Beberapa hal mengenai identitas Jember memang sampai saat ini masih sering menjadi perbincangan, baik dari kalangan pegiat budaya, komunitas-komunitas, maupun para akademisi. Terdapat beberapa perspektif yang memandang identitas Jember sebagai Pandhalungan, yang kemudian menimbulkan pro dan kontra antar kelompok.
Saya tidak akan membahas isu Jember Pandhalungan, baik dari segi budaya maupun historisitasnya. Namun, saya hanya ingin mengajukan beberapa pertanyaan mengenai pernyataan tersebut untuk kita kritisi bersama dari berbagai aspek.
Apakah penyematan identitas Pandhalungan berlaku hanya pada etnis Madura dan Jawa saja? Apakah fenomena ini hanya berdampak pada satu golongan saja, yakni umat Muslim sebagai mayoritas di Kabupaten Jember? Bagaimana dengan umat lainnya jika ditarik ke dalam unsur kebudayaan apakah mereka juga tergolong dalam satu identitas yakni Pandhalungan? Dan apa yang membedakan Jember dengan daerah lain yang juga dihuni oleh berbagai etnis dan umat beragama?
Agar tidak terkesan jenuh membahas isu identitas Jember, maka saya mengajak kalian untuk melihat masyarakat Jember di masa lampau melalui naskah kuno yang telah ditemukan. Mungkin ini juga akan menimbulkan pertanyaan mendasar bagi kita. Apakah yang terekam dalam naskah kuno memuat kehidupan masyarakat Jember?
Membahas Jember dari hasil temuan naskah kuno yang telah terhimpun adalah membayangkan Jember pada abad ke-19 dan ke-20. Hal ini karena untuk membahas Jember dari aspek sosial, budaya, dan keagamaan pada abad-abad tersebut, data sejarah berupa naskah kuno cukup banyak ditemukan.
Berbeda jika membicarakan Jember era klasik maka data sejarah yang dapat ditemukan lebih banyak berupa peninggalan-peninggalan arkeologis.
Kita mulai dari hal paling mendasar: apa sebenarnya naskah kuno, apa isi dari naskah kuno, dan seperti apa corak naskah-naskah kuno yang ada di Kabupaten Jember?
Naskah kuno merupakan naskah yang ditulis tangan, tentunya dengan peralatan yang serba terbatas pada masa itu. Suatu naskah dapat disebut naskah kuno jika usianya mencapai 50 tahun, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.
Di Jember, terdapat lebih dari 50 bundel naskah yang disimpan oleh masyarakat dan beberapa lembaga pendidikan seperti pondok pesantren. Masing-masing koleksi memiliki kekhasan sendiri. Naskah-naskah di pesantren umumnya memuat ilmu keagamaan seperti tasawuf, tafsir, mushaf Al-Qurโan, fikih, dan lainnya. Sedangkan naskah kuno yang tersimpan di masyarakat kebanyakan berisi kesenian tembang macapat dengan beragam cerita seperti Cator Yusuf, Nurbuat, Cator Pandhaba, Cator Miโraj, Serat Sawunggaling, Cator Joko Tole, Cerita Bilkaos, Cator Raden Arya Umarmadi, Cerita Raden Murtasiya, dan Serat Amir Hamzah.
Kembali ke pertanyaan mendasar: apakah yang terekam dari naskah kuno memuat kehidupan masyarakat Jember?
Terlepas dari dua kategori naskah di atas, pembahasan ini akan difokuskan pada naskah yang dimiliki oleh masyarakat. Kebudayaan yang terbentuk pada abad ke-19 dan ke-20 dapat ditinjau dari naskah-naskah kuno yang ada di Jember.
