Dari Kekunoan Hingga Kekinian

Menerapkan Pemikiran Islam Kiri Hassan Hanafi dalam Konteks ke-Indonesiaan

Avatar Fachri Syauqii

kekuasaan mutlak oleh satu penguasa bukanlah suatu takdir yang tidak bisa diubah melainkan usaha yang harus digencarkan oleh Muslim yang beriman. (Sumber Foto: Reading Group Singapore)

Banyak orang beranggapan bahwa pikiran kiri cenderung dinilai stereotip karena cenderung melakukan pemberontakan, makar, maupun aksi protes. Bangsa Indonesia selama pusaran sejarah pernah mengalami sebuah tragedi besar yang menyapu bersih para penganut paham kiri.

Penuduhan tanpa bukti terhadap mereka yang beraliran kiri, seperti anti Tuhan, menjadi jargon yang diserukan oleh penguasa orde baru. Kiri yang identik dengan pikirannya Marxis, memberikan konsep revolusi bagi mereka yang ditindas, seperti halnya kaum buruh dan petani. Ketidakadilan yang sering dialami, kesenjangan kelas sosial yang semakin lebar, membuat cara anarki ditempuh demi terwujudnya keadilan yang setara.

Namun, pemikiran Marx sudah banyak dikembangkan oleh berbagai akademisi. Sebut saja mereka yang bermazhab Frankfurt yang mengkritik kehidupan modernitas dan sistem ekonomi kapitalis. Hal tersebut juga berpengaruh pada intelektual Muslim yang pernah menempuh pendidikan ke Eropa, yaitu Ali Syariโ€™ti, Malik Bennabi, bahkan nama besar seperti Hassan Hanafi. Aktor intelektual memainkan peranan penting dalam menggerakkan masyarakat.

Dalam konteks Indonesia, beberapa aktor intelektual menjadi kunci menggerakkan masyarakat, terutama buruh dan petani, untuk membentuk tatanan kehidupan demi hak yang harus terpenuhi. Salah satu aktor intelektualnya adalah Tan Malaka, yang mana ia memberikan gagasan bahwa, ajaran Islam harus melawan para penindas (pemerintah kolonial Belanda) yang sejalan dengan ideologi kiri pada saat itu. Sehingga keduanya harus bekerja sama karena Islam telah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia. Namun, karena gagasan tersebut ia dikeluarkan dari Komintern.

Sarjana Muslim yang telah disebutkan, yaitu Hassan Hanafi, memberikan konsep yang sangat unik terkait fenomena umat Muslim. Ia menuangkan analisisnya untuk melihat dan bereksperimen, sehingga muncul yang disebut sebagai Teologi Islam Kiri. Seorang Muslim tidak harus tunduk apalagi menerima ketika menghadapi penindasan maupun dikuasai oleh pemimpin yang despotik (zalim). Menurutnya lagi, kekuasaan mutlak oleh satu penguasa bukanlah suatu takdir yang tidak bisa diubah melainkan usaha yang harus digencarkan oleh Muslim yang beriman.

Biografi Hassan Hanafi

Hassan Hanafi lahir pada tahun 1935 di sebuah kota Kairo, Mesir. Semasa kecil ia bergabung dengan kelompok barisan Pemuda Mesir dengan berjuang melawan rongrongan Inggris. Semangat nasionalisme yang ia tunjukan terhadap negaranya tak kalah jauh dengan sang idola, presiden Gamal Abdul Nasser. Namun, barisan Pemuda Mesir mengeluarkannya dari kelompok karena usianya yang masih sangat muda sekitar 13 tahun. Akhirnya ia memilih jalan pendidikan dengan giat, dan banyak mengambil pikirannya Sayyid Quthb.

Melansir dari NU Online, Hassan Hanafi berhasil menamatkan studinya di Universitas Kairo, Mesir. Kemudian, melanjutkan tingkat master dan doctornya di Universitas Sorbonne, Perancis. Ia berhasil menulis karya disertasi setebal 900 halaman dengan judul L Exegeses de la Phenomenologie: Letat Actuael de la Methode Phenomenologie et Son Application an Phenomena Religuex. Ia menawarkan sebuah konsep yang bertujuan agar umat Islam menyadari pergerakan dan perjuangan sosial. Seorang Muslim tidak hanya berkutat pada hal metafisika semata (akhirat), melainkan menjadikan dasar ajaran Islam (Al-Qurโ€™an) sebagai nilai-nilai penggerak perwujudan peradaban manusia. Baginya, keimanan yang kaku tidak sesuai dengan zamannya harus ditinggalkan dan menuju perubahan.

