaskan bahwa santri harus membalas stigma negatif dengan prestasi. Dengan belajar sungguh-sungguh dan menunjukkan keunggulan dalam berbagai bidang, santri dapat membuktikan bahwa mereka adalah aset berharga bagi bangsa dan negara.
Pesantren sebagai Pusat Inovasi
Pesantren bukan hanya lembaga pendidikan agama, tetapi juga pusat pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan keterampilan hidup (life skill). Dalam era digital ini, pesantren perlu memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi agar dapat terus berkembang dan berdaya saing.
Konsep “Pesan.trend”, yang menggabungkan pesan (message) dan tren (kekinian), menggambarkan bagaimana pesantren harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman tanpa kehilangan identitasnya. Hal ini selaras dengan pandangan Hadratussyekh KH. Hasani Nawawie yang menekankan bahwa pesantren berfungsi membentuk individu yang bertakwa kepada Allah SWT, sekaligus membangun hubungan yang harmonis dengan masyarakat melalui teknologi.
BACA JUGA:
Gen Z: Memaknai dan Menciptakan Ruang Identitas Ganda
Kementerian Agama bahkan menginisiasi “Pesantren Business Virtual Exhibition”, sebuah ajang pameran virtual untuk menampilkan produk-produk unggulan pesantren dalam berbagai bidang, termasuk ekonomi, lingkungan, dan inovasi teknologi. Ini membuktikan bahwa pesantren juga memiliki peran besar dalam sektor-sektor di luar pendidikan agama.
Santri di Era Digital: Adaptasi dan Inovasi
Santri masa kini bukan hanya belajar agama, tetapi juga membangun keterampilan yang relevan dengan kebutuhan zaman. Prof. Dr. Franz Magnis Suseno, SJ, menyebut bahwa pesantren adalah tempat belajar yang mempertemukan ketuhanan, kemanusiaan, agama, dan negara secara harmonis. Dalam lingkungan pesantren, ilmu spiritual, sosial, dan teknologi saling berpadu menjadi sebuah ideologi yang kokoh.
Ke depan, tantangan terbesar bagi santri adalah bagaimana tetap menjaga nilai-nilai agama sambil memanfaatkan teknologi untuk kemaslahatan umat. Dengan sikap adaptif, kritis, dan inovatif, santri dapat menjadi garda terdepan dalam menghadapi revolusi digital tanpa kehilangan jati diri mereka sebagai penjaga moral dan intelektual Islam.
Tinggalkan Balasan