Setiap kali jempol ini menggeser layar ke atas, ada kehidupan baru yang menyapa. Seorang perempuan menari dengan lagu yang belum pernah kudengar, seorang pria curhat sambil mengupas bawang, seekor kucing berlari menghindari balon, dan di sela-selanya ada iklan skincare, testimoni diet, lalu potongan video motivasi yang bilang, โKamu harus jadi versi terbaik dari dirimu.โ Begitu terus. Tak ada henti.
Dan aku masih di sini, diam-diam menghabiskan waktu dalam ruang yang bernama FYP (For You Page). Ironis, karena nyatanya bukan untukku. Itu untuk semua orang. Kita semua. Sekaligus bukan siapa-siapa. FYP bukan sekadar halaman rekomendasi, tapi kini telah menjelma menjadi semacam kanvas kolektif budaya pop. Di situlah tren lahir, mati, lalu lahir kembali dalam bentuk baru.
Lagu yang awalnya dibuat untuk menemani malam sepi, kini jadi latar belakang orang berjoget. Puisi yang seharusnya dibaca perlahan kini hanya bertahan beberapa detik sebelum digulirkan. Bahkan kisah pilu kehidupan pribadi dibungkus dengan musik lembut dan caption dramatis agar bisa relate dan ramai ditonton. Kita semua sedang viral. Atau sedang mencoba untuk viral. Dan dalam hasrat untuk tampil itu, tak sadar kita telah kehilangan arah.
Dulu, budaya populer terbentuk melalui jalan panjang. Ada diskusi, pertarungan wacana, karya-karya yang diuji waktu. Musik klasik, film legendaris, lukisan, bahkan meme di masa awal internet semua punya sejarah. Sekarang, cukup satu video absurd, maka terbentuklah narasi baru. Bukan karena mutunya, tapi karena algoritma menyukainya. Lebih tepatnya, karena algoritma tahu apa yang kita sukai, lalu menyodorkannya terus-menerus.
Kita tidak lagi mencari, kita disajikan. Dan dari yang disajikan itu, kita membentuk selera.
Itulah tragedi FYP. Ia memberikan ilusi kebebasan. Seolah-olah kita memilih apa yang kita tonton. Padahal pilihan itu sudah disaring sebelumnya, berdasarkan data yang dikumpulkan dari setiap klik, setiap like, setiap detik video yang kita tonton tanpa sadar. Lama-lama, dunia dalam layar itu jadi makin mirip dengan kitaโtapi bukan versi utuh kita, melainkan versi yang sudah dikecilkan, disederhanakan, dan difragmentasi sesuai kebiasaan digital.
Kita menjadi ekor dari pola kita sendiri. Dan ini tidak hanya memengaruhi apa yang kita tonton, tapi juga bagaimana kita memandang diri. Kita mulai merasa tertinggal jika tidak ikut tren. Kita merasa salah jika tidak tahu lagu viral terbaru. Bahkan obrolan sehari-hari jadi terikat pada momen-momen yang diciptakan di layar. Pernahkah kamu merasa gugup karena tidak paham referensi โselamat pagi yang viral ituโ?
Padahal itu hanya satu dari ribuan potongan budaya instan yang melintas di layar ribuan orang. Kita menjadi penonton sekaligus peserta dalam panggung besar yang tanpa naskah, tapi penuh tuntutan tampil. Dalam ruang FYP, semua orang bisa jadi bintang. Tapi bintang itu redupnya juga cepat. Hari ini seseorang viral karena kisah sedihnya, besok ia hilang karena ada kisah sedih lain yang lebih menyentuh.
Hari ini seorang guru disorot karena metode ajarnya unik, besok semua guru membuat konten yang mirip. Daya inovasi bukan lagi soal orisinalitas, tapi kecepatan meniru. Algoritma tidak memberi ruang pada yang lambat. Yang merenung, yang menyelami, yang menyampaikan dengan tenang mereka tenggelam. Yang menang adalah yang cepat, keras, dan bikin klik. Bayangkan, kita sekarang punya memori kolektif yang dangkal.