Dari Akidah ke Revolusi Menuju Teologi Islam Kiri

Abdurrahman Wahid (Gusdur) membaca pikiran Hassan Hanafi melalui pendekatan universalistiknya yang dipengaruhi zaman keemasan tiga pandangan Mesir. Pendekatan universalistik tersebut antara lain yaitu mengintegrasikan pengetahuan Islam ke kehidupan Muslim dalam memenuhi hak dan martabat, pendekatan kedaulatan hukum, pemenuhan hak asasi manusia, pemenuhan bagi massa rakyat jelata. Oleh karena itu, pendekatan ini harus terhindar dari kekerasan (violence). Seorang Muslim yang paripurna tidak pernah memandang kelas sosial apalagi membanggakan suku atau etnisnya. Ia berjibaku menyatukan seluruh kekuatan Muslim dalam melawan, baik pihak penguasa maupun penindas.

Dalam karyanya โ€œDari Akidah Ke Revolusiโ€, Hassan Hanafi membongkar pandangan Umat Muslim yang hanya pasrah atau tunduk menerima keadaan. Apalagi jika seorang Muslim yang menjadi pelaku penindas kepada yang lemah. Disini ia memberikan stimulus bagi kaum Muslim agar keluar dari dogma yang membelenggu dan kaku, agar berani menghadapinya. Sementara kiri Islam sering diistilahkan sebagai Shahwah al-Islam, untuk menandakan kebangkitan Islam dari kesadaran yang sifatnya individu menjadi kesadaran kolektif.

Bagaimana Islam Kiri dalam Konteks Ke-Indonesiaan?

Indonesia menjadi negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia. Namun, kita hanya menang secara kuantitas bukan kualitas. Muslim di Indonesia hanya seorang konsumtif bukan produktif, baik di bidang ekonomi, sosial, politik, terutama pendidikan. Bagaimana kita melihat dengan kaca mata Hassan Hanafi, di bagian pelosok Indonesia, atau pun di daerah yang SDM-nya tergolong rendah. Tentu banyak tantangan dan masalah yang harus dihadapi secara perlahan. Ketika banyak Muslim yang masih pasrah akan sistem dan akses terbatas, hingga banyak tenaga pendidik yang menjadi korban.

BACA JUGA: Abu Hasan Al-Shushtari: Bangkitnya Sufisme di Tengah Runtuhnya Kekuatan Umat Islam

Hassan Hanafi menekankan pentingnya al-yasฤr al-islฤmฤซ (Islam Kiri) yang berpihak kepada kaum tertindas (mustadhโ€˜afin). Umat Islam di daerah tertinggal bukan hanya membutuhkan dakwah normatif, tetapi juga gerakan praksis yang menyentuh kebutuhan dasar mereka: akses pendidikan, kemandirian ekonomi, dan penguatan kapasitas sosial. Dalam konteks ini, pendidikan tidak boleh hanya mencetak generasi yang patuh pada sistem yang timpang, tetapi harus membentuk individu kritis yang mampu memperjuangkan keadilan.

Dengan semangat Islam Kiri, umat Islam Indonesia seharusnya tidak lagi menunggu perubahan dari atas, tetapi membangunnya dari bawah: mengorganisasi masyarakat, memperjuangkan hak-hak dasar, serta menghubungkan nilai Islam dengan agenda pembebasan sosial. Islam harus menjadi kekuatan transformasi, bukan sekadar legitimasi status quo.

Jika visi ini dijalankan secara perlahan namun konsisten, umat Muslim Indonesia tidak hanya menjadi โ€œmayoritas secara angkaโ€, melainkan juga โ€œmayoritas yang berkualitasโ€ dengan kontribusi nyata dalam membangun peradaban yang adil, produktif, dan bermartabat.

Avatar Fachri Syauqii

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *





Subscribe to our newsletter