Berbagai ekspresi kecemasan khususnya bagi generasi muda mulai menarik untuk di amati belakangan ini. Cuitan-cuitan yang ramai membanjiri media sosial terkait hastag #kabursajadulu semakin banyak diperbincangkan. Hal ini kemudian tampaknya cukup banyak menarik respons dari berbagai kalangan misalnya dari para praktisi politik, kalangan tokoh masyarakat maupun dari kalangan anak muda itu sendiri untuk memberikan pendapat dan pandangannya.
Fenomena kecemasan sosial ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Era New Normal (Pasca Covid-19) ditandai dengan berbagai hal salah satunya adalah kecemasan akan bagaimana upaya untuk kembali membangun kelangsungan hidup yang lebih baik. Hampir secara keseluruhan negara-negara di Dunia mengalami krisis sebagai dampak dari Pandemi Covid-19 tersebut, Indonesia tanpa terkecuali.
Misalnya di Inggris, terjadi krisis kepercayaan para generasi muda terhadap sistem pemerintahan yang dianggap kurang memberikan harapan. Lebih dari 50% dari populasi Gen Z yang mengisyaratkan kekecewaannya pada pemerintah dengan anggapan;
“Inggris akan menjadi tempat yang lebih baik jika ada pemimpin yang kuat yang tidak perlu repot-repot dengan parlemen dan pemilihan umum”.
Kecemasan semacam ini di susul dengan berbagai macam kemungkinan problem lainnya baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial hingga geopolitik.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan dan kemajuan zaman mengarah manusia pada era persaingan yang ketat yang kian hari kian sengit dan memanas. Keadaan ini menimbulkan kecemasan bagi sebagian besar anak-anak muda khususnya generasi yang masih dalam proses membentuk diri dan mencari arah dan tujuan hidup.
Banyak faktor yang mendorong munculnya kecemasan bagi generasi muda dalam menatap masa depan, setidaknya keragu-raguan tersebut muncul dari sebuah pertanyaan sederhana “apakah bisa mendapatkan kehidupan yang layak?” atau “bagaimana kehidupan dengan Indonesia nantinya?”.
Hal semacam ini memberikan gambaran tentang bagaimana keadaan psikologis generasi muda yang semakin hari semakin pesimis melihat kemungkinan peluang yang ada. Problem ini bagi generasi muda cukup realistis untuk dipikirkan, mengingat bahwa keadaan Indonesia per hari ini belum menunjukkan perbaikan yang signifikan. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang masih terhambat, sedangkan pembiayaan untuk kehidupan kian meningkat.
Agaknya memang atau mungkin seharusnya para generasi muda harus memiliki rasa optimis dalam menempuh akhir yang menjanjikan yakni “menuju Indonesia Emas 2045”. Namun rasa optimis tersebut apakah realistis untuk diwujudkan dengan berbagai macam persoalan sosial yang ada? Rasa optimis tentunya harus didasari pada perhitungan yang realistis juga. Kalkulasi yang tidak rasional dan rasa optimis yang tidak mendasar malah akan semakin mengikis keadaan “batin” generasi muda ini.
Generasi muda di isi oleh berbagai macam latar belakang, mulai dari kalangan kelas pelajar muda, mahasiswa, pekerja lepas, petani, tenaga pengajar, teknisi, dan lain sebagainya. Menariknya dari berbagai macam klasifikasi ini ide besar generasi muda adalah sama yakni “bagaimana keadaan Indonesia di masa depan?”
Rasa kecemasan generasi muda sering dianggap sebagai sesuatu yang salah oleh sebagian pihak, bahkan agak miris menyebut kecemasan tersebut sebagai sikap yang tidak nasionalis. Dilihat dari karakteristiknya dan perkembangan isu yang hangat di media sosial, sikap nasionalisme kalangan generasi muda bahkan sangat kuat.
Misalnya saja, rasa nasionalisme tercermin dari tingginya antusias dan dukungan dalam pagelaran Kualifikasi Piala Dunia baru-baru ini, ataupun misalnya partisipasi generasi muda pada isu-isu politik yang ada. Belakangan ramai adalah terkait isu “Garuda Biru” yang banyak menarik perhatian baik di media sosial maupun gerakan partisipasi masa secara langsung.
Hal yang perlu ditegaskan adalah bahwa ancaman menurunnya rasa nasionalisme generasi muda terlalu tidak relevan bahkan untuk sekedar di pikirkan. Bagi anak muda yang ingin menjadi bagian dari “Indonesia Emas 2045” adalah bagaimana cara untuk mempersiapkan diri dengan segala ketidakmungkinan yang ada.
Terlepas dari bagaimana memanfaatkan kemungkinan-kemungkinan yang ada atau bagaimana cara menciptakan kemungkinan tersebut, generasi muda pada saat ini sedang ada di fase kecemasan yang perlu mendapatkan perhatian serius khususnya dari pemerintah melalui kebijakan-kebijakannya. Kebijakan ini setidaknya akan mempengaruhi dua hal yakni rasa optimis generasi muda dan terealisasinya “Indonesia Emas 2045”.
Keadaan Indonesia dan kecemasan para generasi muda memberikan ruang untuk kembali merefleksikan diri tentang apa arah dan tujuan dari bangsa ini. Perayaan Hari Kemerdekaan yang rutin dirayakan pada setiap tahunnya seharusnya bukan hanya sebatas pagelaran seremonial saja, kita harus mampu kembali mengingat ide besar yang lahir dari para founding parent kita.
Soekarno dengan ide besarnya menginginkan Indonesia menjadi bagian dari perubahan di dunia dan mampu menjadi bangsa yang besar. Begitu pula Soeharto menginginkan adanya perbaikan kemajuan dan kemandirian dalam bidang pangan dan ekonomi pembangunan sebagai dasar kemajuan bangsa. Habibie sebagai presiden ke-3 membawa ide besar kemajuan teknologi untuk menghantarkan Indonesia pada era emas kemajuan industri. Begitu pula Gusdur dengan ide kemajemukannya. Para pejuang, pendiri dan pemimpin bangsa Indonesia membawa mimpi besar untuk Indonesia.
Tantangan dan peluang merupakan suatu hal yang tidak dapat hindari, hal ini mengantarkan kita pada upaya untuk semakin mengembangkan, meng-upgrade, dan mendewasakan diri. Generasi muda pada hari ini akan menjadi bagian dari perubahan Indonesia di masa depan, “Indonesia Emas 2045” mungkin dapat direalisasikan, mungkin juga tidak. Semuanya akan bergantung pada bagaimana usaha-usaha yang diupayakan mereka yang peduli dengan Indonesia di hari ini. Filosofi menanam pohon mungkin akan mengingatkan kita kembali pada mimpi besar Indonesia.
“mereka yang menanam pohon hari ini tidak akan memakan hasilnya, ia hanya memberikan harapan bagi para generasi selanjutnya”








Tinggalkan Balasan