Harap tenang, warga Konoha dan sekitarnya! Beberapa hari terakhir, negara kita sedang dilanda wabah baru yang lebih mengkhawatirkan dari kenaikan harga mi instan. Wabah ini tak kasat mata, tapi jejak digitalnya ada di mana-mana. Namanya tren S-Line. Fenomena ini tak ubahnya sebuah audit massal atau sensus dadakan yang diselenggarakan oleh netizen untuk netizen. Jika selama ini kita takut pada audit kantor pajak atau pertanyaan “kapan nikah?”, kini level ketakutan baru telah tiba. Di atas kepala kita semua, secara digital untungnya, tiba-tiba muncul garis-garis merah misterius yang katanya mewakili “jejak langkah asmara” alias jumlah mantan pasangan intim.
Sontak, media sosial pun terbelah. Di satu sudut, muncullah kaum flexing tingkat dewa yang kita sebut saja Sultan Barcode. Mereka dengan bangga mengedit foto dengan ratusan garis di kepala sampai terlihat seperti barcode produk di supermarket. Pesannya jelas. “Lihat aku, aku berpengalaman! Panggil aku suhu!” Seolah setiap garis adalah medali penghargaan yang bisa ditukar merchandise.
Sementara itu, di sisi lain yang lebih adem, ada golongan Minimalis Syariah. Mereka tampil dengan kepala plontos tanpa garis sama sekali, atau paling banter satu garis tipis malu-malu. Tujuannya tentu saja untuk memproklamirkan kesucian diri kepada alam semesta, sambil berharap ada agensi pencari bakat menantu idaman yang melirik.
Tentu saja, ada juga pasukan kreatif absurd yang paling mewakili jiwa +62. Mereka menolak panik dan justru menjadikan tren ini ladang komedi. Merekalah yang mengedit foto kucing oren peliharaan mereka dengan caption, “Kasian si Oyen, udah 7 kali ganti pacar tapi nggak ada yang direstui,” atau bahkan mengedit piring seblak dengan puluhan garis seolah makanan itu punya masa lalu kelam dengan berbagai macam kerupuk. Merekalah penjaga kewarasan kita semua di tengah kekacauan ini.
Dan tentu saja, di balik semua komedi ini, ada sebuah mesin yang bekerja tanpa henti, kejulidan netizen Indonesia. Kita harus ingat, netizen +62 adalah badan intelijen paling efisien di dunia jika sudah menyangkut aib dan skandal orang lain. Mereka adalah para detektif dadakan yang mampu melacak jejak digital seseorang hingga ke zaman Firaun masih memakai Friendster. Sebuah foto lawas yang di-tag tahun 2012, komentar di akun teman dari mantannya teman, atau bahkan pantulan di kacamata seseorang bisa menjadi barang bukti di pengadilan ghibah nasional.
BACA JUGA: Sebuah Tragedi yang Dikirim FYP
Maka, tren S-Line ini ibarat memberikan bensin satu tangki penuh kepada mereka yang hobinya membakar. Orang-orang secara sukarela memberikan data mentah jumlah garis untuk dianalisis. Bisa dibayangkan para detektif ini langsung bekerja, “Oh, si A garisnya lima. Coba kita cek, tahun 2018 dia posting sama si B, 2020 sama si C, nah sisa tiga lagi siapa nih?” Skandal yang tadinya harus dicari dengan susah payah, kini disajikan di atas piring emas. Inilah ironi terbesarnya: sebuah bangsa yang paling vokal soal aib orang lain, kini secara massal dan sukarela melaporkan potensi aibnya sendiri untuk dijadikan tontonan publik.
Tak heran kepanikan massal akibat audit dadakan ini tak terhindarkan. Banyak yang tiba-tiba “bersih-bersih” jejak digital, menghapus foto bareng mantan. Para intel dari Komite Anti Ghibah Internasional Cabang +62 pun bekerja lembur mencocokkan jumlah garis dengan data historis di lapangan. Kepanikan ini bahkan memunculkan desas-desus tentang adanya “jasa pemutihan S-Line” yang menjamin kepala kembali mulus, hingga wacana “sertifikasi halal untuk kepala” yang bebas garis.
Pada akhirnya, tren S-Line adalah bukti sahih bahwa orang Indonesia adalah juara dunia dalam mengubah isu apa pun menjadi tontonan komedi. Kita adalah bangsa yang sangat peduli dengan aib… terutama aib orang lain. Tren ini mungkin akan hilang minggu depan, tapi hasrat kita untuk julid dan menertawakan diri sendiri akan abadi selamanya. Jadi, apapun peran Anda dalam drama ini, ingatlah satu hal, di dunia digital, bahkan kepala Anda pun bisa jadi konten.
Tinggalkan Balasan