Media sosial saat ini dipenuhi dengan beragam kritikan dan masukan yang ditujukan kepada pemerintah mengenai program Makanan Bergizi Gratis (MBG). Perbincangan ini semakin tajam mengingat maraknya kasus keracunan yang dialami para siswa usai mengonsumsi makanan dari program tersebut. Namun, di tengah berbagai isu yang muncul, program MBG masih terus berjalan.
Selain protes akibat kasus keracunan, kritik juga datang dari para siswa yang mengeluhkan menu MBG yang terkesan membosankan. Beberapa video yang viral di media sosial menjadi bukti nyata dari respons para siswa ini:
- Dalam video yang diunggah oleh akun TikTok @seventhory (23/9), sekelompok siswi SMA terlihat mengumpulkan menu tahu goreng dari jatah MBG satu kelas. Mereka merasa menu tahu itu hambar dan tidak enak, sehingga berinisiatif memasaknya kembali dengan memberikan isian.
- Video lain dari akun @Inilah.com (30/9) menunjukkan sejumlah siswa di SMA Negeri 9 Tasikmalaya yang juga mengolah ulang menu MBG yang mereka terima. Kegiatan ini dilakukan untuk menyesuaikan cita rasa makanan dengan selera mereka.
- Serupa dengan itu, video dari akun @XII Kuliner (16/9) memperlihatkan sekelompok siswi yang mengumpulkan sisa menu MBG. โDaripada nggak kemakan, lebih baik dibagikan,โ ucap salah seorang siswi dalam video tersebut.
Dari berbagai reaksi ini, sebagian siswa menilai bahwa pemberian menu MBG terkesan asal-asalan dan tidak menyesuaikan dengan selera anak sekolah saat ini.
Tujuan Program vs. Realita di Lapangan
Padahal, rancangan program MBG ditujukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan melakukan penguatan gizi terhadap anak sekolah. Tentunya, setiap menu yang disajikan telah melewati prosedur yang cukup ketat untuk memastikan standar kelayakan dan mutu makanan.
Menu yang dihidangkan harus lengkap dan sesuai dengan perhitungan gizi yang telah dikeluarkan oleh Badan Gizi Nasional (BGN). Komposisinya harus mencakup:
- Karbohidrat: beras, ubi, jagung, atau mie.
- Protein hewani dan nabati: ayam, ikan, telur, tempe, dan tahu.
- Sayuran dan buah-buahan lokal.
Program ini tidak hanya bertujuan membuat siswa kenyang, tetapi juga memenuhi standar gizi yang ketat. Namun, standar yang telah disusun secara rinci ini menjadi sia-sia melihat ulah para siswa yang menganggap menu MBG membosankan dan berakhir memasaknya kembali dengan campuran bahan makanan di luar kebutuhan gizi yang telah ditentukan.
BACA JUGA: Sambal, Si Pelengkap Utama Meja Makan yang Memiliki Sejarah Tak Terduga
Analisis Ahli Gizi dan Kendala Anggaran
Menurut ahli gizi Universitas Gadjah Mada (UGM), Toto Sudargo, yang dikutip melalui Jurnal Ilmiah Mahasiswa (2/4/2025), porsi MBG memiliki ruang anggaran yang cukup besar. Namun, jika tidak diimbangi dengan manajemen yang baik, kebijakan ini akan menjadi program yang sia-sia.
Kita ingat kembali, anggaran MBG pada satu tahun lalu adalah Rp 15.000 per porsi, yang kemudian dipangkas menjadi Rp 10.000 per porsi. Menanggapi pemangkasan anggaran ini, dr. Luciana, seorang spesialis gizi klinik lulusan Universitas Indonesia (UI), menjelaskan bahwa kebutuhan gizi anak bervariasi. Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2019, kebutuhan kalori anak adalah sebagai berikut:
- Usia 7-9 tahun: ~1.650 kkal/hari
- Usia 10-12 tahun: ~1.900-2.000 kkal/hari
- Usia 13-18 tahun: ~2.100-2.650 kkal/hari
Menurut Luciana, variasi kebutuhan gizi ini dapat disesuaikan dengan jenjang pendidikan. Toto Sudargo menambahkan contoh, anggaran untuk anak SD bisa saja cukup dengan Rp 5.000 hingga Rp 7.500 per porsi, mengingat porsi mereka lebih kecil dibandingkan siswa SMP dan SMA/SMK. Sisa anggaran tersebut kemudian dapat dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan gizi siswa di jenjang yang lebih tinggi.
Evaluasi dan Jalan Tengah
Dengan anggaran yang terbatas, keluhan dari pelajar mulai dari kurangnya lauk, porsi yang kecil, hingga tidak adanya buah sangat mungkin terjadi. Hal ini harus menjadi bahan evaluasi serius bagi para pelaksana program MBG.
Namun, di sisi lain, para pelajar juga harus sadar bahwa standar utama MBG adalah menu yang sehat dan bergizi. Penilaian “enak” atau “tidak enak” adalah soal selera yang subjektif. Istilah “mendaur ulang” menu MBG dengan memasaknya kembali bukanlah sikap yang dapat dibenarkan karena berisiko merusak komposisi gizi yang sudah dirancang.
Kita harus kembali melihat tujuan utama dari program ini: tidak hanya sekadar mengenyangkan, tetapi juga untuk mendukung konsentrasi belajar para siswa dan menumbuhkan pola makan yang sehat. Kualitas menu MBG pada akhirnya ditetapkan dengan memperhitungkan stok bahan pangan lokal, kemudahan pengolahan, kesesuaian dengan lidah anak secara umum, serta estimasi biaya, terutama karena program ini menjangkau hingga ke pelosok negeri.
Tinggalkan Balasan