Di tengah persawahan dan pemukiman penduduk Ambarketawang, lirih terdengar suara genderang sejarah yang tidak bisa dipisahkan dengan berdirinya Kraton Yogyakarta. Mungkin tak banyak yang tahu, di sinilah, di dekat Gunung Gamping yang dahulu membentang luas sebelum terkikis zaman, Sultan pertama Jogja, Sultan Hamengku Buwono I, mendirikan keraton sementaranya. Ini menandai babak baru pasca pecahnya Kerajaan Mataram Islam yang ditandai dengan Perjanjian Giyanti.
Perjanjian ini mencapai kesepakatan untuk membelah Kerajaan Mataram Islam menjadi dua wilayah: Kasunanan Surakarta Hadiningrat (Solo) dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Yogyakarta). Pangeran Mangkubumi, yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I, lantas memerintahkan pembangunan pusat pemerintahan di Alas Pabringan yang terletak di antara Sungai Winongo dan Sungai Code.
Sementara pembangunan keraton berlangsung, Sang Sultan tetap menjalankan pemerintahannya di pesanggrahan sederhana di balik Pegunungan Gamping. Pesanggrahan yang dulu dikenal dengan nama Purapara tersebut kemudian beralih nama menjadi Pesanggrahan Ambarketawang atau lebih sering disebut sebagai Kraton Ambarketawang oleh masyarakat setempat.

โAwalnya namanya Purapara, kemudian diganti Ambarketawang. Ambar artinya harum, kalau tawang itu tempat yang tinggi. Dulunya dipakai bregada atau prajurit untuk istirahat sehabis babat alas, habis mbedag-pikat atau berburu hewan di Alas Beringan. Dulu kan masih hutan semua,” ucap Gito, penjaga Situs Gunung Gamping.
Dapat dikatakan, tapak sejarah yang terlupa dari pesanggrahan ini sesungguhnya bukan lokasi baru. Pada masa Mataram Kartasura, pesanggrahan ini telah difungsikan, namun perannya menjadi semakin vital ketika beralih menjadi tempat tinggal dan pusat pemerintahan sementara sang Sultan. Tepatnya mulai tanggal 3 Sura-Wawu 1681 Jw (9 Oktober 1755 M) hingga 13 Sura-Djimakir 1682 Jw (7 Oktober 1756 M). Sejak saat itu, setiap tanggal 7 Oktober diperingati sebagai hari jadi Yogyakarta.

Meskipun bangunan yang dulunya memiliki luas 25 hektare dan terdiri dari tiga bangunan utama keraton, kestalan (kandang kuda), dan kademangan (kediaman demang) kini hanya menyisakan beberapa bagian seperti tembok, fondasi, serta material bata, puing-puing inilah saksi bisu lembaran awal Kraton Jogja yang masih dapat dilihat.
โKeraton ini dulunya lumayan luas, sampai ke tempat yang sekarang menjadi makam umum di situ. Kenapa tinggal sisa pagar sama fondasi? Karena kena guyuran hujan, lama-kelamaan habis. Bahan bakunya kan cuma kapur, abu vulkanik, sama pasir. Zaman dulu kan belum ada pabrik semen,โ jelas Gito.

Berbicara mengenai Kraton Ambarketawang, rasanya tidak lengkap jika tidak membahas Gunung Gamping. Mirip seperti Pesanggrahan Ambarketawang yang telah menjadi situs budaya, Gunung Gamping juga sudah menjadi situs cagar alam yang dilindungi. Mungkin jika dilihat sekilas, tidak nampak sesuatu yang istimewa dari sebongkah batu yang menjulang tinggi sekitar 20 meter ini. Namun, berdasarkan data dan cerita lisan yang ada, bongkahan batu ini dulunya merupakan bagian dari pegunungan kapur yang membentang dari sisi barat lokasi Gunung Gamping sekarang hingga ke timur Ring Road Barat. Sementara itu, untuk ketinggian puncaknya belum diketahui secara pasti.
Seorang geolog asal Jerman, F.F. Wilhelm Junghuhn, yang sempat berkunjung pada tahun 1836, juga sempat membuat ilustrasi Gunung Gamping yang terbentang cukup luas dan tinggi. Hal ini menjadi masuk akal jika dikaitkan dengan alasan mengapa Sultan membangun pesanggrahan di area ini. Tampaknya, dulu area ini ideal untuk dijadikan lokasi pertahanan sekaligus pemantauan penjuru wilayah kekuasaan keraton.