Lagu viral minggu lalu, kita sudah lupa judulnya. Video yang kita tertawakan kemarin, sekarang sudah basi. Kita hidup dalam budaya yang menolak kenangan. Semua harus baru, harus update. Jika tidak, kita dianggap ketinggalan zaman. Dan ini tidak hanya soal hiburan, tapi merembes ke semua aspek: pendidikan, politik, agama, bahkan solidaritas sosial. Ketika tragedi kemanusiaan pun harus dibungkus seperti konten untuk bisa diperhatikan, maka kita tahu bahwa nilai empati telah digantikan oleh algoritma impresi.
Tentu saja, tidak semua dari ini buruk. Teknologi dan algoritma juga membuka ruang baru yang sebelumnya tertutup. Banyak suara dari pinggiran yang kini terdengar. Banyak kreativitas yang menemukan panggungnya. Tapi ruang itu cepat menjadi pasar. Dan di pasar, yang laris bukan yang paling dalam, tapi yang paling menarik. Akibatnya, kita jadi lebih sering menyukai apa yang viral, bukan karena kita benar-benar suka, tapi karena semua orang menyukainya.
Kita menyukai karena takut merasa tertinggal. Kita takut tak terhubung. FYP telah mengajari kita bahwa hidup itu harus bisa dibagikan. Jika tidak bisa jadi konten, seolah-olah tidak penting. Kita pergi ke tempat yang estetik bukan untuk menikmati, tapi untuk merekam. Kita membaca buku bukan untuk merenung, tapi agar bisa difoto dan diunggah. Kita menangis, tertawa, berdoa, bahkan patah hati semua disisipkan dalam bingkai vertikal, lengkap dengan musik latar yang sedang trending.
Hidup jadi pertunjukan. Dan algoritma adalah sutradara tanpa wajah yang menentukan mana adegan yang boleh tayang. Inilah wajah baru budaya pop: budaya yang diproduksi massal oleh data dan ditelan cepat tanpa kunyah. Kita tidak lagi punya waktu untuk benar-benar menyukai sesuatu. Kita hanya punya waktu untuk โmenikmatiโ dalam jeda pendek, lalu lanjut ke berikutnya. Kita hidup dalam dunia yang terasa penuh, tapi sebenarnya kosong.
Dan makin lama, makin sulit membedakan antara kesenangan sesaat dengan kepuasan yang mendalam.
Lalu bagaimana? Apakah kita harus menolak semuanya? Tidak juga. Teknologi tidak bisa kita lawan, tapi bisa kita sadari. Kita bisa mulai mengurangi ketergantungan pada rekomendasi. Kita bisa mencoba mencari sendiri apa yang ingin kita tonton, dengar, baca. Kita bisa mengingat bahwa tidak semua hal harus dibagikan, dan bahwa keheningan juga bagian dari hidup yang penting.
BACA JUGA:
Fenomena Pop: Antara Inovasi dan Kemandekan Kreatifitas
Kita bisa mengembalikan makna dalam budaya dengan memperlambat cara kita menikmatinya. Karena pada akhirnya, hidup bukan soal tampil. Hidup adalah soal hadir. Dan hadir tidak selalu berarti terlihat oleh banyak orang. Kadang, hadir berarti mampu melihat diri sendiri dengan jujur, tanpa perlu bingkai algoritma. Kadang, itu berarti duduk diam menonton hujan tanpa berpikir untuk merekamnya. Atau membaca puisi pelan-pelan, tanpa niat mengutipnya ke media sosial.
Mungkin yang perlu kita tanyakan sekarang bukan โApa yang sedang viral?โ, tapi โApa yang ingin kuingat nanti?โ Sebab budaya pop yang sejati bukan yang sekadar populer, tapi yang bertahan dalam ingatan yang menyentuh sesuatu dalam diri kita, dan tinggal lebih lama dari satu scroll. Kita semua sedang viral. Tapi mungkin, dalam keramaian itu, kita sebenarnya sedang sepi.
Dan itu bukan salah siapa-siapa. Hanya algoritma yang bekerja terlalu baik, dan manusia yang lupa menyeimbangkannya. Kita bisa mulai dari sekarang. Bukan untuk melawan FYP, tapi untuk mengembalikan makna pada diri sendiri.
Tinggalkan Balasan