Dari Kekunoan Hingga Kekinian

Membaca Simbol, Mencari Makna: “TAROT” dari Feast dan Spiritualitas dalam Budaya Digital

Avatar Dafid Ibrahim

Lagu “TAROT” dari Feast, band indie asal Indonesia. (Admin)

Feast kini makin eksis! Era digital seperti sekarang, kita tidak hanya hidup di dunia nyata kita juga hidup di dunia virtual. Dunia ini bukan hanya tempat berselancar di media sosial, tapi juga ruang di mana kita mengekspresikan diri, menciptakan budaya, dan bahkan mencari makna hidup. Salah satu contohnya bisa dilihat dari bagaimana kita menikmati musik, bukan lagi sekadar mendengarkan lagu, tapi menonton videonya, membaca komentar, hingga merasakan atmosfer yang dibangun dari layar ponsel.

Lagu “TAROT” dari Feast, band indie asal Indonesia, adalah contoh menarik bagaimana budaya digital bekerja. Video live performance lagu ini di YouTube bukan cuma sajian musik ia juga penuh simbol, warna, ekspresi, dan komentar penonton yang menyiratkan sesuatu yang lebih dalam: spiritualitas, keresahan, hingga kritik sosial.

Simbol dan Makna dalam Budaya Digital

Di video ini, kita melihat banyak elemen visual yang mencolok: kartu tarot, pencahayaan merah gelap, busana hitam, ekspresi wajah serius, hingga efek suara khas musik grunge. Semua ini tidak hadir secara kebetulan. Misalnya, kartu tarot bukan hanya alat ramalan, tapi simbol dari pencarian makna, spiritualitas, dan misteri hidup. Warna merah menyiratkan energi, bahaya, atau bahkan semangat perlawanan. Semua ini menjadi bagian dari tanda-tanda digital bahasa visual yang membentuk makna.

Apa yang membuat ini menarik adalah cara makna-makna ini dibaca oleh penonton. Di kolom komentar, banyak penonton menyebut performa ini sebagai “mistis,” “menghipnotis,” atau bahkan “seperti ritual.” Ini menunjukkan bahwa simbol-simbol tadi berhasil menyentuh lapisan emosional dan spiritual penonton, menciptakan pengalaman bersama yang lebih dari sekadar hiburan.

Dari Denotasi ke Mitos: Membaca Lewat Kacamata Barthes

Kalau saya harus meminjam teori semiotika Roland Barthes, tanda-tanda seperti ini punya makna berlapis. Di tingkat denotatif, kita hanya melihat band tampil di panggung dengan lampu merah dan atmosfer sakralitas yang kuat. Tapi di tingkat konotatif, semua itu berbicara tentang kecemasan, pencarian makna, hingga perlawanan terhadap kehidupan modern yang penuh tekanan.

Lebih jauh lagi, Barthes menyebut adanya mitos, yaitu makna budaya atau ideologi yang tampak wajar padahal sebenarnya konstruksi sosial. Dalam video “TAROT”, tarot tidak lagi sekadar alat ramalan ia menjadi simbol perlawanan terhadap dunia yang serba cepat, datar, dan penuh tekanan. Di tengah dunia digital yang penuh konten receh dan algoritma, Feast justru menghadirkan performa yang seperti mengajak audiens merenung, bertanya, dan mencari makna spiritual.

Kolom Komentar: Ruang Baru Membaca Makna

Kolom komentar pada platform seperti YouTube kini telah menjelma menjadi ruang baru bagi khalayak untuk membaca, menafsirkan, dan membentuk makna atas karya yang mereka konsumsi. Tidak hanya menjadi tempat untuk memberi respons spontan, kolom komentar turut menyajikan wacana-wacana kecil yang memperlihatkan cara audiens memahami dan memaknai karya musik dalam spektrum yang lebih luas baik secara musikal, personal, hingga emosional.

