Pernahkah kamu merasa hidupmu berjalan begitu cepat? Sibuk menimba ilmu, mencari nafkah, mengejar target, tapi di satu titik justru membuatmu hampa? Itulah inti dari cerita yang diuraikan oleh Ika Natassa lewat novel barunya berjudul Satine. Penulis yang terkenal memiliki gaya urban dan karakter perempuan yang kuat kembali menyapa pembaca dengan kisah perempuan sukses dalam karier, tapi di baliknya terdapat rasa kehilangan dirinya sendiri.
Ika Natassa memang punya keahlian yang berbeda dengan penulis lainnya dengan cerita cinta yang manis. Ia memiliki keahlian menulis kisah yang relevan dengan kehidupan modern, seperti cinta yang rumit, realistis, penuh dilema khas kehidupan masyarakat masa kini. Novel Satine membawa kita menyelami kehidupan perempuan karier yang hidupnya nyaris tampak sangat sempurna: produktif, penuh dengan prestasi, namun di balik semua pencapaiannya terdapat kesepian dan rasa kehilangan makna. Dunia Satine adalah dunia yang amat rumit, dikelilingi dengan kata lembur, notifikasi email, dan pulang subuh yang menemani malamnya.
Novel Satine memiliki gaya bahasa yang ringan tapi tajam. Dialognya terasa natural, seperti obrolan sehari-hari di sebuah kantor atau kafe. Bahasa Indonesia yang diselipi dengan bahasa Inggris menggambarkan realitas masyarakat urban masa kini. Meskipun bagi sebagian pembaca mungkin merasa โterlalu Jakartaโ, di situlah letak keaslian dan kejujuran dari penulis. Ia menulis sesuai dengan apa adanya di dunia yang ia kenal, dan novel terasa hidup sehingga membuat pembaca ikut menyelami setiap bagian ceritanya.
Bukan hanya soal kisah cinta yang dibahas, tapi lebih dari itu novel Satine juga menceritakan perjalanan batin seseorang yang mencari arti bahagia. Kesuksesan dan pengakuan tokoh digambarkan menyadari ada ruang kosong dalam dirinya yang tidak bisa diisi dengan target dan uang. Bisa dibilang haus akan cinta, tapi juga memiliki ketakutan kehilangan kendali pada dirinya. Menginginkan cinta, tapi ego dan ambisinya sering menahannya untuk tidak membuka diri.
Dari kacamata teori psikoanalisis Sigmund Freud, Satine merupakan contoh nyata dari manusia modern yang hidupnya dalam benturan tiga sisi kepribadian, yakni id, ego, dan superego. Id yang muncul saat ia merasa kesepian dan ingin dicintai, ego membuatnya rasional dan fokus pada pekerjaannya, sedangkan superego mulai berbicara ketika ia menyadari bahwa hidup tanpa cinta hanyalah rutinitas kosong. Ika Natassa membawa pembaca menyelami konflik batin yang sangat manusiawi tentang perasaan yang ditahan, mengabaikan cinta, [dan] kesadaran bahwa hidup tidak bisa dijalin jika hanya dengan logika saja.
Novel Satine menarik karena memiliki kenyataan kisah yang begitu dekat dengan realitas manusia masa kini. Banyak orang mungkin melihat diri mereka menjadi sosok Satine yang sibuk, mandiri, tapi kesepian. Novel ini terasa seperti cermin, memantulkan wajah kita sendiri di antara ambisi, rasa takut, dan kerinduan untuk benar-benar hidup. Ika Natassa seolah ingin berkata, โKamu boleh ambisius, tapi jangan lupa bahagia, hidup cuma satu kali.โ Pesan yang sangat sederhana [namun] kuat karena disampaikan lewat narasi yang tulus dan penuh emosional.
Satine bukan hanya sekadar narasi novel saja, tapi mengandung pesan introspektif tentang keseimbangan hidup, makna cinta, dan pentingnya berdamai dengan diri sendiri. Novel ini memiliki keberanian mengangkat isu hubungan tanpa status yang sangat relevan dengan fenomena hubungan masyarakat modern, di mana komitmen sering diabaikan karena ketakutan pada suatu ikatan, dengan menguraikan dengan wajar dan tidak menghakimi.
