Selamat datang di era pencerahan digital, dimana kebenaran bisa diukur dengan jumlah likes, kebijaksanaan sebanding dengan komentar pedas, dan rezeki mengalir deras dari air mata haters. Kita hidup di zaman influencer, para nabi modern yang sabdanya seringkali berupa lontaran tanpa filter mampu mengguncang jagat maya, bahkan tanpa perlu mikir dua kali soal dampaknya bagi kaum jelata.
Mari kita telaah fenomena “sabda kontroversi” ini lebih dalam. Seorang influencer dengan gagah berani mendeklarasikan bahwa “gym itu sarang kebodohan, mending lari pagi biar hemat!”. Ribuan follower langsung mengamini, sambil membayangkan para trainer kekar yang kini terancam gulung tikar karena filosofi lari pagi yang mendadak viral. Oh, sungguh mulia tujuannya: menghemat pengeluaran rakyat! Tentu saja, sambil tidak lupa memamerkan outfit lari terbaru dari brand yang endorse.
Lalu, ada pula influencer kategori “intelektual dadakan” yang dengan entengnya bersabda, “Jurusan filsafat itu buang-buang duit, mending kuliah bisnis biar cepat kaya!”. Para mahasiswa filsafat yang sedang berkutat dengan pemikiran Kant dan Nietzsche auto merenung, jangan-jangan selama ini mereka salah jurusan dan lebih baik buka warung kopi kekinian saja. Sungguh visioner! Mencetak generasi pengusaha yang mindset-nya kuat, meskipun buta soal logika dan etika. Tapi hei, yang penting cuan!
Tidak ketinggalan, para influencer “motivator karbitan” yang dengan tagline “perintis itu asik!” sambil pamer liburan ke Maladewa hasil endorse, seolah lupa bahwa “perintis” yang sebenarnya sedang berjibaku dengan modal cekak, tidur kurang, dan dikejar deadline tanpa henti. Bagi mereka, “perintis itu asik” mungkin hanya sebatas foto vintage di Instagram dengan caption inspiratif. Sungguh empati yang mendalam! Menyemangati kaum perintis dengan gaya orang kaya yang tidak pernah merasakan pahitnya merintis dari nol.
Ketika Harga Diri Lebih Murah dari Sebungkus Nasi
Inilah ironi zaman digital, Para influencer ini, dalam perlombaan mencari atensi yang tak berujung, seringkali tanpa sadar (atau mungkin sengaja?) merobek-robek harga diri dan mematikan periuk nasi orang lain. Mereka melempar pernyataan kontroversial tanpa memikirkan bagaimana ucapan mereka bisa menghancurkan semangat dan mata pencaharian orang-orang yang mendedikasikan hidupnya pada profesi yang “diremehkan” tersebut.
Coba bayangkan seorang trainer yang dengan susah payah membangun reputasi dan membantu banyak orang meraih kesehatan. Tiba-tiba, seorang influencer dengan jutaan follower mengatakan bahwa gym itu bodoh. Berapa banyak klien yang akan ragu? Berapa banyak orang yang akan berhenti berlangganan? Padahal, bagi si trainer, gym adalah sumber penghidupan, tempat dia mencurahkan ilmu dan passion.
Begitu juga dengan para akademisi dan profesional di bidang lain. Pernyataan-pernyataan sepele dari para influencer ini bisa menciptakan stigma negatif di masyarakat. Orang jadi ragu untuk memilih jurusan tertentu, atau meremehkan profesi yang dianggap “tidak menghasilkan”. Padahal, setiap profesi punya peran penting dalam membangun masyarakat.
Perintis Hanya Jadi Pajangan, Kisah yang Dikomersialkan
Dan yang lebih menyayat hati, adalah ketika para perintis sejati dijadikan objek atensi. Kisah perjuangan mereka yang penuh liku, yang seharusnya menjadi inspirasi tulus, justru dikomersialkan oleh para influencer demi konten. Mereka mewawancarai perintis, memotretnya dengan angle dramatis, lalu menceritakannya kembali dengan bumbu sensasi agar viral.
BACA JUGA: Era Kecerdasan Buatan: Lebih Dari Sekadar Tren Teknologi
Tapi, apakah para influencer ini benar-benar peduli dengan nasib perintis? Atau mereka hanya melihatnya sebagai sumber konten yang menarik? Seringkali, setelah konten viral, para perintis ini ditinggalkan begitu saja, sementara para influencer sudah sibuk mencari “korban” inspirasi berikutnya.
Ini adalah bentuk eksploitasi gaya baru. Perjuangan dan idealisme para perintis dikuras habis demi atensi dan keuntungan para influencer. Mereka tidak lagi dilihat sebagai individu dengan mimpi dan harapan, melainkan sebagai alat untuk mendongkrak popularitas.
Saatnya Kebakaran Jenggot Kolektif
Mungkin kita sudah terlalu lama menoleransi fenomena ini. Kita terlalu terpukau dengan gemerlap dunia maya dan lupa untuk berpikir kritis tentang apa yang kita konsumsi. Kita tertawa melihat statement kontroversial, tanpa menyadari bahwa di baliknya ada hati yang terluka dan mimpi yang pupus.
Sudah saatnya kita “kebakaran jenggot” secara kolektif. Kita harus mulai mempertanyakan narasi yang dibangun oleh para influencer. Kita harus lebih menghargai para profesional dan perintis yang benar-benar berkarya dengan tulus. Kita harus berhenti memberikan panggung pada mereka yang hanya mencari sensasi dengan mengorbankan orang lain.
Karena pada akhirnya, masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang menghargai setiap profesi, menghormati setiap perjuangan, dan tidak mudah terombang-ambing oleh sabda-sabda kontroversial yang hanya bertujuan untuk mencari atensi sesaat. Mari kita kembalikan makna “influencer” kepada mereka yang benar-benar memberikan dampak positif, bukan sekadar menebar sensasi dan meraup rezeki di atas penderitaanย orangย lain.
Tinggalkan Balasan