Masjid Al-Mubarok di Berbek merupakan salah satu bukti kuat perjalanan syiar Islam di Kabupaten Nganjuk. Didirikan sekitar tahun 1745 oleh Kanjeng Raden Tumenggung Sosro Koesoemo dikenal sebagai Kanjeng Djimat, Adipati pertama Berbek yang ditunjuk oleh Keraton Ngayogyakarta masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah. Lebih dari itu, ia menjadi cerminan harmonisasi budaya lokal dengan sejarah panjang penyebaran Islam di wilayah yang kental akan pengaruh Hindu-Buddha.
Yoni sebagai Simbol Akulturasi dan Jam Matahari
Keunikan utama Masjid Al-Mubarok terletak pada yoni yang berada di halaman depannya. Dalam budaya Hindu-Buddha, yoni merupakan simbol kesuburan dan sumber kehidupan. Keberadaannya di kompleks masjid menjadi penanda kuatnya akulturasi budaya dalam proses Islamisasi masyarakat setempat.
Lebih dari itu, yoni ini dialihfungsikan secara cerdas menjadi jam matahari atau bencet alat kuno untuk menentukan waktu salat. Dengan tongkat besi yang ditancapkan di atasnya sebagai penunjuk bayangan, masyarakat Berbek pada masanya dapat mengetahui waktu ibadah secara akurat, jauh sebelum jam modern dikenal. Praktik ini adalah wujud nyata perpaduan harmonis antara tradisi leluhur dengan ajaran Islam.
Keunikan Arsitektur Masjid
Arsitektur Masjid Al-Mubarok sangat khas dan mencerminkan kehidupan masyarakat Nganjuk pada abad ke-18. Bangunannya memadukan unsur Jawa kuno dengan sentuhan Hindu, terlihat dari atap bertingkat yang menjadi ciri khas arsitektur Jawa. Keunikan lainnya adalah kubah berbentuk kuluk (mahkota) raja perak, yang berbeda dari kubah masjid pada umumnya.
Ornamen bersejarah seperti mimbar kayu jati buatan tahun 1758 dan bedug tua dari tahun 1759 semakin memperkaya nilai otentisitas masjid. Seluruh elemen ini menjadi bukti bahwa proses Islamisasi di Nganjuk tidak menggantikan budaya yang telah ada, melainkan berjalan secara toleran dan adaptif.
Warisan Sejarah dan Pentingnya Pelestarian
Dari sisi sosial-historis, Masjid Al-Mubarok tidak hanya berfungsi sebagai pusat ibadah, tetapi juga menjadi tempat pembinaan komunitas, sumber pendidikan agama, dan titik temu masyarakat. Pada masa awal dakwah, di tengah masyarakat yang mayoritas masih memeluk kepercayaan lama, pendirian masjid oleh Kanjeng Djimat menjadi tonggak penting penyebaran Islam yang damai. Sikap bijaksana Kanjeng Djimat tecermin dari keputusannya menyediakan lahan khusus bagi umat Hindu, sehingga tercipta penghormatan dan kedamaian sosial.
BACA JUGA: Melalui โTraveling Vintageโ, Sejarawan Anna Nur Nita Ajak Pelajar Nganjuk Mengenal Candi Lor
Mengingat kekayaan nilai sejarah dan budayanya, pelestarian Masjid Al-Mubarok menjadi sebuah keharusan. Meskipun telah beberapa kali direnovasi, bentuk asli bangunan tetap dipertahankan. Upaya menjaga artefak seperti mimbar, bedug, dan yoni jam matahari sangat krusial untuk diwariskan kepada generasi mendatang. Pelestarian fisik ini harus diiringi dengan edukasi agar generasi muda memahami makna masjid ini, tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai penguat identitas budaya dan spiritual.
Potensi Wisata Religi dan Refleksi Budaya
Pengelolaan Masjid Al-Mubarok yang berkelanjutan dapat dikembangkan melalui program wisata religi dan budaya. Dengan mengangkat kisah akulturasi dan sejarahnya, masjid ini berpotensi menjadi daya tarik wisatawan, tidak hanya peziarah lokal. Kolaborasi antara pemerintah daerah, komunitas, serta ahli sejarah dan arsitektur sangat diperlukan untuk memastikan warisan ini tetap terjaga dan dikenal luas.
Yoni yang berfungsi sebagai jam matahari di halaman masjid menjadi simbol abadi bagaimana lintas budaya dan waktu dapat menyatu secara harmonis. Hal ini memberi pelajaran berharga bahwa perkembangan zaman tidak harus menghapus masa lalu, tetapi justru dapat menyerap dan memadukannya. Refleksi ini sangat relevan dalam konteks kehidupan modern yang menuntut toleransi dan penghargaan terhadap warisan budaya.
Secara keseluruhan, Masjid Al-Mubarok Berbek adalah monumen hidup perjalanan Islam di Nganjuk sekaligus simbol indah dari akulturasi dan toleransi. Keunikan arsitektur dan artefaknya, terutama yoni penunjuk waktu, mengandung makna mendalam tentang kearifan lokal dalam beradaptasi tanpa kehilangan jati diri. Oleh karena itu, melestarikan Masjid Al-Mubarok bukan sekadar kewajiban religius, tetapi juga tanggung jawab sejarah dan budaya bagi seluruh masyarakat. Dengan demikian, nilai-nilai luhur yang diwariskannya akan terus hidup sebagai inspirasi penguat identitas lokal dan nasional.
Tinggalkan Balasan