Siapa yang nggak suka film horor? Genre ini punya daya tarik unik: menciptakan ketegangan, memacu adrenalin, sekaligus memberikan ruang untuk eksplorasi kisah manusia dalam menghadapi kegelapan. Tapi belakangan, film horor Indonesia seolah terjebak di lingkaran monoton. Jumpscare usang, ritual pengusiran setan oleh tokoh agama, dan resolusi yang ujung-ujungnya agama lagi.
Masalahnya lebih dalam dari sekadar “cerita yang membosankan”. Sebagai negara dengan kekayaan budaya dan tradisi lisan luar biasa, Indonesia seharusnya punya potensi besar untuk menghadirkan narasi horor yang segar. Namun, sineas Indonesia tampaknya belum cukup berani atau terampil dalam menggali kedalaman itu.
Folklore: Sumber Inspirasi yang Terabaikan
Jika bicara soal horor, salah satu cabang ilmu yang sangat relevan adalah folklore atau tradisi lisan. Anak-anak soshum (sosial humaniora) yang mendalami kajian ini tahu betul bahwa folklore bukan sekadar cerita hantu yang diceritakan turun-temurun, tetapi juga representasi sosial, politik, dan spiritual masyarakat.
Sayangnya, sinema horor Indonesia sering gagal menerjemahkan kekayaan folklore ini ke dalam cerita yang kompleks dan menarik. Banyak sineas hanya mengambil permukaannya saja seperti roh-roh jahat, dukun, dan doa sebagai penyelesaian. Tradisi mistik Indonesia yang kaya malah direduksi menjadi elemen dekoratif, bukan bagian integral dari narasi.
Sebagai contoh, folklore tidak hanya berbicara soal “siapa yang dikutuk” atau “siapa yang meneror,” tetapi juga kenapa cerita itu muncul. Ada hubungan erat antara cerita-cerita mistik dengan perubahan sosial, relasi kekuasaan, bahkan konflik ekologis. Jika sineas horor Indonesia mau sedikit belajar dari anak soshum, mereka bisa menggali lapisan-lapisan ini untuk menciptakan film yang lebih cerdas dan menohok.
Mengapa Film Horor Indonesia Mandek?
Pendekatan Praktis tapi Dangkal Produser film cenderung memilih jalan pintas. Mereka tahu bahwa memasukkan tokoh agama sebagai solusi adalah langkah aman tidak kontroversial, mudah dipahami, dan punya daya tarik luas. Tapi ini menghasilkan cerita yang dangkal. Doa dan air suci bukan lagi elemen yang mengundang rasa takut, melainkan sekadar alat resolusi yang membosankan.
Pentingnya pembuat film memahami Folklore bukan sekadar cerita menyeramkan; ia adalah refleksi dari ketakutan, harapan, dan konflik masyarakat. Misalnya, cerita tentang roh gentayangan sering muncul dalam masyarakat yang menghadapi krisis moral atau ketidakadilan.
Jika sineas benar-benar memahami konteks ini, mereka bisa menghadirkan horor yang tidak hanya menyeramkan, tetapi juga relevan secara sosial.
Film horor Indonesia sering mengikuti pola sukses sebelumnya tanpa berani mengambil risiko. Narasi tentang dukun, santet, dan pengusiran setan memang terbukti laku, tetapi lama-lama menjadi klise. Formula ini juga menunjukkan minimnya eksplorasi terhadap tema yang lebih luas dan segar.
Banyak sineas horor belum melihat pentingnya melibatkan akademisi, terutama dalam bidang antropologi, sosiologi, atau kajian folklore. Kolaborasi ini bisa membuka wawasan baru tentang cara menarasikan horor yang tidak hanya berakar pada tradisi, tetapi juga menantang dan menggugah penonton.
Horor Gak Melulu Bahas Roh Gentayangan Banyak Sub Genre Horor Lainnya
Folklore tidak hanya memberikan cerita, tetapi juga struktur narasi yang unik. Misalnya, banyak tradisi lisan Indonesia menggunakan elemen ambiguitas: cerita tidak selalu berakhir dengan jelas, dan ada ruang untuk interpretasi.
Elemen ini bisa menjadi inspirasi untuk menghadirkan horor yang lebih kompleks dan sulit ditebak. Walaupun sebenernya sudah mulai banyak yang mengangkat tema folklore ini, tapi ya lagi-lagi citraan โberdasarkan kisah nyataโ padahal yaa tidak selalu begitu juga.
Horor tidak selalu tentang setan atau roh gentayangan, tetapi dapat mengeksplor tema lain seperti perubahan sosial, trauma kolektif, dan bisa jadi hubungan manusia dengan alam.
Misalnya, cerita tentang eksploitasi sumber daya alam yang membawa “kutukan” gaib bisa menjadi kritik sosial yang tajam sekaligus menyeramkan. Jangan hanya mengandalkan doa atau ritual sebagai solusi.
Biarkan konflik dalam film horor mencerminkan dilema moral atau bahkan ketidakpastian yang sulit dipecahkan. Penonton Indonesia sudah semakin cerdas dan siap untuk menerima narasi yang lebih menantang.
Alangkah baiknya juga sineas horor perlu membuka diri untuk belajar dari para ahli dan komunitas yang memiliki pemahaman mendalam tentang tradisi lokal. Ini tidak hanya memperkaya narasi, tetapi juga memberi legitimasi pada cerita yang diangkat agar tidak terkesan klise.
Horor yang Tidak Lagi Klise
Jika ingin belajar dari film horor internasional, sineas Indonesia bisa melihat bagaimana sutradara seperti Ari Aster (Hereditary, Midsommar) atau Robert Eggers (The Witch) menciptakan horor yang tidak hanya menyeramkan, tetapi juga sarat makna. Mereka menggali akar tradisi budaya dan ketakutan manusia, lalu menyajikannya dengan cara yang segar dan penuh kedalaman.
Indonesia punya potensi yang sama bahkan lebih besar. Dengan beragamnya tradisi dan folklore yang belum tersentuh, kita bisa menciptakan horor yang unik dan mendunia. Akan tetapi hal tersebut perlu gerakan baru dan perlu melibatkan beberapa kalangan dari rumpun ilmu seperti sosial humaniora.
Pada akhirnya, horor yang bagus bukan hanya soal menakut-nakuti, tetapi juga soal menyampaikan sesuatu yang penting. Jadi, kapan sineas horor Indonesia akan berhenti bermain aman dan mulai menciptakan karya yang benar-benar mengguncang? Mari kita tunggu, sambil berharap popcorn kita nggak basi duluan.
Tinggalkan Balasan