Tren Velocity kini seolah menjadi tren gerakan tubuh yang dilakukan dengan tempo cepat dan dinamis, sering kali disinkronkan dengan musik DJ atau remix yang viral. Indonesia mengalami perkembangan pesat dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk teknologi dan media sosial. Dahulu, sebelum hadirnya ponsel dan aplikasi seperti TikTok, anak-anak menghabiskan waktu mereka untuk bermain bersama teman dan belajar demi mencapai prestasi akademik. Generasi Z (Gen Z) pada masa kecilnya sering menghabiskan waktu dengan menonton televisi, menikmati tayangan seperti Upin & Ipin atau SpongeBob SquarePants, serta berinteraksi lebih banyak dengan keluarga dan teman.
Seiring waktu, teknologi semakin berkembang. Pada tahun 2013, ponsel BlackBerry menjadi tren dengan aplikasi BBM sebagai alat komunikasi utama. Saat itu, tidak ada TikTok maupun Instagram, sehingga anak-anak lebih memilih menonton televisi dibanding bermain ponsel. Bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari juga masih cenderung formal tanpa banyak pengaruh dari bahasa gaul seperti sekarang.
Tren TikTok dan Fenomena Gerakan Velocity
Berdasarkan data dari TikTok, gerakan velocity yang diiringi dengan DJ Bunga Jiwaku telah diikuti oleh sekitar 151,7 ribu pengguna, dengan jutaan tampilan video. Tren ini terutama populer di kalangan Gen Z dan Gen Alpha, yang banyak meniru gaya tersebut demi mendapatkan eksposur lebih luas di media sosial.
Analisis menunjukkan bahwa sekitar 99% perempuan lebih banyak menggunakan gerakan velocity dibandingkan laki-laki, yang hanya mencapai sekitar 70%. Anak-anak Gen Alpha cenderung lebih aktif mengikuti tren ini dibandingkan generasi sebelumnya. Fenomena ini memunculkan kekhawatiran akan dampak psikologis dan sosial, terutama karena kecanduan terhadap tren viral seperti ini dapat menyebabkan sindrom ketergantungan terhadap media sosial.
Perbedaan Anak Zaman Dulu dan Sekarang
Pada masa lalu, Gen Z lebih sering mendengarkan musik melalui televisi dan memiliki akses yang lebih terbatas terhadap teknologi dibandingkan sekarang. Lagu Bunga Jiwaku, yang dirilis pada tahun 2007, dulunya didengarkan sambil belajar atau bersantai tanpa adanya pengaruh media sosial. Seiring berkembangnya teknologi, tahun 2014 ditandai dengan kemunculan HP Advan yang memiliki fitur Play Music dan akses internet yang lebih luas.
Pada tahun 2016, HP Samsung menjadi tren, bersamaan dengan munculnya TikTok sebagai platform media sosial baru. Saat itu, TikTok belum didominasi oleh tren DJ atau gerakan viral, melainkan lebih banyak berisi konten curhat, motivasi, dan hiburan ringan. Namun, setelah tahun 2020, tren berubah drastis, dengan meningkatnya popularitas gerakan velocity dan lagu-lagu DJ seperti Bunga Jiwaku.
BACA JUGA:
Gen Z: Memaknai dan Menciptakan Ruang Identitas Ganda
Bisa Jadi Akibat Velocity Ini Berdampak
Tren DJ Bunga Jiwaku dapat menimbulkan dampak negatif yang serius dalam kehidupan sehari-hari. Gerakan velocity, yang sering dilakukan secara berulang-ulang, dapat membentuk kebiasaan tertentu yang sulit dikendalikan. Anak-anak yang terlalu sering meniru gerakan ini di depan umum dapat mengalami kecanduan terhadap perhatian sosial yang diberikan oleh media digital. Selain itu, tren ini sering kali dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan finansial melalui sistem monetization TikTok, yang mendorong anak-anak untuk terus mengikuti tren demi meraih popularitas dan keuntungan.
Dampak yang lebih mengkhawatirkan adalah efek psikologis jangka panjang yang ditimbulkan. Studi menunjukkan bahwa kecanduan media sosial dan tren viral seperti velocity dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental, seperti kecemasan sosial, depresi, dan menurunnya tingkat konsentrasi belajar. Selain itu, tren ini juga bisa memicu gangguan identitas diri karena anak-anak cenderung meniru tanpa memahami dampaknya terhadap perkembangan kepribadian mereka.
Lebih jauh lagi, beberapa penelitian mengaitkan tren viral dengan peningkatan risiko cyberbullying dan eksploitasi online. Banyak anak yang merasa tertekan untuk mengikuti tren demi mendapatkan pengakuan, yang akhirnya membuat mereka rentan terhadap komentar negatif dan perundungan di dunia maya. Eksploitasi oleh pihak-pihak tertentu juga menjadi ancaman serius, karena anak-anak sering kali tanpa sadar membagikan informasi pribadi mereka demi mendapatkan popularitas.
Perubahan Budaya dari Masa ke Masa
Perbedaan antara zaman dahulu dan sekarang sangat mencolok. Dulu, anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain, belajar, dan berinteraksi secara langsung dengan orang lain. Kini, dengan kemajuan teknologi dan media sosial, mereka lebih banyak terlibat dalam dunia digital.
Anak-anak Gen Z dan Gen Alpha saat ini lebih fokus pada konten viral dan popularitas di TikTok, sering kali mengorbankan aspek penting lainnya dalam kehidupan mereka, seperti pendidikan dan perkembangan sosial yang sehat. Bahkan, banyak orang tua tidak menyadari bahwa anak-anak mereka mengalami sindrom kecanduan gerakan velocity, yang dapat berdampak buruk pada kesehatan mental dan perilaku mereka.
Fenomena tren DJ Bunga Jiwaku dan gerakan velocity di TikTok mencerminkan perubahan budaya yang signifikan di era digital. Perkembangan teknologi telah membawa dampak besar terhadap cara anak-anak berinteraksi, belajar, dan bersosialisasi. Namun, tren ini juga menimbulkan risiko kecanduan media sosial, gangguan kesehatan mental, peningkatan cyberbullying, eksploitasi online, serta dampak fisik yang mengkhawatirkan.
Oleh karena itu, penting bagi Gen Z dan Gen Alpha untuk lebih bijak dalam menggunakan media sosial dan tetap menjaga keseimbangan antara kehidupan digital dan dunia nyata. Para orang tua dan pendidik perlu lebih aktif dalam membimbing anak-anak agar tidak terjebak dalam budaya instan yang hanya berorientasi pada popularitas. Dengan demikian, generasi mendatang dapat lebih fokus pada pengembangan diri yang lebih positif dan bermanfaat bagi masa depan mereka.
Tinggalkan Balasan