Dari Kekunoan Hingga Kekinian

The Sore Effect: Membedah Sisi Psikologis Film Sore

Avatar Dafid Ibrahim

Film โ€œSore: Istri dari Masa Depanโ€ telah meninggalkan jejak hangat di hati jutaan penontonnya (ilustrasi: detik.com)

Film โ€œSore: Istri dari Masa Depanโ€ telah meninggalkan jejak hangat di hati jutaan penontonnya. Di permukaan, ini adalah kisah romansa fantasi yang manis. Namun, jika kita menyelam lebih dalam, film ini adalah sebuah cermin sebuah potret mendalam tentang luka, penerimaan, dan penyembuhan. Ia bukan hanya kisah cinta biasa, ia menggambarkan bentuk kasih sayang yang paling murni, yang selaras dengan prinsip psikologi humanistik Carl Rogers.

Jonathan: Potret Pria yang Menyimpan Luka

Banyak yang bisa bersimpati pada Jonathan (Dion Wiyoko). Namun, film ini menyorot sebuah sisi yang jarang sekali diakui secara terbuka, sisi laki-laki yang terus bekerja, menumpuk luka, dan memendam semuanya sendirian. Semakin ia berusaha tegar, semakin ia jauh dari dirinya sendiri. Kehidupannya yang dingin dan tatapan matanya yang kosong adalah manifestasi dari terputusnya ia dari jati diri aslinya.

Dalam psikologi, Carl Rogers menyebut kondisi ini Incongruence sebuah jurang antara siapa kita sebenarnya dan topeng yang kita kenakan setiap hari. Jonathan adalah jiwa yang tersesat, yang di balik kesibukannya, sebenarnya hanya merindukan satu hal, sebuah pelukan hangat.

Kekuatan Cinta Tanpa Syarat dari Sosok Sore

Lalu, Sore (Sheila Dara Aisha) datang. Ia adalah sebuah anomali, sebuah keajaiban yang kehadirannya bertentangan langsung dengan kebencian dan kekosongan yang Jonathan rasakan. Sore adalah manifestasi hidup dari konsep Rogers yang paling kuat, Unconditional Positive Regard (UPR), atau cinta tanpa syarat. Ia datang tanpa penghakiman. Melalui tatapan dan tindakannya, Sore berkata

“Jika aku harus hidup sepuluh ribu kali, kuharap aku akan selalu memilihmu.”

Cinta yang Sore berikan bukanlah cinta pasif. Setiap pengorbanan fisik yang ia alami adalah simbol dari energi cinta yang ia curahkan. UPR-nya bukanlah teori, melainkan sebuah selimut tebal berupa perhatian dan kepercayaan yang secara perlahan mulai menghangatkan kembali jiwa Jonathan yang membeku.

Perjuangan Menuju Aktualisasi Diri

Dihadapkan pada penerimaan setulus itu, Jonathan tidak punya pilihan selain mulai melihat ke dalam dirinya. Setiap langkah kecil yang ia ambil mulai dari memperbaiki pola hidup hingga kembali menemukan gairahnya adalah upayanya menuju aktualisasi diri. Ia berjuang untuk menutup celah, untuk menjadi pria yang Sore lihat di dalam dirinya.

BACA JUGA: Autopsi Teror: Membedah Luka Batin dalam Horor Bring Her Back

Batas waktu yang dimiliki Sore menambah lapisan urgensi yang romantis. Ini bukan lagi sekadar perubahan gaya hidup; ini adalah perjuangan melawan waktu untuk membuktikan bahwa cintanya tulus dan perubahannya nyata.

Puncak Romansa Adalah Penyembuhan

Pada akhirnya, “Sore” mengajarkan kita bahwa puncak romansa bukanlah akhir yang bahagia selamanya. Puncak romansa adalah ketika sebuah cinta berhasil menjadi katalisator bagi pertumbuhan jiwa. Ketika konsep Unconditional Positive Regard dari satu orang berhasil mendorong orang lain menuju aktualisasi diri menjadi versi terbaik dari dirinya.

Film ini adalah pengingat lembut bagi kita semua. Bahwa di balik sosok paling kuat dan paling pendiam sekalipun, mungkin ada luka yang tersembunyi. Dan bentuk cinta yang paling hebat bukanlah yang menuntut kesempurnaan, melainkan yang berani melihat luka itu, menerimanya, dan dengan sabar menemaninya hingga sembuh.

Avatar Dafid Ibrahim

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *





Subscribe to our newsletter