Gaya bahasa yang ringan, komunikatif, dan sangat kontekstual dengan kehidupan masyarakat urban Jakarta. Menggambarkan konflik batin dengan pendekatan psikoanalisis yang halus namun tajam; tanpa menyebutkan teori Freud secara eksplisit, ia berhasil menampilkan pergeseran antara id, ego, dan superego dalam diri tokoh Satine. Menghadirkan visual dan emosional yang kuat tanpa harus bertele-tele dan membangun pesan moral dengan pendekatan reflektif, memberikan pembaca mengambil kesimpulan sendiri dari perjalanan tokoh Satine.
Novel Satine juga punya kekurangan. Penceritaan yang selalu diuraikan dengan gaya seperti orang curhat, pembaca seolah-olah menjadi pendengar tokoh Satine dan Ash bercerita apa yang mereka rasakan. Yang menjadi curhatan adalah dialog antara keduanya yang menjadi acuan, sehingga pembaca akan merasa kebingungan. Tokoh pendukung yang bernama Ash terasa belum tergali sepenuhnya, seolah-olah hadir hanya untuk mengimbangi saja, sehingga hubungan Satine dan Ash kehilangan kedalaman psikologisnya yang seharusnya bisa memperkaya dinamika cerita. Ruang eksplorasi batin terkadang justru terasa terlalu cepat dan dangkal. Novel Satine memiliki penceritaan yang cenderung datar dan pembagian bab yang kurang jelas.
BACA JUGA: Maaf yang Terlambat, Cinta yang Tak Pernah Padam: Resensi Novel Maaf Untuk Papa Karya Ria Ricis
Alur cerita terasa mengalir begitu saja tanpa adanya jeda yang membantu pembaca memahami transisi waktu atau perubahan suasana. Hal tersebut menyebabkan pembaca harus beradaptasi sendiri untuk menandai konflik yang terjadi. Alur yang terlalu linier juga membuat beberapa bagian terkesan monoton, terutama saat menggambarkan rutinitas kerja Satine yang berulang-ulang. Mungkin memang dimaksudkan untuk menggambarkan kejenuhan hidup tokoh, tapi bagi sebagian pembaca justru terasa membosankan.
Gaya penceritaan hampir seluruhnya dibangun dengan sudut pandang datar dan ritme yang stabil, tanpa adanya eksperimen gaya seperti kilas balik yang tajam, monolog batin yang intens, atau perubahan sudut pandang yang bisa memperdalam pengalaman emosionalnya. Padahal, tema besarnya adalah kesepian dan pencarian makna hidup, sehingga variasi teknik naratif seperti itu bisa memberikan warna dan kedalaman yang lebih kuat.
Secara keseluruhan, kekurangan dalam narasi novel Satine bukan berarti mengurangi nilai tematiknya, tapi justru menunjukkan bahwa novel ini kuat di sisi gagasan dan refleksi sosial daripada aspek struktur dan teknik karakter. Dengan keseimbangan gaya bahasa, novel Satine berpotensi menjadi karya yang tidak hanya emosional, tetapi juga rapi secara teknis dan lebih mudah diakses oleh kalangan pembaca.
Novel Satine karya Ika Natassa bukan sekadar kisah cinta atau cerita tentang perempuan karier sukses. Novel ini adalah cermin kehidupan modern: ambisius, sibuk, tapi kadang kesepian dan kehilangan makna. Lewat tokoh Satine, pembaca diajak menyadari pentingnya keseimbangan antara pekerjaan, cinta, dan kebahagiaan. Meskipun ada kekurangan teknis seperti alur yang datar dan tokoh pendukung yang kurang tergali, kekuatan emosional dan relevansi cerita membuat Satine tetap menyentuh. Pesan yang tersirat jelas: sukses materi itu penting, tapi kebahagiaan hati jauh lebih berharga. Novel ini mengingatkan kita untuk tidak hanya mengejar target, tapi juga menemukan waktu untuk mencintai, merasakan, dan menikmati hidup sepenuhnya.







Tinggalkan Balasan