Ada satu benda yang disukai 98% warga Indonesia. Bukan karena esok hari libur di pantai, dan jelas bukan karena pelaku korupsi dihukum mati. Tapi karena satu hal kecil yang selalu hadir di sudut piring sambal.
Di manapun tempat kamu makan warung, rumah pacar, restoran mewah kalau sambalnya enak, kamu pasti balik lagi. Bahkan kadang lauknya biasa saja, tapi karena sambalnya luar biasa, kita selalu bilang: โWah, mantap!โ
Tapi kenapa sambal bisa segitu pentingnya? Apa karena rasanya? Atau karena sesuatu yang lebih dalam? Yang selama ini tersembunyi di balik rasa pedas itu?
Riwayat Hidup Bahan Baku Sambal di Nusantara
Hal-hal kecil yang sering kita jumpai dan sering kita dengar setiap hari ini, masih banyak yang tidak sadar bahwa sambal punya sejarah uniknya sendiri. Hal ini tercetus pada saya saat saya makan sambal setiap hari. Apa yang membuat saya ketagihan sambal? Mengapa sambal selalu ada di setiap rumah? Apa sebenarnya yang disukai oleh seorang yang maniak makan sambal? Jawabannya ada di sini.
Sambal adalah saus atau bahan penyedap makanan yang memiliki cita rasa pedas, yaitu sensasi terbakar pada mulut. Sambal sudah dikonsumsi oleh masyarakat Jawa Kuno sejak abad ke-10 Masehi. Sebelum waktu itu, nenek moyang kita tidak memakan cabai seperti sekarang, tetapi memakai cabai jawa atau yang disebut cabai payung. Bentuknya menyerupai cabai sekarang, berukuran kecil, panjang seperti biasa, tetapi perbedaannya ada pada teksturnya yang memiliki seperti bentol-bentol kecil sekali di seluruh permukaan cabai.
Cabai Jawa yang memiliki nama latin Piper retrofractum Vahl ini masih berkerabat dengan tanaman lada. Lada dan Cabai Jawa sama-sama memiliki cita rasa khas pedas saat dikunyah. Lada, atau yang biasa kita sebut merica, kaya akan kandungan kimia alami seperti minyak lada, minyak lemak, juga pati. Tanaman lain yang juga digunakan untuk sambal yaitu jahe. Jahe atau dengan nama lainnya halia sering digunakan untuk bahan baku pengobatan. Jahe juga sama-sama memiliki sensasi rasa pedas. Ketiga bahan tersebut adalah bahan baku sambal pada masa Jawa Kuno yang belum ada cabai seperti sekarang.
Waktu berjalan sampai pada masuknya bangsa Spanyol dan Portugis yang membawa cabai ke Nusantara pada abad ke-15 hingga ke-16. Lalu, Cabai Jawa tergantikan dengan cabai rawit yang dibawa dari negara mereka. Cabai rawit lebih populer karena rasanya yang tergolong kuat dan lebih pedas dari Cabai Jawa. Cabai rawit mengandung capsaicin, yaitu zat yang memberikan rasa pedas yang sangat kuat, sementara Cabai Jawa mengandung zat piperin yang memberikan rasa pedas yang hangat dan lembut, serta memiliki sifat antioksidan untuk obat-obatan tradisional. Itulah mengapa cabai rawit populer hingga saat ini dan cocok untuk berbagai jenis makanan.
Untuk menghasilkan sebuah sambal, mula-mula cabai-cabai itu harus ditumbuk, dihancurkan, dan ditambahkan bumbu pelengkap lain, seperti bawang putih atau merah, terasi, garam, gula, dan biasanya minyak goreng bekas memasak bisa dicampurkan. Sambal biasanya dimakan dengan nasi atau yang lebih generalnya adalah setiap daerah memiliki ciri khasnya masing-masing untuk mengkreasikan sambal ini.
Kenapa Namanya SAMBAL?
Pernah kepikiran kenapa namanya โSAMBALโ? Kenapa tidak simbil atau sumbul? Jawabannya karena nama โSAMBALโ berasal dari sebuah kata serapan dari bahasa Jawa Kuno yaitu sambฤl yang berarti โdihancurkanโ atau โdilumatkanโ. Kata ini dipilih karena dari cara pembuatannya yaitu dengan cara dihancurkan.
Istilah sambal dapat ditelusuri jejaknya dalam sejumlah prasasti dan naskah kuno Jawa yang tersebar di berbagai wilayah Pulau Jawa. Beberapa contohnya dapat ditemukan dalam Kidung Sri Tanjung yang berasal dari abad ke-12, serta dalam Serat Centhini dari abad ke-16, dan masih banyak lagi sumber lainnya.
Tradisi membuat sambal atau dalam istilah harfiahnya, nyambel, yang berarti โmelumatkanโ telah dikenal sejak lama. Ketika terjadi perpindahan besar-besaran masyarakat Jawa ke Pulau Bali pada masa ekspansi kekuasaan Majapahit sekitar abad ke-12, dimulai sejak masa Majapahit masih berada di bawah Kerajaan Singasari, kebiasaan mengolah sambal pun ikut menyebar. Sejak saat itu, sambal mulai diterima luas oleh masyarakat Bali, dan seiring waktu berkembang menjadi berbagai varian khas yang menyesuaikan dengan cita rasa lokal setempat.