Terkait mengapa pegunungan tersebut kini hanya tinggal bongkahan kecil saja, Gito menuturkan, โDulu pas zaman-zaman VOC, sekitar tahun 1860-an, kan banyak pabrik gula, total ada 19 di Jogja. Nah, mereka ambil gamping di sini buat penjernih sari tebunya. Juga buat bahan bangunan karena pernah ada pranatan (peraturan) yang memperbolehkan penggalian batu gamping. Banyak juga warga sini yang dulu jadi penambang gamping. Jadi ya, lama-kelamaan habis, tinggal segini.โ
Letak geografis Gunung Gamping yang berdekatan dengan Kraton Ambarketawang tentu tidak bisa dilepaskan dari sebuah legenda. Legenda tersebut mengisahkan dua abdi setia Sultan yang menemaninya tinggal di Pesanggrahan. Saat pembangunan keraton usai, kedua abdi dalem yang sudah merasa betah tinggal di Ambarketawang pun meminta izin untuk menetap, dan permintaan ini disetujui oleh Sultan.
BACA JUGA: Sejarah Berdirinya Museum Sonobudoyo Yogyakarta
Semua tampak baik-baik saja hingga sebuah malapetaka datang pada hari Jumat Kliwon di bulan Sapar. Saat kedua abdi dalem sedang menambang batu kapur, mereka tertimbun longsoran Gunung Gamping. Sultan yang mendengar kabar tersebut sontak memerintahkan prajuritnya untuk membongkar reruntuhan. Namun anehnya, kedua jasad abdi dalemnya tidak ditemukan. Kejadian serupa terjadi berulang kali di bulan Sapar yang membuat warga desa resah dan percaya bahwa arwah kedua abdi dalem masih berada di sekitar gunung. Ki Demang (sebutan untuk camat zaman dahulu) lalu bertapa di Gunung Gamping dan mendapat wisik atau petunjuk bahwa penunggu tempat tersebut meminta korban sepasang pengantin setiap tahun.
โSetiap bulan Sapar ada upacara Saparan Bekakak untuk menghormati kedua abdi Ngarso Dalem (Sultan), Kyai Wirasuta dan Nyai Wirasuta. Juga, istilahnya, untuk meminta keselamatan bagi masyarakat Ambarketawang,โ tutur Gito.

Sejak itulah, ritual yang dikenal dengan Slametan Saparan Bekakak ini menjadi rutinitas masyarakat Ambarketawang yang dilaksanakan setiap hari Jumat antara tanggal 10-20 pada bulan Sapar, bulan kedua di kalender Jawa. Hanya saja, dalam tradisi ini, sepasang pengantin diganti dengan sepasang boneka pengantin yang dibuat dari beras ketan berisi juruh atau cairan gula jawa. Nantinya, saat prosesi penyembelihan boneka pengantin, juruh ini akan mengucur seolah-olah seperti darah.
Di tengah riuh kota Jogja yang terus tumbuh, bongkahan kapur dan puing-puing pesanggrahan ini menjadi pengingat bahwa sejarah besar tak selalu lahir di pusat kota. Tempat yang mungkin terkesan sederhana seperti Ambarketawang justru menyimpan momen penting berdirinya suatu kekuasaan. Gema langkah Sultan Hamengku Buwono I mungkin telah lama berlalu, namun maknanya masih hidup hingga kini di tengah masyarakat Ambarketawang. Merawat tempat ini bukan hanya sekadar menjaga batu dan tanah, tetapi juga memelihara narasi dan jati diri yang tumbuh di atasnya.
Tinggalkan Balasan