Salah satu contohnya adalah naskah Hikayat Sawunggaling dari abad ke-19, yang memiliki kolofon berbunyi:
โSรชrat cariyosipun Sawunggaling // jaro sรชkar macapat rรชgi 2.5 rong rupiyah sรชtรชngah kahanggit ing tahun wรชlanda 1905โ
โWastane kang nyรชrat layang punika: Suma Rรชja. Mรชnawi sanak2 badhe kรชrsa numbah cรชriyos, mogi kaho padosana ing Dusun Ragatรชrunan, distrik Lumajang, ing sak lor ing pasar.โ
Kolofon ini menunjukkan bahwa naskah seperti Hikayat Sawunggaling bukan sekadar dokumen sejarah yang mati, melainkan benar-benar hidup dan beredar di tengah masyarakat. Bahkan disebutkan secara eksplisit harga naskah dan tempat membelinya. Ini menandakan bahwa pada tahun 1905, karya sastra tradisional semacam ini menjadi bagian dari sirkulasi budaya masyarakat di wilayah Lumajang dan sekitarnya termasuk Jember.
Hal ini membuktikan bahwa kebudayaan Jember di abad ke-19 hingga awal abad ke-20 dapat ditelusuri melalui naskah-naskah kuno yang mengandung nilai-nilai lokal, ekspresi spiritualitas, dan narasi historis masyarakat. Salah satu bentuk kebudayaan yang menonjol adalah budaya macapat atau yang oleh masyarakat Jember sering disebut mocopatan. Dalam tradisi ini, naskah tidak hanya dibaca, tetapi dilagukan dalam bentuk tembang sesuai pakem metrum Jawa seperti Dhandhanggula, Sinom, Pangkur, Asmarandana, dan lainnya.
BACA JUGA:
Terkuak Warisan Intelektual Abad -19 Dalam Manuskrip Jember
Contoh konkret dari keberlanjutan tradisi ini adalah naskah Cator Yusuf. Naskah ini memuat kisah Nabi Yusuf dengan gaya tutur sastra lokal dalam bentuk tembang macapat. Dalam pembacaan Cator Yusuf, masyarakat tidak hanya menikmati kisah keagamaannya, tetapi juga menyerap nilai-nilai moral, spiritual, dan estetika lokal yang telah melebur dalam bentuk kesenian. Praktik ini memperlihatkan bagaimana agama dan budaya lokal saling menyatu dan hidup dalam keseharian masyarakat.
Cator Yusuf, sebagaimana naskah-naskah lainnya seperti Cator Pandhaba, memperlihatkan corak kebudayaan Jember yang khas yakni sinkretik, hidup di antara garis tradisi Islam dan adat Jawa Madura. Ini menunjukkan bahwa identitas kebudayaan Jember tidak bisa hanya dilihat dari label etnis semata seperti Pandhalungan, tetapi juga dari ekspresi kultural yang lebih luas dan beragam yang diwariskan melalui teks-teks kuno.
Lebih lanjut, naskah-naskah ini juga mencerminkan bentuk pendidikan nonformal yang tumbuh di tengah masyarakat. Mereka yang memiliki kemampuan menulis dan membaca naskah macapat sering kali menjadi rujukan pengetahuan budaya lokal. Bahkan dalam beberapa kasus, masyarakat yang memiliki atau menyalin naskah-naskah tersebut dipandang sebagai โpengarsipโ atau penjaga tradisi, meskipun tidak memiliki posisi formal seperti guru atau ulama.
Dalam konteks ini, kebudayaan Jember bukanlah sekadar produk perpaduan etnis, tetapi juga hasil dari dialog panjang antara lembaga kebudayaan, komunitas, dan para akademisi yang harus saling mendukung satu sama lain. Naskah kuno menjadi cermin dari dinamika masyarakat Jember di masa lalu masyarakat yang tidak hanya religius, tetapi juga literatif dan ekspresif dalam seni dan sastra.
Tulisan ini bukan hanya membuka ruang pengetahuan baru, tetapi juga menjadi cara untuk merekonstruksi identitas kultural yang lebih otentik, inklusif, dan bersumber dari pengalaman masyarakatnya sendiri. Oleh karena itu, melestarikan, meneliti, dan memahami naskah-naskah ini merupakan upaya penting dalam merawat kebudayaan Jember yang sejati yakni kebudayaan yang tumbuh dari bawah, dari rakyat, dan untuk rakyat.
Tinggalkan Balasan