Dalam unggahan video musik .Feast, sejumlah komentar merefleksikan bagaimana penikmat musik tidak hanya menikmati karya sebagai produk seni, tetapi juga menempatkannya dalam ranah tafsir sosial dan emosional. Misalnya, komentar dari akun @aprofiq menyinggung perubahan struktur dalam band dan bagaimana hal itu diapresiasi oleh pendengar:

“Selalu seneng liat .feast yang ga ‘Baskara-centric’ terus-terusan. Semuanya deserve dapet spotlight. Feel nya emg beda dan ga bisa me-replace peran vokalis utama nya, tapi ya justru…”

Komentar ini merepresentasikan cara audiens membaca dinamika internal band—menariknya, tanpa harus bersandar pada informasi resmi dari band atau media. Di sini, kolom komentar menjadi arena resepsi alternatif, di mana publik membentuk diskursus kolektif mengenai arah artistik sebuah grup musik.

Lebih jauh lagi, kolom komentar juga membuka ruang untuk ekspresi emosi personal yang sangat mendalam, seperti yang ditunjukkan oleh akun @aguskurniawan9004:

“gua suka banget lagu ini, tapi dikehidupan nyata temen kecil gua jiwanya pada mati 😭”

Pernyataan ini menunjukkan bagaimana lagu tertentu dapat membangkitkan kenangan personal dan rasa duka mendalam. Musik bukan lagi sekadar hiburan, melainkan pintu masuk ke dalam pengalaman afektif yang kompleks. Dalam konteks ini, kolom komentar bukan hanya menjadi tempat untuk menyampaikan pujian atau kritik, tetapi juga menjadi wadah terapeutik tempat individu membagikan rasa kehilangan, trauma, atau nostalgia yang dibangkitkan oleh musik.

Komentar-komentar lain seperti:

“Selalu kerennn 🔥” (@Nabilaadzra6),
“kacawww kapann buat lagu baru lgi minn” (@wanzzamv758),
“love feast” (@rafiryan481), dan
“Kereeeeen” (@aditisptr272)

memperlihatkan bahwa kolom komentar juga tetap menjalankan fungsi dasarnya sebagai ruang ekspresi kekaguman yang spontan, cepat, dan tanpa pretensi. Namun, justru dari keberagaman respons inilah kita dapat membaca bagaimana suatu karya seni hidup dan terus bergerak melalui tafsir kolektif audiensnya.

Secara keseluruhan, kolom komentar menciptakan ekosistem makna yang dinamis. Ia menjadi ruang dialog terbuka yang mempertemukan rasa, tafsir, dan pengalaman ruang di mana makna tidak lagi hanya diproduksi oleh sang seniman, tetapi juga oleh publik yang mengalaminya.

Spiritualitas Baru dalam Dunia Digital

Yang menarik, bentuk spiritualitas yang muncul dalam video ini tidak lagi terikat pada agama formal. Ia hadir sebagai spiritualitas alternatif lebih cair, personal, dan estetis. Tarot, suasana ritual, pencahayaan yang dramatis semua dikemas secara artistik dan dikonsumsi melalui YouTube. Ini mencerminkan tren yang sedang berkembang di kalangan anak muda, mencari makna melalui seni, simbol, dan pengalaman digital, bukan melalui ceramah atau dogma

Hal ini sekaligus menjadi bentuk kritik sosial. Bahwa di tengah budaya yang sibuk mengejar viralitas dan monetisasi, masih ada ruang untuk ekspresi yang mendalam, reflektif, bahkan spiritual. Performansi ini jadi seperti “ritual kolektif” yang mengajak penonton berhenti sejenak dari hiruk-pikuk dan merenungkan sesuatu yang lebih besar.

Simbol, Musik, dan Kita

Video live “TAROT” oleh Feast bukan sekadar tontonan. Ia adalah jendela untuk melihat bagaimana generasi digital mengungkapkan diri, menyampaikan keresahan, dan mencari makna melalui media populer. Lewat simbol-simbol yang dikemas estetis, musik menjadi ruang kontemplasi, spiritualitas, bahkan perlawanan.

Di balik suara gitar dan lampu merah, tersembunyi suara generasi yang sedang mencari pegangan di tengah dunia yang serba cepat dan penuh ketidakpastian. Dan siapa tahu mungkin kamu juga pernah merasakannya, saat menonton sebuah video, lalu terdiam dan berpikir, “ini lebih dari sekadar lagu.”

Avatar Dafid Ibrahim

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *




Subscribe to our newsletter