Lebaran adalah hari raya yang dirayakan oleh umat Islam di seluruh dunia. Di desa, Lebaran memiliki makna yang lebih mendalam dengan tradisi yang lebih unik dan kental. Setelah melaksanakan salat Ied, umat Muslim di Indonesia biasanya melakukan tradisi silaturahmi. Namun, di beberapa wilayah atau tempat, terdapat kebiasaan setelah salat Ied mereka kembali berkumpul di masjid dengan membawa makanan untuk melaksanakan syukuran atau selametan. Tradisi ini dikenal dengan sebutan “ambengan” dalam budaya Jawa.
Tujuan dari kegiatan ini adalah agar masyarakat lebih mengingat nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT. Selain itu, tradisi ini juga bertujuan agar umat Muslim selalu bersyukur dan tetap menjalin silaturahmi dengan baik.
Dasar Agama dalam Perayaan Lebaran
Tradisi yang ada dalam perayaan Lebaran bukanlah tanpa dasar agama. Hal ini dapat dilihat dalam salah satu ayat Al-Qur’an yang menjelaskan makna Idul Fitri:
قُلْ بِفَضْلِ ٱللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِۦ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا۟ ۚ هُوَ خَيْرٌۭ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.’” (QS. Yunus: 58)
Tradisi seperti ini lebih sering dijalankan oleh masyarakat yang menganut Nahdlatul Ulama (NU), yang dikenal kuat dalam melestarikan tradisi keislaman berbasis budaya lokal.
Perbedaan Lebaran di Desa dan Kota
Lebaran di desa memiliki suasana yang berbeda dibandingkan dengan di kota. Perayaan di desa biasanya berlangsung lebih lama karena masyarakat melakukan kunjungan dari rumah ke rumah dalam jumlah yang cukup banyak. Sebelum berkunjung ke tetangga, masyarakat desa lebih dahulu mengunjungi orang tua dan sanak saudara. Inilah mengapa Lebaran di desa memiliki jangka waktu perayaan yang lebih lama dibandingkan dengan di kota.
Di desa juga terdapat makanan khas yang jarang ditemui di kota, seperti getuk dan tape. Selain itu, toleransi di desa sangat tinggi, di mana warga non-Muslim pun turut merayakan dan berkunjung ke rumah-rumah warga Muslim. Hal ini mencerminkan nilai-nilai kebersamaan dan toleransi yang sejalan dengan Pancasila.
Tradisi Mudik dan Sungkem dalam Budaya Jawa
Lebaran juga identik dengan tradisi mudik, di mana banyak warga yang tinggal di kota kembali ke kampung halaman mereka. Hal ini semakin memperkuat makna Lebaran di desa sebagai momen yang lebih bermakna dan berkesan dibandingkan di kota.
Dalam tradisi masyarakat Jawa, terdapat kebiasaan “sungkem”, yaitu anak atau pihak yang lebih muda meminta maaf kepada orang tua atau yang lebih tua. Sungkem dilakukan dengan penuh adab dan tata krama yang baik. Biasanya, dalam keluarga Jawa, ketika meminta maaf, seseorang akan menggunakan bahasa Jawa halus atau “kromo” sebagai bentuk penghormatan. Tradisi serupa juga ditemukan di berbagai suku di Indonesia, meskipun dengan cara yang sedikit berbeda.
Tantangan dan Perubahan Kebiasaan Generasi Muda
Di era modern ini, terdapat kebiasaan-kebiasaan baru yang bertolak belakang dengan makna Idul Fitri itu sendiri. Banyak anak muda yang lebih memilih menghabiskan waktu Lebaran dengan bepergian ke tempat-tempat hiburan seperti taman dan kafe, daripada mendahulukan silaturahmi kepada tokoh agama, tetangga, atau guru-guru yang pernah berjasa bagi mereka.
Kebiasaan seperti ini dapat berdampak buruk bagi generasi muda Indonesia, baik secara pribadi, lingkungan, maupun keluarga. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami dan melestarikan makna sejati dari Idul Fitri agar nilai-nilai kebersamaan dan silaturahmi tetap terjaga.
BACA JUGA:
Tradisi Janengan yang Tetap Eksis Meskipun Bukan di Daerah Asalnya
Tradisi Unik di Desa Saleh Agung Saat Malam Takbiran
Di Desa Saleh Agung, Sumatera Selatan, Idul Fitri menjadi momen yang sangat spesial. Salah satu tradisi yang masih berlangsung hingga sekarang adalah pembuatan kerajinan tangan berupa maskot-maskot besar yang melambangkan kebahagiaan menyambut hari kemenangan. Kegiatan ini dilakukan pada malam takbiran sebelum pagi hari pelaksanaan salat Id. Setelah maskot-maskot selesai dibuat, masyarakat akan berkeliling desa atau kecamatan sambil mengumandangkan takbir sebagai bentuk syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah SWT.
Suasana takbiran yang meriah di setiap sudut desa memberikan kesan yang sangat spesial bagi masyarakat. Hal ini menjadi bukti betapa kuatnya ikatan sosial dan kebersamaan dalam merayakan Idul Fitri di desa.
Idul Fitri bukan sekadar perayaan selesainya bulan Ramadan, tetapi juga menjadi simbol kemenangan dalam melawan hawa nafsu dan meningkatkan kualitas diri. Lebaran di desa memiliki keunikan tersendiri dengan tradisi yang kaya akan makna, mulai dari silaturahmi, sungkem, hingga berbagai kebiasaan unik lainnya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk tetap menjaga dan melestarikan budaya Lebaran yang sarat dengan nilai-nilai keagamaan, sosial, dan kebersamaan.
Tinggalkan Balasan