Budaya Meracik Sambal
Pada pertama kali cabai masuk, masyarakat masih belum terpikirkan tentang melumatkan atau menghancurkan cabai ini untuk dijadikan sambal. Awalnya, cabai itu dimakan apa adanya, tanpa ditumbuk-tumbuk atau dicampuri ini dan itu. Lalu kapan budaya nyambel ini dimulai?
Menurut Fadly Rahman, sejarawan kuliner yang sudah banyak mengulik tentang sejarah makanan Indonesia, salah satunya adalah sambal. Menurutnya, proses meracik sambal bukanlah sesuatu yang datang sekaligus. Setiap bahan di dalamnya membawa cerita dan waktu sendiri-sendiri. Bawang merah, bawang putih, garam, kencur, gula, dan tentu saja terasi semuanya punya jejak sejarah yang saling silang.
Bawang-bawangan, mereka sudah lebih dulu nyasar ke tanah air kita tapi bukan dibawa oleh kapal VOC. Pengaruhnya berasal dari jalur peradaban India dan Tiongkok, ribuan tahun sebelum cabai masuk. Sementara bahan seperti garam, kencur, dan terasi adalah kekayaan tanah Nusantara itu sendiri.
BACA JUGA: Membunyikan yang Sunyi Melalui Naskah Kuno di Kabupaten Trenggalek
Cabai, lebih tepatnya cabai rawit, sudah dijelaskan sebelumnya bahwa ia bukan tanaman asli Indonesia, melainkan dari benua Amerika, lebih tepatnya dari Spanyol dan Portugis sekitar abad ke-15 hingga ke-16 dan rasanya langsung cocok. Sejak saat itu, mereka (cabai rawit, bawang-bawangan, garam, gula, terasi, kencur) menyatu bukan hanya dalam resep, tetapi karena kebiasaan makan masyarakat Indonesia dan kreativitas setiap daerah yang berbeda, sambal hadir untuk menggugah selera makan masyarakat Indonesia hingga saat ini.
Turunan Sambal dari Masa ke Masa
Jenis-jenis sambal memiliki masanya sendiri. Terdapat tiga sumber dan tahun yang berbeda yang menyebutkan bahwa sambal memiliki berbagai jenis.
- Sumber pertama ada pada manuskrip Serat Centhini pada abad ke-15 hingga ke-16. Dalam manuskrip itu tercatat ada minimal 16 varian sambal yang populer di Jawa kala itu. Hal ini menjelaskan bahwa tradisi mencipta sambal tidak sesaat, melainkan berbasis budaya lama yang sudah ada sejak berabad silam.
- Sumber kedua, ada pada buku Mustika Rasa yang ditulis oleh Hartini, istri Presiden Soekarno. Beliau mencatat ada 63 jenis sambal di Indonesia pada masa itu. Sambal terasi, sambal bawang, sambal tomat, dan sambal cabai ijo masuk ke daftar varian klasik yang ditulis oleh Hartini. Mengingat hasil kreativitas daerah masing-masing, angka tersebut menunjukkan kekayaan ragam sambal sudah berkembang pesat sejak saat itu.
- Sumber ketiga ada pada “Journal of Ethnic Foods” yang mengulas ragam sambal berdasarkan buku masak tradisional Nusantara. Dalam jurnal tersebut disebutkan bahwa telah ditemukan 110 jenis sambal di Nusantara. Sambal tersebut antara lain, sambal bajak, sambal balado, sambal rica-rica, sambal matah, sambal andaliman, sambal cabai ijo, sambal roa, sambal dabu-dabu, dan sambal lainnya.
Filosofi Sambal
Buat sebagian orang, sambal bukan cuma soal selera. Ia menyimpan pelajaran kecil tentang cara menjalani hidup. Menurut Ustadz Adi Hidayat dalam salah satu ceramahnya mengatakan bahwa, rasa pedas dari sambal bisa dianalogikan dengan ujian dan tantangan dalam hidup. Semakin pedas biasanya justru semakin dicari. Lidah kepanasan, keringat keluar, tapi tetap dinikmati. Kenapa? Karena ada sensasi nikmat yang datang setelah rasa sakit itu lewat.
Dari situ kita bisa menarik kesimpulan bahwa, rasa sakit bukan untuk dihindari, tapi diterima sebagai bagian dari proses tumbuh. Dari situ, kita belajar kuat, sabar, dan akhirnya bisa merasakan nikmat yang sesungguhnya.
Selain sehat dan banyak manfaat, sambal hadir di kehidupan kita sehari-hari yang mungkin jarang tahu dengan sejarahnya yang panjang untuk sampai ke Indonesia dan menjadi budaya di kalangan masyarakat. Sambal hadir untuk menjadi pengingat di hidup kita juga, bahwa rasa sakit akan berlalu setelah kita dengan berani menghadapinya.
Tinggalkan Balasan