Seminggu terakhir, tagar #SAVERAJAAMPAT menggema di berbagai media massa. Sejumlah pulau di Raja Ampat, yang sering dijuluki “Surga Terakhir di Bumi” dengan 75% spesies koral dunia dan 2.500 spesies ikan, ditemukan adanya aktivitas pertambangan nikel, termasuk di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran.
Dalam masyarakat adat, khususnya perempuan, terdapat beban tanggung jawab domestik yang tidak setara. Mereka memikul tanggung jawab besar dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, air, dan bahan bakar. Kondisi ini membentuk keterikatan erat perempuan adat dengan sumber daya alam, meskipun akses mereka terhadap sumber daya tersebut seringkali terbatas. Di banyak budaya adat, termasuk di Papua, perempuan dianggap sebagai penjaga tanah dan penentu keberlanjutan generasi. Namun, eksploitasi tambang kini justru menyingkirkan perempuan dari tanah, air, dan ruang hidup mereka. Dalam ruang-ruang pengambilan keputusan terkait tambang, suara perempuan nyaris tak terdengar. Padahal, ketika tambang datang, merekalah yang pertama kehilangan: tanah tempat menanam, air tempat mencuci, dan ruang tempat hidup.
Menstruasi Bukan Hanya Urusan Perempuan
Pencemaran lingkungan tentu berdampak pada kesehatan perempuan, baik secara fisik maupun mental. Populasi pesisir sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim, dan perempuan di komunitas pesisir menghadapi tantangan ekonomi serta dampak kesehatan yang signifikan. Selain itu, akses terhadap air minum yang aman dan kebersihan menstruasi menjadi tantangan besar bagi perempuan dan anak perempuan di daerah ini.
Salah satu bagian penting dalam kesehatan reproduksi perempuan adalah menstruasi. Dalam setahun, seorang perempuan dapat menggunakan sekitar 240-300 lembar pembalut sekali pakai. Namun, berapa banyak perempuan adat Raja Ampat yang memiliki akses terhadap pembalut yang aman, sehat, dan terjangkau? Sebagian besar pembalut sekali pakai di Indonesia mengandung bahan kimia berbahaya seperti dioksin dan pewangi sintetis, yang dalam jangka panjang dapat merusak kesehatan reproduksi. Tak hanya itu, limbah pembalut juga mencemari laut dan tanah, lingkungan yang selama ini dijaga perempuan adat dengan penuh cinta melalui tradisi-tradisi seperti sasi. Ironisnya, perempuan yang paling dekat dengan alam justru paling dijauhkan dari hak atas sanitasi yang layak.
Beban Ibu Bumi atau Mama Tanah pun bertambah karena dicemari sampah pembalut sekali pakai yang terus meningkat. Permasalahan ini timbul akibat minimnya pengetahuan dan akses informasi tentang hak kesehatan reproduksi, serta kurangnya akses ke fasilitas atau pusat kesehatan masyarakat. Selain itu, minimnya ketersediaan pembalut yang aman, sehat, dan terjangkau, serta rendahnya kesadaran masyarakat tentang dampak penggunaan pembalut sekali pakai yang sulit terurai di tanah maupun perairan, turut memperparah kondisi. Dengan menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan perempuan, kita juga berkontribusi pada kesejahteraan mereka secara menyeluruh. Kesadaran ini bukan hanya tanggung jawab perempuan, tetapi juga tugas bersama, termasuk bagi laki-laki. Mereka perlu memahami bahwa menstruasi adalah proses biologis yang wajar, bukan sesuatu yang memalukan atau harus disembunyikan.
Dampak Krisis Air bagi Perempuan Adat dan Anak
Perempuan adat memikul beban ganda: menjaga keluarga dan menjaga alam. Ketika tambang mencemari sumber air dan mempersempit akses ke sumber daya bersih, perempuanlah yang paling pertama dan paling terdampak. Air bukan hanya untuk minum; bagi perempuan, air adalah alat menjaga martabat. Dalam siklus menstruasi, nifas, hingga melahirkan, air bersih menjadi kebutuhan vital. Tanpa akses air bersih, kesehatan reproduksi perempuan berada di ujung tanduk. Luka akibat iritasi, infeksi, bahkan risiko kanker serviks dapat muncul hanya karena keterbatasan sanitasi.
Baca Juga: Yang Katanya โZamrud Khatulistiwaโ, Ternyata โSemrawut Negara Konohaโ
Krisis air bersih memberikan dampak yang jauh lebih besar terhadap perempuan dibandingkan laki-laki, karena perempuan memiliki pengalaman biologis yang sangat bergantung pada air bersih. Berikut adalah beberapa dampak utama krisis air bagi perempuan dan anak:
- Kesehatan Reproduksi Perempuan: Perempuan mengalami pengalaman biologis secara periodik dan non-periodik yang tidak dialami laki-laki, seperti haid, nifas, dan melahirkan, yang sangat bergantung pada air bersih. Struktur alat reproduksi perempuan yang terbuka juga sangat mudah terkena infeksi, sehingga air yang tidak bersih dapat mengancam kesehatan reproduksi perempuan, seperti risiko penyakit kanker serviks, rahim, atau payudara.
- Beban Ganda Perempuan: Perempuan seringkali bertanggung jawab untuk mengumpulkan air bagi keluarga. Jika terjadi krisis air bersih, perempuan harus membuang lebih banyak waktu dan energi untuk berjalan jauh demi mengumpulkan air bersih.
- Dampak Kesehatan Kulit Anak dan Perempuan: Berdasarkan survei yang dilakukan di Fakultas Kedokteran UGM, dari 40,6% yang mengeluhkan kulit sensitif, rasio perempuan mencapai 42,4% berbanding 36,4% laki-laki. Anak dan perempuan memiliki kulit yang cenderung lebih tipis daripada kulit laki-laki, sehingga lebih rentan terhadap iritasi dan infeksi. Selain itu, ketika perempuan mengalami siklus menstruasi, kehamilan, dan menopause, terjadi perubahan hormonal yang dapat meningkatkan sensitivitas kulit. Anak-anak pun mengalami perubahan hormonal yang dapat mempengaruhi sensitivitas kulit mereka.
- Kesehatan Anak: Krisis air dapat menyebabkan penyakit seperti kolera, diare, dan infeksi saluran pernapasan, iritasi mata, malnutrisi, dan kurang gizi akibat gagal panen.
- Ekonomi dan Pangan Keluarga: Krisis air dapat berdampak pada gagal panen. Di pedesaan, perempuan masih sangat bergantung pada hasil panen, mereka menanam sayur dan bumbu dapur secara mandiri di kebun dan pekarangan rumah. Jika terjadi krisis air, tanaman tidak dapat tumbuh, sehingga berdampak pada ekonomi mereka. Selain tidak dapat menjual hasil panen, mereka juga harus mengeluarkan biaya untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga.
Saatnya Mengubah Arah: Keadilan Ekologis Harus Berwajah Perempuan
Menstruasi bukanlah tabu atau kutukan; itu adalah bagian dari siklus hidup. Oleh karena itu, akses terhadap air bersih dan pembalut yang aman bukanlah kemewahan, melainkan hak dasar.
Perempuan adat bukanlah korban; mereka adalah penjaga ekosistem. Maka, setiap kebijakan pembangunan, termasuk tambang, harus bertanya terlebih dahulu: “Apa kata Mama-Mama?” Sudah saatnya negara mendengar suara perempuan adat, bukan hanya karena mereka rentan, tetapi karena merekalah yang selama ini melindungi bumi ketika yang lain sibuk menambangnya.
Tinggalkan Balasan