Dari Kekunoan Hingga Kekinian

Ulasan Film “Under the Moonlight”: Ketika Cahaya Bulan Menjadi Saksi Pergulatan Batin

Avatar Exlima Ramadani

workshop dan screening film dokumenter Under The Moonlight di Kabupaten Jember (Sumber Foto: Pribadi)

Siapa yang belum tahu Tonny Trimarsanto? Sutradara yang konsisten dalam bidang dokumenter. Pekan lalu sutradara Tonny Trimarsanto menggelar kegiatan workshop dan screening film dokumenter Under The Moonlight di Kabupaten Jember.

Apa jadinya ketika sebuah film dokumenter berani menyoroti sisi lain kehidupan yang selama ini jarang dibicarakan? Under the Moonlight, karya Tonny Trimarsanto, menjawabnya dengan cara yang sederhana namun penuh makna.

Film yang dirilis pada tahun 2023 ini hadir dengan tema yang jarang disentuh di layar lebar Indonesia, yaitu kehidupan transpuan di sebuah pondok pesantren waria di Yogyakarta. Yang membuat film ini semakin istimewa adalah proses produksinya yang memakan waktu hingga tujuh tahun. Sebuah dedikasi panjang yang menunjukkan keseriusan Trimarsanto dalam menggali kisah, membangun kedekatan dengan para subjeknya, sekaligus menghadirkan realitas dengan kejujuran yang utuh. Kerja keras tersebut tidak sia-sia.

Under the Moonlight berhasil meraih Piala Citra 2024, penghargaan paling bergengsi di dunia perfilman Indonesia, sebuah capaian yang tidak hanya membanggakan, tetapi juga menandai keberanian film dokumenter Indonesia dalam menyuarakan isu yang kerap dianggap tabu.

Sinopsis Singkat

Under the Moonlight membawa penonton masuk ke sebuah dunia yang mungkin tidak banyak diketahui orang, pondok pesantren waria di Yogyakarta. Di tempat ini, para transpuan yang seringkali menghadapi diskriminasi dan penolakan dari masyarakat luas justru menemukan rumah, ruang aman di mana mereka dapat beribadah, belajar mengaji, memasak, hingga menjalani kehidupan sehari-hari tanpa rasa takut.

Film ini tidak sekadar menampilkan keseharian mereka, tetapi juga memotret kontras yang mencolok. Kehidupan di luar pondok yang penuh stigma, pandangan sinis, bahkan kekerasan, berhadapan dengan kehidupan di dalam pesantren yang hangat, penuh canda, dan menenangkan. Trimarsanto menggambarkan suasana itu dengan sederhana, kadang mengerikan ketika diskriminasi hadir dalam cerita mereka, namun juga membahagiakan ketika kamera merekam tawa, doa, dan kebersamaan yang tulus.

Tema

Isu utama Under the Moonlight adalah diskriminasi terhadap transpuan. Namun, film ini tidak memilih dramatisasi berlebihan. Trimarsanto membiarkan narasi berkembang secara natural, agar penonton melihat sendiri bahwa transpuan adalah manusia biasa dengan kebutuhan, harapan, dan hak yang sama. Karena dokumenter, yang tampil di layar adalah kisah nyata. Justru di situlah daya tariknya. Tidak ada naskah, tidak ada akting artifisial, hanya kehidupan sehari-hari yang jujur.

Keaslian inilah yang membuat film terasa intim, penonton seakan hadir di tengah mereka, ikut menyaksikan bagaimana tawa kecil bisa berarti begitu besar di tengah diskriminasi yang mencekam. Sinematografi film yang sederhana. Kamera tidak sibuk mencari sudut artistik yang berlebihan, melainkan menempel erat pada realitas. Warna, cahaya, dan suara dibiarkan apa adanya. Gaya ini membuat film terasa sangat natural. Tidak ada kesan โ€œdibuat-buat,โ€ sehingga pesan film justru semakin kuat.

