Jika menyinggung sejarah Kabupaten Jember, umumnya bayangan banyak orang langsung tertuju pada masa perkebunan dan kolonial yang memang meninggalkan jejak signifikan. Padahal, wilayah Jember sejatinya menyimpan tinggalan sejarah yang jauh lebih kaya dan berlapis, mulai dari jejak peradaban praaksara, bukti-bukti kebudayaan Hindu-Buddha, hingga peninggalan kolonial yang beragam. Setiap periode memiliki ciri khas dan kontribusi penting dalam membentuk identitas Jember saat ini. Sayangnya, kekayaan sejarah yang begitu luas tersebut masih kerap luput dari perhatian masyarakat, sehingga diperlukan upaya pelestarian, penelitian, dan edukasi yang lebih intensif agar warisan berharga ini tidak hilang ditelan waktu.
Jember Bukan Hanya tentang Pandhalungan
Beberapa pihak menyebut Kabupaten Jember sebagai Kota Pandhalungan, istilah Pandalungan merujuk pada lahirnya sebuah kebudayaan baru hasil perpaduan dari berbagai unsur budaya, yang di Jember sering dikaitkan dengan karakter multikultural masyarakatnya. Namun, kemunculan istilah ini sebenarnya cukup disayangkan, sebab akar penggabungan kebudayaan tersebut berawal dari kebutuhan tenaga kerja untuk kepentingan industri kolonial Belanda. Kekurangan pekerja kala itu mendorong pejabat kolonial mendatangkan penduduk dari luar Jember, terutama etnis Madura dan masyarakat Jawa Timur bagian barat (wilayah Mataraman), serta sebagian kecil dari Banyuwangi.
Klaim bahwa Jember layak disebut kota Pandalungan sesungguhnya tidak sepenuhnya tepat. Jika julukan itu hanya didasarkan pada fakta kemajemukan masyarakat, maka banyak daerah lain yang lebih pantas mendapat sebutan serupa. Pandalungan sejatinya bukan sekadar percampuran kesenian atau bahasa, tetapi mencakup penyatuan seluruh aspek kebudayaan dalam satu wadah (dhalung) hingga benar-benar menjadi kesatuan utuh. Kenyataannya, proses penyatuan semacam itu di Jember belum sepenuhnya terwujud. Oleh karena itu, gagasan Pandalungan yang berkembang beberapa dekade terakhir jelas kurang memahami konteks dan cara pandang sejarah secara mendalam.
Perlu dipahami bahwa Kabupaten Jember kini dikenal sebagai salah satu wilayah di Provinsi Jawa Timur yang memiliki beragam peninggalan sejarah dari era klasik atau abad pertengahan. Periode abad pertengahan yang dimaksud mencakup rentang waktu abad ke-7 hingga abad ke-14. Berdasarkan berbagai peninggalan sejarah yang ditemukan, sebagian di antaranya menjadi objek kajian penting dalam ilmu Arkeologi dan Epigrafi.
Kekayaan Tinggalan Aksara di Kabupaten Jember
Seperti dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, bahwa di Kabupaten Jember memiliki banyak tinggalan sejarah klasik terutama masa Hindu-Budha berupa aksara Jawa Kuno bahkan lebih lama dari itu. Di Kabupaten Jember tercatat hampir sepuluh temuan arkeologis dari era klasik, empat di antaranya berupa prasasti. Untuk menafsirkan isi dan pesan yang diukir para pemahat, diperlukan keahlian epigrafi guna membaca, menerjemahkan, sekaligus menaksir usia prasasti melalui karakter guratannya.
Misalnya, Prasasti Lumbung di Kecamatan Silo dan Prasasti Watu Gong di Kecamatan Rambipuji menunjukkan perbedaan usia. Kajian epigrafi mengungkap bahwa Prasasti Lumbung lebih tua karena menggunakan bahasa Sanskerta dan aksara Brahmi, sedangkan Prasasti Watu Gong ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dengan aksara Pallawa. Menariknya, Pallawa merupakan cikal bakal berbagai aksara di Asia Tenggara, dan Jember menjadi salah satu bukti persebarannya.
Sementara itu, aksara Brahmi yang mendahului Pallawa tergolong langka di kawasan Asia Tenggara; di Indonesia, sejauh ini hanya ditemukan di Lombok (NTB) dan Jember. Keunikan lain terdapat pada Prasasti Congapan yang memuat sengkalan atau candra sengkala kronogram khas Jawa di mana setiap kata mengandung makna angka tahun.
BACA JUGA: Label Sejarah Identitas Jember yang Tak Pernah Tuntas!
Banyaknya temuan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Jember pada masa lampau mengalami beberapa kali pergeseran bahasa sepanjang perkembangan peradabannya. Perubahan itu dapat ditelusuri mulai dari penggunaan bahasa Sanskerta, kemudian bergeser ke bahasa Jawa Kuno, berlanjut menjadi bahasa Jawa modern, dan kini bahkan mampu beradaptasi dengan bahasa Madura serta bahasa Indonesia. Kemajuan peradaban kuno Jember tercermin bukan hanya pada kemampuan literasi seperti membaca dan menulis, tetapi juga pada kecakapan mereka dalam menyusun dan memahami angka tahun yang disamarkan dalam bentuk kalimat simbolik, seperti yang tampak pada tradisi candra sengkala.
Kegiatan “Mangadhyayaksara” upaya pengenalan dan pelestarian Aksara Jawa Kuno di Kabupaten Jember
Sebagai upaya pelestarian dan pengenalan aksara kuno Nusantara terutama Aksara Kawi, seorang pegiat aksara sekaligus sejarawan Muda yaitu Gazza Triatama Ramdhani mengadakan kegiatan bertajuk “Mangadhyayaksara:Membaca Jember Melalui Prasasti”. Kegiatan ini difasilitasi oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI Jawa Timur melalui Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan Tahun Anggaran 2025. Kegiatan ini berisi kelas aksara kawi beserta pengaplikasian tulisan aksara kawi pada media lontar, selain itu terdapat seminar sejarah tentang sejarah Kabupaten Jember melalui tinjauan epigrafi.
Melalui kombinasi praktik menulis aksara kuno dan pemahaman sejarah lokal, kegiatan ini diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya melestarikan warisan intelektual Nusantara. Lebih jauh lagi, inisiatif ini menjadi jembatan bagi generasi masa kini untuk mengenal akar sejarahnya, sekaligus menumbuhkan rasa bangga terhadap identitas kultural Jember dan kekayaan aksara tradisional Indonesia.
Tinggalkan Balasan