Ritme dan Emosi

Namun, pilihan gaya natural juga membawa konsekuensi. Dari segi ritme, film ini cenderung datar. Penonton yang terbiasa dengan alur dramatis mungkin merasa kurang terikat secara emosional. Tidak ada klimaks besar atau twist mengejutkan. Dari awal hingga akhir, film berjalan tenang, seperti kehidupan itu sendiri. Kekuatan dan kelemahan hadir bersamaan di sini, apa adanya, tapi juga terasa hambar.

Kelebihan

Pada sesi diskusi setelah pemutaran film selesai saya sedikit bertanya kepada sutradara Tonny. โ€œSebagai seorang Director film tersebut, bagaimana jika penonton justru memiliki pandangan yang jauh berbeda dengan harapan anda membuat film ini? Padahal film ini anda fokuskan pada hak sesama manusia.โ€

BACA JUGA: Fenomena Pop: Antara Inovasi dan Kemandekan Kreatifitas

โ€œTidak masalah mbak, saya menerima apapun pandangan teman-teman terhadap film yang telah saya buat, yang perlu saya sampaikan, bagaimana ibadah mereka itu adalah urusan mereka dengan Tuhan. Sebagaimana kita manusia adalah mendapat hak yang sama dan saling menghargai,โ€ ujar Sutradara Tonny.

Kekuatan terbesar Under the Moonlight adalah keberaniannya. Film ini membuka ruang percakapan tentang isu yang selama ini dianggap tabu. Di Indonesia, topik LGBT masih kerap dipenuhi penolakan dan kontroversi.

Namun Trimarsanto memilih untuk mengangkatnya dengan empati. Film ini juga membuka jalan baru bagi dunia dokumenter Indonesia. Masih jarang dokumenter sosial mendapat sorotan besar, apalagi hingga memenangkan Piala Citra. Keberhasilan Under the Moonlight membuktikan bahwa dokumenter bukan hanya โ€œpengisi rak festival,โ€ tetapi juga bisa menjadi karya penting yang memengaruhi wacana publik.

Kekurangan

Meski memiliki kekuatan pada pesan dan keberanian tema, film ini masih menyisakan kelemahan. Ritmenya yang datar membuat film terasa kurang emosional. Penonton tidak diajak mengalami naik-turun intensitas, sehingga kedekatan emosional tidak sepenuhnya terbentuk.

Beberapa momen harusnya dibuat lebih dalam untuk memberikan kesan perasaan yang lebih kuat. Namun, bagi penonton yang menyukai gaya dokumenter observasional, kelemahan ini juga mampu menjadi kelebihan. Dengan tidak mengarahkan emosi, film memberi ruang pada penonton untuk merasakan sendiri tanpa โ€œdijebakโ€ dramatika buatan.

Penerimaan Publik dan Dampak Sosial

Kemenangan Under the Moonlight di ajang Piala Citra tentu membawa dampak besar. Ia tidak hanya memberi pengakuan pada karya Trimarsanto, tetapi juga membuka ruang diskusi publik tentang transpuan. Walau tidak semua orang akan setuju dengan narasi yang dibawa, film ini telah berhasil memaksa masyarakat untuk setidaknya mendengar dan melihat mereka yang sering disingkirkan.

Film ini juga memperlihatkan bagaimana seni bisa menjadi jembatan untuk isu-isu yang sulit dibicarakan. Melalui dokumenter, cerita transpuan di pesantren menjadi lebih mudah diterima, karena hadir apa adanya, tanpa paksaan.

Dampaknya, film ini tidak hanya berhenti sebagai tontonan, tetapi juga percakapan yang lebih luas di ruang publik. Film ini memperluas pandangan tentang realitas sosial di Indonesia. Karena kadang, justru di bawah cahaya bulan di ruang-ruang yang sederhana kita bisa melihat kebenaran yang paling terang.

Avatar Exlima Ramadani

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *





Subscribe to our newsletter